Era Baru Pemerintahan Libia
Rakyat Libia menyongsong era baru setelah tewasnya Moammar Khadafi secara tragis di tangan penentangnya pada Kamis (20/10) lalu. Gerakan massa yang diwarnai konflik bersenjata selama delapan bulan, mampu menumbangkan diktator yang telah berkuasa selama 42 tahun itu.Tak ayal, kematian orang kuat di Afrika tersebut disambut suka cita rakyat Libia. Pemimpin Dunia Barat memandang kematian Kadhafi sebagai berakhirnya kekuasaan tirani, dan awal baru bagi masa depan Libia yang lebih baik. Tak ketinggalan Sekjen PBB menyebut peristiwa kematian Khadafi sebagai sebuah momentum bersejarah, yang menandai akhir dari sebuah awal kehidupan baru di Libia.
Kejatuhan Khadafi membuktikan bahwa cepat atau lambat, rezim otoriter akan tumbang. Hal itu membawa sebuah harapan akan adanya perbaikan kehidupan rakyat Libia. Namun, transisi politik tersebut, jika tidak dikelola dengan baik, justru bisa memperburuk keadaan, menjadikan masa depan rakyat menjadi tak menentu.
Kini tantangan besar mengadang rakyat Libia untuk menata kehidupan kenegaraannya pascaera Khadafi? Bukan perkara mudah untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, kesejahteraan yang lebih bermatabat, dan kemakmuran yang manusiawi, dalam bingkai kehidupan politik yang demokratis, setelah lebih dari empat dekade terkungkung dalam genggaman rezim diktator. Proses transisi politik pemerintahan di Libia diperkirakan jauh lebih rumit dan memakan waktu lama, jika dibandingkan dengan Tunisia dan Mesir, dua negara yang terlebih dulu mengalami revolusi massa yang mampu menumbangkan rezim penguasa.
Tugas berat bakal dihadapi Dewan Transisi Nasional (NTC) Libia, yang bertanggung jawab dalam proses transisi menuju demokrasi. Bercokolnya pertarungan politik antarsuku, antarpenguasa wilayah, serta antara kubu Islamis dan sekuler, telah membawa Libia ke jurang perpecahan, jika proses transisi ini tak terkelola dengan baik.
Tidak adanya institusi dan aturan yang disepakati bersama sebagai instrumen untuk menjamin transisi politik secara damai, menjadi alasan kuat bahwa banyak pihak khawatir, justru akan lahir konflik domestik yang baru berupa perang saudara. Setelah rezim Khadafi jatuh dua bulan silam, sejatinya kekhawatiran tersebut telah mencuat. Fragmentasi kekuasaan berdasarkan kesukuan dan kedekatan wilayah, melahirkan tuntutan untuk dilibatkan dalam rezim baru.
Di sinilah poin krusialnya, bahwa ada kepentingan besar yang dipertaruhkan oleh masing-masing pihak. Pada akhirnya perdebatan siapa layak mendapatkan apa dalam pemerintahan baru nanti, akan mewarnai proses transisi di Libia. Tidak tampak kohesi nasional dalam revolusi massa di Libia.
Sebaliknya, NTC justru mewarisi situasi rivalitas regional di dalam negeri, sebuah kondisi yang mungkin sengaja diciptakan dan dipelihara Khadafi untuk melanggengkan kekuasaannya. Kondisi tersebut tentu mengancam stabilitas rezim baru kelak. Padahal demokrasi dapat bertahan dalam kehidupan sosial kemasyarakat yang kohesif. Ini pula yang seharusnya menjadi semangat rakyat Libia dalam proses rekonsiliasi dan rekonstruksi nasional mendatang.
Selain tekanan dari dalam negeri, NTC juga menghadapi tekanan dari luar negeri. Keterlibatan AS dan sekutunya, NATO, dengan dalih menumpas rezim otoriter, tentu mengusung kepentingan terselubung. Terbukti, saat ini AS dan sekutunya berancang-ancang menasionalisasi aset-aset Libia, sebagai kompensasi atas biaya perang di negara kaya minyak itu. Bukan tidak mungkin, akan muncul rivalitas antarkorporasi internasional yang tergiur dengan kekayaan yang dimiliki Libia.
Tentu ini akan mempengaruhi dan semakin memperberat proses transisi politik. Terlepas dari tantangan berat yang bakal dihadapi rakyat Libia, pada akhirnya demokrasi menjadi sistem pemerintahan yang dianggap paling ideal di antara sistem yang ada di dunia ini. Sebab, melalui demokrasi, ada partisipasi publik di dalam pemerintahan, meniadakan absolutisme dalam kekuasaan, sehingga kekuasaan dan pemerintahan berujung pada pengabdian pada kepentingan rakyat.
Inilah tujuan mulia dari revolusi massa di Libia, sebagaimana juga di Tunisia dan Mesir, serta negara-negara lain yang tengah dilanda “Arab Spring”, seperti di Yaman, Syria, dan Bahrain. Rakyat di negara-negara itu berjuang mengakhiri rezim otoriter dan menghendaki pemerintahan demokratis yang akuntabel, serta menjunjung tinggi martabat kemanusiaan dan HAM.
Di tengah masa depan yang tak menentu, jangan sampai Libia menjadi wilayah konflik berkepanjangan. Tak dimungkiri, sejumlah negara yang mengalami transisi politik pemerintahan dengan bumbu intervensi militer AS dan sekutunya, seperti Irak dan Afghanistan, rakyatnya kini bergumul dengan konflik. Stabilitas politik dan pemerintahan, serta membaiknya kehidupan masyarakat tak kunjung terwujud. Kohesi sosial harus diwujudkan untuk mengikis fragmentasi.
Semua pihak juga dituntut menahan diri, guna memberi kesempatan rakyat Libia menentukan dan menata pemerintahannya sendiri, serta mewujudkan demokrasi dengan caranya sendiri untuk mewujudkan Libia baru yang lebih baik di segala bidang kehidupan.