Hasyim: Indonesia Harusnya Mengolah Minyak Sendiri
Rabu, 28 Maret 2012 | 07:58
Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menyatakan, sebaiknya Indonesia mulai mengolah minyak sendiri.
"Seandainya minyak mentah Indonesia diolah sendiri, kita tidak akan terombang ambing oleh kenaikan harga minyak," kata Hasyim Muzadi kepada wartawan di Jakarta, semalam.
Menurutnya, keengganan pemerintah Indonesia mengolah minyak mentah sendiri juga menyebabkan Indonesia tidak memperoleh keuntungan apa-apa ketika harga minyak dunia naik.
"Karena minyak mentah kita dijual ke luar negeri dalam keadaan mentah, kemudian kita membelinya setelah jadi, maka kita jadi importir minyak kita sendiri. Akhirnya kita tunduk kepada harga minyak dunia," katanya.
Namun, katanya, untuk mengolah minyak mentah sendiri membutuhkan keberanian pemerintah Indonesia menghadapi himpitan asing.
"Jadi perlu langkah berani dan strategis, tidak teknis kasuistis. Tapi ini sulit karena keberanian bukan kebiasaan pemerintah sekarang," katanya.
Disamping itu, katanya, Indonesia saat ini tentu sudah terikat kontrak jual beli yang didikte pihak asing.
"Selanjutnya pedagang-pedagang minyak asing di Indonesia tentu tidak senang kalau minyak di Indonesia disubsidi, karena mereka tidak bisa jualan di Indonesia," jelasnya.
Lebih lanjut, ia menilai pemerintah saat ini lebih takut kepada pihak asing daripada membela kepentingan rakyatnya sendiri.
"Disinilah letaknya, mengapa pihak asing selalu mendesak pemerintah untuk mencabut subsidi. Tentu itu bukan untuk kepentingan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)," katanya.
Jadi, lanjutnya, pro kontra kenaikan harga BBM adalah ekses yang akan dihadapi bangsa ini setiap saat, dan tentu sangat menguras energi.
"Bahkan terpaksa menghadapkan TNI/Polri dengan rakyat, padahal dapur TNI/Polri juga dibahayakan kenaikan BBM," kata Hasyim.
Melihat kencangnya himpitan asing ke Indonesia saat ini, kata Hasyim, diyakini pemerintah hampir pasti tidak akan membatalkan kenaikan harga BBM.
"Partai yang tidak punya menteri di kabinet dengan mudah bergabung dengan rakyat, namun partai yang punya menteri pasti berkaki dua. Selain tidak mau kehilangan muka di depan rakyat, mereka juga tidak mau kehilangan menteri. Hal ini juga terjadi di DPR," katanya.