'Sang Penari': Ronggeng dan "Tahayul Politik" 65 untuk Generasi Kini
Ekky Imanjaya - detikMovie
Jakarta - Adegan pembukanya saja sudah sedemikian dahsyat: pada mulanya adalah gelap. Nyaris tak ada yang bisa dilihat, sementara gaungan suara samar-samar—mungkin rintihan, minta tolong yang lirih—terdengar bak gema gerombolan lebah. Tiba-tiba pintu terkuat dan layar didominasi cahaya putih yang sangat menyilaukan mata.
Barulah, tampak puluhan rakyat jelata, pria wanita tua muda sedang jongkok dengan mata penuh ketakutan dan kebingungan. Wajah-wajah polos nan lugu itu disinari senter satu demi satu oleh seorang tentara yang tampaknya sedang cemas mencari seseorang: Rasus. Dan, yang dicari tak kunjung ditemukan: Srintil.
Inilah 'Sang Penari' karya Ifa Isfansyah yang terinspirasi dari novel trilogi 'Ronggeng Dukuh Paruk' karya Ahmad Tohari. Film ini dengan berani mengambil sudut pandang peristiwa 1965—yang disebut Tohari dengan “Tsunami Politik”—dari perspektif orang Dukuh Paruk yang tak tahu apa-apa tentang politik (bahkan mayoritas buta huruf). Mereka korban pencidukan tentara yang tengah memberantas Partai Komunis Indonesia pasca tragedi 30 September.
Inilah film yang dengan berani menyajikan adegan pembantaian satu demi satu orang-orang yang tidak diproses secara hukum dan belum terbukti terlibat G30S—dengan cahaya “low-key”. Penonton hampir tak bisa melihat apa yang terjadi kecuali menebaknya dari efek suara. Seperti, tubuh terseret, tembakan, atau benda berat yang jatuh ke sungai—dan justru hal-hal itu mempertegang suasana.
'Sang Penari' bercerita tentang Srintil (Prisia Nasution) yang hidup sebatang kara (kedua orangtuanya mati bersama puluhan warga lainnya karena keracunan tempe bongkrek buatan mereka sendiri) di sebuah desa yang tandus, terpencil, dan miskin. Ia berkawan dekat dengan pemuda desa, Rasus (Nyoman Oka Antara).
Sejak kecil, Sritil melihat Surti (Happy Salma), ronggeng terkenal yang menjadi tulang punggung desa itu, dan berminat menjadi ronggeng berikutnya. Sang kakeklah, Sakarya (Landung Simatupang) yang mengusahakan agar Srintil dinobatkan menjadi ronggeng baru oleh Kerjareja (Slamet Rahardjo) dan Nyai Kerjareja (Dewi Irawan).
Pekerjaan menjadi ronggeng--yang sebenarnya tidak mampu diwakilki oleh kosakata "penari"—membuat Srintil menjadi idola dan harus melakukan banyak hal yang berkaitan dengan aktivitas seksual. Tapi justru, para istri berebutan menghendaki suaminya berhubungan badan dengan sang ronggeng, kalau perlu dengan bayaran mahal. Ada kebanggaan tersendiri, dan ada harapan agar setelah itu si suami bisa membuahinya.
Tubuh Sritil kini milik publik. Tentu hal itu tak disukai Rasus, yang diam-diam mencintainya. Apalagi ada ritual "Bukak Klambu" (membuka tirai) yang adalah pelelangan keperawanan Srintil untuk menandai penobatannya sebagai Sang Ronggeng. Singkat cerita, Rasus yang sedang galau itu pergi dan kerja serabutan di Pasar Dawuan dan menemukan “peradaban” yang berbeda.
Di sana, ia bertemu Sersan Binsar (Tio Pakusadewo, karakter yang tidak ada di novel tapi memperkaya cerita karena ada non-Jawa di sini), yang kemudian merekrutnya menjadi tentara. Sementara itu, Dukuh Paruk, termasuk kegiatan ronggengnya, disusupi oleh PKI yang dimotori oleh Bakar (Lukman Sardi). Konflik pun meruncing dan memuncak. Kisah “Tentara melawan PKI” (atau tepatnya: tentara “menggaruk” orang-orang yang dianggap PKI) berbalut dengan pergulatan cinta Srintil dan Rasus.
Berbeda dengan film-film masa Orde Baru seperti 'Pengkhianatan G30S', dalam 'Sang Penari' tentara menjadi momok dan bukan penyelamat, sementara penduduk yang tak tahu apa-apa itu ditangkapi hanya berdasarkan nama dan tanda tangan untuk pengambilan konsumsi sebuah pesta rakyat. “Saya adalah saksi mata penembakan oleh tentara kepada banyak rakyat di desa saat itu,” ujar Tohari, sang novelis. “Tapi film ini menggambarkannya jauh lebih dahsyat daripada ingatan saya,” lanjutnya.
Bagi generasi sekarang, peristiwa 1965 --menurut penulis skenario film ini Salman Aristo yang mengutip Goenawan Mohammad-- adalah “sesuatu yang tahayul” karena “…generasi sekarang sama sekali tidak punya gambaran apa sebenarnya yang terjadi." Film ini, menurut Salman dan Ifa sang sutaradara memang ditafsirkan dan dibuat untuk generasi sekarang, generasi yang, mengutip Ifa, “…BBM-an kalau menonton bioskop, dan ciuman bibir jika berpacaran.”
Ifa menegaskan, “Kalau Pak Tohari bikin novelnya sekitar 20 tahun setelah kejadian, maka film ini punya beban harus mengisi 20 tahun lagi kekosongan itu." Karena itulah terkesan ada jarak. Generasi sekarang dan para pembuatnya punya kesamaan dengan Srintil, Rasus, dan seluruh penduduk Dukuh Paruk: sama-sama tidak tahu dengan apa yang sebenarnya benar-benar terjadi.
Tapi, hal itu bukan pembenaran tidak adanya sama sekali simbol palu arit atau lagu “Genjer-Genjer” di film ini (dan hanya ada istilah “komunis” dan “merah”). Penafsiran itu pula yang membuat Srintil sudah ABG saat kedua orangtuanya wafat, dan tidak lagi berusia sebelas tahun saat dilelang di ritual "Bukak Klambu" seperti layaknya “Pretty Baby”.
Tapi tentu saja adaptasi mereka sah-sah saja dan tidak mengurangi kebagusan dari film yang bagi saya adalah salah satu film terbaik tahun ini. Film produksi Salto Films Company bersama KG Production, Tabloid Nova, Indika Pictures, dan Les Petites Lumieres ini berhasil mendapatkan ruh dari keseluruhan novel, yakni (menurut Tohari), "Empati yang sangat besar terhadap nasib orang-orang kecil."
Dan sumbangan terbesarnya adalah sebuah sudut pandang baru tentang peristiwa 1965 (tentara sebagai antagonis; dan pedesaan menjadi lokasinya, bukan lagi di perkotaan).
Semua lini di film ini di atas rata-rata. Akting yang bagus (favorit saya, selain Prisia dan Oka, adalah Hendro Jarot yang menjadi Sakum; walau tidak banyak keluar celetukan cabul di film ini); skenario yang kuat dari trio Salman Aristo-Ifa Isfansyah-Shanty Harmayn; sinematografi yang indah (Yadi Sugandi); tata artistik yang mampu menangkap jiwa zaman 1950-an, 1960-an dan 1975—lihat saja uang kertas dan uang receh yang digunakan, bangunan, dan mobil masa itu (Eros Eflin); musik yang menjiwai daerah Banyumas (Aksan dan Titi Sjuman); penyuntingan yang proporsional (Cesa David Lukmansyah).
Dan, tentu saja kepiawaian Ifa Isfansyah di bangku sutradara. Yang menarik, penata kostum Chitra Subiyakto merasa harus mendesain ulang batik usang orangtuanya yang bercorak Banyumasan, karena corak itu sudah sangat langka. Selamat buat Ifa, Shanty, Salman, dan segenap kru 'Sang Penari'!
(mmu/mmu)