Ayah Donasikan Sperma Untuk Menantu
Setelah tiga tahun berusaha keras untuk dapat memiliki anak, seorang pria Belanda berusia sekitar tiga puluhan, telah meminta kepada ayah kandungnya untuk mendonasikan sperma agar dia dan istrinya dapat memiliki seorang anak.
Hal ini berarti, anak yang akan dihasilkan dari penyatuan sel telur istrinya dan sperma ayahnya ini akan menghasilkan hubungan "ayah" yang juga saudara kandungnya dan "kakek" yang juga merupakan ayah biologisnya.
Uniknya lagi, pasangan yang tinggal di Belanda itu telah menemukan sebuah klinik yang telah bersedia untuk memenuhi permintaan mereka berdua.
Walaupun tidak biasa, donasi sperma, indung telur ataupun kandungan dari anggota keluarga pasangan yang ingin memiliki anak, secara teknis banyak terjadi dan tidak melanggar hukum.
Walaupun tindakan ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan menggunakan donasi sperma dari orang asing karena membawa gen keluarga sendiri, namun ada komplikasi lain yang juga mengintai pasangan tersebut.
"Akan muncul soal kebingungan mengenai siapa orang tua dari anak yang akan dilahirkan itu," kata seorang peneliti dalam jurnal Human Reproduction.
Dalam menyikapi isu ini, ada sejumlah pandangan yang berbeda. Kebanyakan kalangan ahli menyatakan, proses reproduksi bantuan intrafamilial ini tidak harus dilarang, dan mungkin dapat bekerja dalam beberapa keadaan.
Kalangan ahli juga mengingatkan agar setiap pasangan yang memutuskan untuk masuk ke wilayah ini harus melangkah hati-hati.
"Saya tidak tahu bahwa hukum harus mencakup melarang sumbangan intrafamilial," kata Adrienne Asch, Direktur Pusat Etika Yeshiva University, di New York.
"Namun, pasangan yang meminta hal itu harus sangat hati-hati terhadap perangkap psikologis yang bisa mengganggu mereka," tambah Asch.
American Society for Reproductive Medicine (ASRM) menyatakan, sekarang ini ada kecendrungan kebanyakan pasangan telah berpaling kepada anggota keluarga untuk membantu alur reproduksi mereka dengan berbagai alasan.
Beberapa diantaranya, seperti pasangan di Belanda, ingin memiliki genetik yang sama dengan anak mereka. Sementara pasangan yang lain, ingin mengurangi waktu dan uang yang dibutuhkan untuk mengikuti prosedur reproduksi yang cukup panjang tersebut.
Namun, salah satu kekhawatiran yang mungkin muncul dalam situasi ini adalah orang yang menyumbangkan spermanya ingin bertindak sebagai orang tua kepada anak tersebut.
"Dalam kasus pasangan dari Belanda ini, sang kakek mungkin merasa kesulitan untuk memasukan dirinya dalam keluarga," kata Arthur Caplan, seorang pakar bioetika di Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat.
Melalui sejumlah sesi konseling yang telah dilakukan dengan pasangan dari Belanda dan calon kakek dan neneknya, kalangan peneliti menyimpulkan bahwa keputusan itu sudah bulat dan tidak akan berubah.