Twitter (Dianggap) Ancaman Bagi Negara
Terkait dengan peraturan dan hukum di negara-negara Twitter beroperasi
Kalangan peselancar jejaring sosial Twitter tengah gelisah. Aktivitas mereka sekarang ini bisa diawasi atau disensor.
Masalah ini mencuat, setelah pengelola Twitter mengajukan penawaran untuk melakukan sensor tweet di bulan Januari lalu.
Alasan Twitter memberlakukan sistem sensor ini, seperti dinyatakan Dick Costolo, CEO Twitter, terkait dengan peraturan dan hukum di negara-negara yang menjadi wilayah operasional jejaring sosial ini.
Dalam pengumuman berjudul The Tweets Still Must Flow itu Twitter menuliskan bahwa setelah situsmicroblogging itu bertumbuh pesat dan melampui batas-batas negara, mereka harus mulai mempertimbangkan perbedaan aturan dan konsep tentang kebebasan di setiap negara.
"Misalnya di Prancis atau Jerman, tempat konten-konten pro-Nazi dilarang," tulis Twitter dalam salah satu blog resminya.
Langkah Twitter itu hampir bertepatan dengan kebijakannya untuk mulai memberikan layanan berbahasa Arab, Farsi, Ibrani, dan Urdu - bahasa-bahasa yang format penulisannya dari kiri ke kanan - dan digunakan di negara-negara tempat kebebasan berekspresi dan demokrasi masih dikekang.
Beberapa negara kemudian menyambut tawaran pengelola Twitter dengan antusias dan gegap gempita. Thailand menjadi negara pertama yang secara terbuka mendukung keputusan kontroversial situs microblogging tersebut.
Hukum penyensoran di negara Gajah Putih memang sudah sangat lama diterapkan. Pihak Kementrian Informasi dan Teknologi Komunikasi Thailand menyebut keputusan Twitter sebagai "welcome development". Selain itu pihak Thailand juga sudah memiliki kerjasama yang baik dari perusahaan internet, seperti Google dan Facebook.
Dilansir Guardian dan seperti dilaporkan oleh Bangkok Post, Pemerintah Thailand juga akan segera menghubungi Twitter, untuk membahas bagaimana caranya mereka bisa berkolaborasi.
Namun, dibalik pernyataan soal kepatuhan akan hukum di suatu negara tersebut, banyak kalangan yang meragukan alasan penyensoran yang dilakukan oleh Twitter.
Menurut Cynthia Wong dari The Center for Democracy & Technology, Twitter melakukan ini karena jejaring sosial tersebut terancam diblokir di sejumlah negara jika bersikeras menolak penyensorantweet-tweet dengan konten tertentu.
"Twitter nampaknya sedang berjuang dalam upaya untuk tetap mempertahankan hak bersuara penggunanya, tetapi tidak bersinggungan dengan kepentingan politik negara tempat mereka beroperasi," katanya seperti dilansir Reuters.
Ada juga yang menyatakan alasan penyensoran ini dikarenakan tekanan dari Pangeran Alwaleed bin Talal, keponakan Raja Arab Saudi, yang membeli saham Twitter senilai US$ 300 juta.
"Pangeran Saudi membeli Twitter, mesin pergerakan anti-otokratik di dunia Arab. Nampaknya, dia menginginkan sesuatu dari hal ini," tulis Robert Cohen, seorang jurnalis senior New York Times.
Langkah Twitter yang selama ini dikenal sebagai media sosial pendukung kebebasan berekspresi, juga memunculkan spekulasi bahwa situs microblogging 140 karakter ini terobsesi untuk masuk ke pasar China yang memiliki nilai ekonomis cukup menggiurkan. Seperti yang diketahui, Pemerintah China secara tegas melarang penggunaan Twitter di negara tersebut.
Namun, Costolo menolak spekulasi itu. "Kebijakan ini murni dibuat untuk kepentingan semua pihak untuk mematuhi hukum yang berlaku dan tidak dibuat untuk jadi alasan Twitter membuka bisnis di China," tangkalnya.
Para aktivis dan organisasi Hak Asasi Manusia juga memprotes rencana sensor tersebut dan meminta agar Twitter tidak melakukan hal itu.
"Ini adalah kabar yang sangat buruk," tulis aktivis Mesir bernama Mahmoud Salem. Selanjutnya, ia menulis, "Apakah Twitter akan mengkhianati kami?"
Organisasi Hak Asasi Manusia, Reporters Without Borders, dalam laporan terbarunya juga bereaksi terhadap keputusan Twitter. Organisasi ini telah mengirimkan surat resmi kepada Twitter yang isinya menyatakan menolak semua hal yang mengekang kekebasan berbicara bagi setiap individu di seluruh dunia.
"Kami meminta Anda untuk mengubah keputusan yang mengekang kebebasan berekspresi, serta bertentangan dengan gerakan penolakan sensor yang berkaitan dengan Arab Spring, yang menggunakan Twitter sebagai penyampai suara mereka," tulis organisasi Reporters Without Border dalam sebuah surat untuk Twitter.
"Dengan memilih sensor, Twitter telah merampas sarana informasi dan organasasi yang sangat penting bagi para aktivis siber di negara-negara represif," tambah organisasi tersebut.
Sementara itu, sebagian kalangan lain beranggapan, sah-sah saja Twitter melakukan sensor kalau misalkan dianggap sebagai ancaman bagi negara. Karena memang hampir di semua negara menganggap layanan media sosial sebagai ancaman berbahaya.
Amerika Serikat sendiri telah melakukan pendekatan hukum untuk menangkal ancamanan tersebut, dengan meminta informasi pribadi pengguna akun Twitter. Hal ini berarti, Amerika mengganggap layanan Twitter bisa bersifat berbahaya untuk keamanan mereka.
Cara reaktif lain juga ditunjukan pemerintah negara lain dalam menangkal bahaya Twitter ini. Peristiwa yang terjadi di Mesir dimana pemerintahnya memblokir akeses Facebook dan Twitter, juga membuktikan efek besar dari layanan seperti Twitter.
"Biasanya negara-negara dengan sistem militer yang kuat, menganggap Twitter sebagai ancaman. Tak heran jika kemudian Twitter sering diblokir. Pendekatan hukum seperti yang dilakukan pemerintah AS bisa menjadi pelajaran untuk menangkal bahaya yang tidak diinginkan," kata Cynthia Wong dari The Center for Democracy & Technology
Cynthia menyatakan, kalangan pengguna tidak perlu risau dengan segala bentuk aturan yang diberlakukan untuk Twitter. Tidak ada yang perlu ditakutkan dengan kebijakan sensor tersebut.
CEO Twitter sendiri, Dick Costolo sendiri tetap bersikukuh membela diri dengan menyatakan, semua orang dan bahkan semua perusahaan diwajibkan untuk mengikuti hukum yang berlaku jika mereka ingin aktif dan beroperasi di suatu negara.
Pendapat Costolo diamini oleh kalangan pengamat. Seperti dikutip dari laman Guardian, tidak hanya Twitter yang memberlakukan sensor. Jauh sebelumnya, tiga raksasa Internet lainnya, Yahoo, Facebook dan Google juga pernah menyaring konten yang masuk ke jaringan mereka. Ada beberapa catatan yang berkaitan dengan penerapan sensor di jagat Internet.
Yahoo pernah memblokir pelelangan memorabilia Nazi karena ada tuntutan dari kelompok kebebasan sipil Prancis yang menggugat Yahoo atas penjualan memorabilia tersebut.
Jejaring sosial milik Mark Zuckerberg, Facebook, malah membatasi akses ke konten tertentu berdasarkan hukum yang berlaku di suatu negara tertentu. Penyaringan ini hanya berlaku di satu negara dan tidak di negara lain.
Dua perusahaan ini juga menghapus konten dari beberapa website dengan domain India pada awal Februari kemarin (7/2) menyusul peringatan pengadilan setempat. India mengkhawatirkan bakal terjadi kerusuhan seperti yang terjadi di Cina beberapa tahun lalu jika mereka tidak mengambil langkah untuk melindungi sensibilitas kehidupan beragama.
Dua di antara 21 perusahaan diminta untuk mengembangkan mekanisme blokir sendiri setelah pemohon pribadi membawa mereka ke pengadilan atas gambar yang dianggap menyinggung umat Hindu, Muslim, dan Kristen. Kasus ini memicu kekhawatiran tentang sensor dalam era demokrasi.
"Tim review (kami) telah melihat isi dan menonaktifkan konten ini dari pencarian domain lokal, Youtube, dan blogger," kata juru bicara Google, Paroma Chaudhry, seperti dikutip Al Arabiya. Namun, Chaundry menolak mengomentari apa yang telah dihapus. Sementara, perwakilan Facebook hanya mengatakan bahwa perusahaan akan merilis sebuah pernyataan sesegera mungkin terkait hal ini.
Selain menghapus konten, Google ternyata juga melakukan tindakan sensor lain, meskipun hal ini dilakukan secara diam-diam. Langkah sensor Google ini sebenarnya tidak diketahui secara luas, sampai TechDows merilis tulisan mengenai URL spesifik yang mengarahkan pengguna pada domain dengan nama spesifik negara.
Misalnya jika pengguna berada di Australia dan mengakses blogspot.com, maka akan diarahkan pada blogspot.com.au, sesuai dengan negara lokasi pembaca.
Menurut Google, pengguna yang pindah ke domain lokal akan membantu mempromosikan kebebasan berekspresi dan memungkinkan keleluasaan untuk mematuhi hukum setempat.
Secara harfiah, keberadaan jaringan sosial memang bertujuan untuk memudahkan interaksi antar individu atau lembaga. Tentunya sebagai tempat berbagi informasi yang berguna bagi orang lain. Sehingga bisa tercipta komunikasi yang positif dan menguntungkan di dunia maya.
Kalau sudah begini, kalangan pengguna internat dan para aktor Twitter tentunya harus tahu bahwa tidak ada kebebasan mutlak. Mereka memang memiliki kebebasan sejati selama tidak mengusik kebebasan dan hak orang lain. Bila kebebasan itu mengusik hak bebas orang lain, maka bukanlah kebebasan.