Anak Butuh Diajarkan Tentang Kegagalan
Orangtua yang selalu mendorong anak dengan segala cara untuk sukses dalam nilai akademik (termasuk dengan kekerasan), justru bisa mencelakai kesempatan anak untuk berhasil.
Anak-anak justru menunjukkan perbaikan dan nilai lebih baik bila diajarkan bahwa salah atau gagal lalu mencoba lagi adalah bagian dari pembelajaran.
Ketika anak ditekan orangtuanya dan tidak diberi ruang untuk melakukan kesalahan, atau diberi pemahaman bahwa orang yang melakukan kesalahan adalah kaum lemah, akan membuat anak takut mempelajari hal-hal baru.
"Kita berfokus pada kepercayaan yang mengatakan, kegagalan sama dengan kaum lemah," kata Frederique Autin, periset paskadoktoral di University of Poitiers di Poitiers, Prancis.
Dengan terobsesi menjadi orang sukses, anak-anak cenderung takut gagal, hingga mereka enggan mencoba melangkah untuk mengerti hal-hal baru.
"Mengakui bahwa menghadapi kesulitan adalah bagian penting dari pembelajaran bisa menghentikan 'lingkaran setan' yang menimbulkan perasaan inkompetensi yang justru memperlambat proses pembelajaran. Riset kami menunjukkan, murid-murid akan lebih berhasil belajar jika diberi ruang untuk menghadapi kesulitan," kata Autin.
Autin menganjurkan para orangtua dan guru untuk memerhatikan dan mengutamakan proses yang berhasil dilakukan si anak ketimbang berfokus pada hasil nilai dan angka tes.
"Belajar butuh waktu, dan setiap langkah dalam prosesnya harus diberikan penghargaan, khususnya di tahap awal yang sudah pasti akan terjadi kesalahan," kata Autin.
Kesalahan terumum adalah mengira nilai akademik sudah pasti merefleksikan kemampuan akademik asli yang dimiliki anak, kata Jean-Claude Croizet, juga peneliti dari University of Poitiers.
"Namun, guru dan orangtua bisa membantu murid-murid untuk sukses dengan mengubah cara mempresentasikan material," kata Croizet.
Sebuah eksperimen terhadap 111 siswa di Prancis yang berusia 11-12 tahun mengungkap hal ini.
Anak-anak tersebut diberikan sebuah tugas menyusun huruf-huruf yang diacak menjadi sebuah kata (anagram) dalam tingkatan yang sangat sulit.
Tak ada satu pun anak itu yang berhasil memecahkannya. Kemudian para peneliti mengatakan kepada anak-anak itu mengenai kesulitan dalam sebuah masalah.
Satu grup diberikan nasihat dan kata-kata penguatan seputar wajarnya orang untuk gagal dan bangkit kembali, serta dibutuhkan latihan untuk maju, seperti belajar bersepeda.
Di grup kedua, anak-anak itu hanya ditanyakan bagaimana cara mereka dan rencana untuk menemukan jawabannya.
Dalam tes anagram kedua, grup pertama menunjukkan perkembangan dalam kemampuan kognitif.
Hal ini menunjukkan betapa anak-anak murid lebih mengkhawatirkan kegagalan ketimbang kemampuan mereka untuk belajar hal-hal baru.
Hasilnya mungkin hanya sementara, tetapi riset ini menunjukkan, kapasitas kerja memori murid dan siswa bisa meningkat hanya dengan mendorong kepercayaan diri anak dan mengurangi ketakutan mereka akan kegagalan.