Calon Pemimpin Boleh Terima Uang Haram
JAKARTA, [Da Vina News] Pakar hukum tindak pidana pencucian uang, Yenti Ganarsih berpendapat, untuk mengurangi tindakan korupsi oleh partai politik dan anggotanya, perlu diadakan perubahan dalam UU Paket Politik. Menurut Yenti, banyak celah dan ketidaktegasan dalam UU Paket Politik yang dibuat oleh DPR.
“Selalu ada celah dalam UU yang dibuat DPR untuk mereka sendiri. Juga tidak ada sanksi untuk pelanggaran UU tersebut,” ucap Yeti kepada DN, di Jakarta, Jumat (21/10).
Disampaikan Yenti, dalam UU Politik dilakukan pembatasan besaran dana yang dapat disumbang perorangan ataupun organisasi kepada partai politik. “Tapi tidak pernah ada aturan yang mengatur bahwa sumbangan tersebut harus merupakan uang halal. Jadi UU kita mengizinkan parpol ataupun calon presiden, gubernur, bupati dan walikota menerima uang hasil kejahatan,” jelasnya.
Akibatnya, menurut Yenti, pejabat yang terpilih dengan hasil sumbangan kejahatan hanya menjadi boneka dari sponsornya. “Jadi yang terpilih menjadi presiden, gubernur, walikota, atau bupati, bukan mereka, tetapi penjahatnya. Mereka didikte oleh sang pemberi dana,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Yenti, perlu ditambahkan aturan bahwa pemberian sumbangan harus dilakukan melalui transfer bank. “Jadi tidak boleh tunai, sehingga bisa diperiksa oleh PPATK,” usulnya.
Yenti menambahkan, jumlah yang dapat diperiksa minimal Rp 100 juta menurut dalam UU Pencucian Uang dan Rp 500 juta menurut UU Perbankan, meskipun berasal dari uang halal. “Tapi secara prinsip, berapapun jumlahnya, asal mencurigakan bisa diperiksa,” katanya.
Hal itu perlu dilakukan, menurut Yenti, untuk mencegah akal-akalan partai politik. “Selama ini parpol bisa merekrut siapa saja untuk menyetor dana dengan batas maksimal yang diizinkan UU, padahal dananya bukan dari penyetor. Misalnya pedagang asongan menyetor Rp 20 juta saja. Kalau direkrut lima ribu orang saja, kan jumlahnya besar,” terangnya.
Guna menghindari itu, lanjut Yenti, dat dari e-KTP sangat diperlukan. “Sehingga terlihat orangnya bekerja sebagai apa dan apakah wajar misalnya pengasong menyumbang Rp 20 juta. Nah, ini meski tidak menyalahi jumlah maksimum, tetap bisa ditelusuri,” ujarnya.
Selain itu, disampaikan Yenti, transparansi penerimaan dan pengeluaran keuangan parapol mutlak diperlukan. “UU Parpol sudah mengatur tentang itu. Juga audit terhadap laporan keuangan parpol,” ucapnya.
Namun, lanjutnya, tidak ada sanksi dalam UU jika hal itu tidak dilakukan oleh parpol. “Tidak ada sanksi, sehingga parpol bisa sesukanya, baik dalam membuat laporan atau audit,” imbuhnya.
Untuk itu, menurut Yenti, UU Parpol harus diubah dan memberi sanksi tegas terhadap pelanggaran itu. “Misalnya jika parpol melanggar aturan dengan tidak transparan dalam laporan keuangan, mereka bisa didiskualifikasi pada pemilu. Jika ada perbaikan, pada pemilu berikutnya bisa bertarung kembali. Tapi jika tidak, maka parpol itu harus dibubarkan,” tegasnya.
Jika itu dilakukan, Yenti menilai, baru akan ada perbaikan. “Jangankan yang kecil, partai besar saja tidak diaudit,” tukasnya.
Lebih jauh, Yenti mengatakan, meski tidka diatur dalam UU Parpol, saat ini parpol sudah dapat diperiksa berdasarkan UU Pencucian Uang.
“Kan sudah ada beberapa kasus korupsi, misalnya Nazaruddin dan Kemenpora. Jika dilakukan, koruptor terkena pencucian aktif dan parpol yang menerima kena pencucian pasif. Dua-duanya bersalah. Sanksinya pelaku aktif 15 tahun dan pelaku pasif lima tahun,” jelasnya. [MYD]