Peneliti Indonesia Kembangkan Beras dengan Zat Besi
Tantangan dalam ketahanan pangan global bukan hanya menjamin ketersediaan makanan pokok bagi sekitar 6 miliar umat manusia di bumi, tetapi juga menambah kandungan nutrisi pada makanan pokok seperti nasi untuk mencegah "hidden hunger," kondisi di mana konsumsi pangan memadai tetapi tetap terjadi kekurangan gizi.
Tak banyak diketahui bahwa lebih dari 2 miliar orang menderita hidden hunger, utamanya kekurangan zat besi yang menjadi penyebab utama anemia, demikian menurut Inez Slamet Loedin, peneliti asal Indonesia yang tengah mengembangkan beras dengan kandungan zat besi di International Rice Research Institute (IRRI) di Los Banos, Filipina.
"Terobosan penambahan zat besi pada beras ini dilakukan karena nasi sebagai makanan pokok di negara-negara berkembang mencakup 80 persen dari asupan kalori mereka," kata Inez dalam presentasinya kepada sekelompok petani dan wartawan dari beberapa negara di tempat kerjanya awal pekan ini.
"Kekurangan zat besi merupakan salah satu penyebab meningkatnya kematian ibu dan anak," kata Inez lagi.
Berdasarkan penelitian, kandungan zat besi pada varietas beras yang umum dikonsumsi seperti IR64, Intan dan Jasmine hanya 2-3 miligram (ppm) per kilogram beras. Varietas lain malah hampir tidak ada kandungan zat besinya, kata Inez yang meraih gelar PhD di Universitas Nottingham, Inggris.
Pihak IRRI sendiri sudah menyeleksi ribuan benih padi dari bank benih mereka dan hanya menemukan beberapa varietas saja yang bisa menghasilkan kandungan zat besi 5-8 ppm.
Sementara itu Dewan Konsultasi Riset Pertanian Internasional (the Consultative Group on International Agricultural Research) meminta sedikitnya ada kandungan zat besi 14 ppm pada beras agar bisa bermanfaat pada ibu dan anak.
"Bagaimana memangkas gap itu? Salah satu opsinya adalah memanfaatkan bioteknologi modern untuk mencampurkan gen lain agar bisa meningkatkan kadar zat besi pada endosperma beras. Pendekatan bioteknologi yang bisa dilakukan salahsatunya adalah dengan memanfaatkan gen pada kedelai," kata Inez, yang juga pernah dua tahun belajar di Institute of Molecular Plant Sciences, Universitas Leiden, Belanda.
Sekarang ini kegiatan yang dilakukan Inez dan timnya adalah melakukan kloning gen dari padi dan kedelai, transformasi genetika, DNA, dan RNA, menganalisa protein analisis dan percobaan lapangan.
Inez yang sekarang menjabat sebagai kepala Laboratorium Genetic Transformation di IRRI, mengakui bahwa menciptakan varietas baru hasil rekayasa genetika ini akan butuh waktu lama, dan mungkin akan lebih lama lagi untuk bisa mendapatkan persetujuan biosafety, keselamatan lingkungan dan keamanan konsumsi agar bisa masuk skala produksi.