Akuisisi Strategis untuk BUMN Duafa
Oleh Hemat Dwi Nuryanto
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan mengambil keputusan untuk mengakuisisi beberapa BUMN duafa. Istilah duafa diperuntukkan bagi BUMN yang selama ini merugi dan kondisinya hidup segan mati tak mau.
Langkah akuisisi tersebut diharapkan bersifat strategis, se hingga perjalanannya ke depan lebih prospektif dan menguntungkan. Bukan, sebaliknya, BUMN kaya ditugasi sekadar menjadi Sinterklas bagi BUMN duafa.
Karena itu, betapa pentingnya memberikan arah dan detail muatan yang strategis setelah BUMN duafa itu diakuisisi. Arah dan detail harus sesuai dengan kondisi global yang diwarnai dengan perkembangan konvergensi teknologi informasi dan komunikasi. Akuisisi juga harus dapat menampung karya inovasi dan kreativitas anak negeri sendiri.
Broadband Economy
Ada BUMN duafa yang memiliki peran sejarah yang besar dalam membangun intelektualitas bangsa Indonesia serta cukup berjasa dalam pengembangan kebudayaan nasional. Itulah PT Balai Pustaka, yang merupakan BUMN yang bergerak dalam bidang penerbitan dan percetakan. Kondisi PT Balai Pustaka terpuruk, antara lain, disebabkan oleh kalah dalam persaingan bisnis dan karena adanya pencabutan hak cetak dan edar buku-buku sekolah. Akibatnya, sejak 2005 Balai Pustaka merugi.
Akuisisi Balai Pustaka oleh PT Telkom sangat klop dan diharapkan bisa menjadi solusi bangsa, terutama solusi untuk mengembangkan system kebudayaan dan pendidikan nasional. Balai Pustaka memerlukan transformasi usaha agar bisa bersaing menghadapi era broadband economy. Selain itu, Balai Pustaka memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang kreatif untuk memenangkan persaingan.
Postur manajemen sebaiknya memiliki “mata baru” dalam melihat perkembangan industri perbukuan dan penerbitan yang diakselerasi oleh mesin pembaca buku elektronik atau ebook reader.
Setelah tahapan akuisisi rampung, Balai Pustaka sebaiknya mendiversifikasi usaha selanjutnya reinventing, karena di masa mendatang jasa percetakan dan penerbitan bukan lagi menjadi bisnis utamanya. Sekarang adalah momentum yang baik bagi Balai Pustaka untuk menyediakan infrastruktur layanan pendidikan yang berbasis elekronik, seperti layanan buku sekolah elektronik (BSE) 2.0 serta sistem kelas dan sekolah 2.0.
Hal ini penting, karena persaingan global menuntut bangsa ini melakukan transformasi pendidikan dengan komputer tablet dengan konten yang bermutu dan mengandung khasanah budaya dan kekayaan lokal. Kebijakan dan langkah transformasi sarana pendidikan di negeri ini sebaiknya mewujudkan ekosistem C generation (conected generation) yang baik sesuai dengan prinsip googlenonics.
Dengan demikian anggaran pendidikan nasional bisa lebih optimal sekaligus bisa menumbuhkan industri kreatif perangkat lunak dan konten produk dalam negeri. Transformasi pendidikan tidak perlu tergantung sepenuhnya kepada vendor asing, karena hal itu bisa memboroskan keuangan negara dan mematikan kreativitas dan produk anak negeri.
Akuisisi terhadap Balai Pustaka dalam waktu tiga bulan ini diharapkan bisa mengatasi terjadinya tragedi “nol” buku di negeri ini. Kajian Programme for International Student Assessment menunjukkan betapa menyedihkan aktivitas warga bangsa ini dalam berinteraksi dengan buku. Menurut survey lembaga tersebut dalam setahun warga bangsa ini rata-rata hanya membaca 27 halaman buku atau tidak sampai satu buku alias nol.
Dengan kata lain, untuk membaca satu halaman saja seorang mahasiswa memerlukan waktu dua pekan. Bandingkan dengan masyarakat Jepang yang mencapai 15 buku per tahun, seorang. Untuk membangun modal intelektualitas bangsa dibutuhkan grand strategy yang bisa memperbaiki budaya membaca, ekosistem perpustakaan, dan penerbitan.
Industri Media Cetak
Fakta menunjukkan bahwa tidak ada satu Negara pun di dunia ini yang maju tanpa peran perbukuan. Karena itu, untuk merevitalisasi Balai Pustaka kita bisa belajar dari India. Betapa seriusnya Pemerintah India mengembangkan industri penerbitan, hal itu terlihat dengan usaha pengembangan National Book Trust (NBT). Lembaga semacam BUMN yang dibentuk pada 1957 oleh Perdana Menteri Jawaharlal Nehru. Buah dari keseriusan Pemerintah India adalah tingginya minat baca masyarakat di sana. National Book Trust of India sukses dalam mempromosikan buku dan kebiasaan membaca di kalangan masyarakat India.
Kesuksesan di atas diikuti dengan berkembangnya industri perbukuan India yang omzetnya lebih dari 30 miliar rupee India (setara dengan US$ 685 juta), yang didukung oleh sekitar 15 ribu penerbit. Kita berharap Balai Pustaka pascaakuisisi kelak bisa memelopori semangat membaca anak-anak bangsa ini, tentu disesuaikan pula dengan teknologi perangkat pembaca buku elektronik atau e-book reader.
Menurut survei ternyata perangkat pembaca buku elektronik membuat pemiliknya bisa menghabiskan waktu lebih lama ketimbang saat mereka masih membaca buku konvensional. Hasil survei yang dilakukan oleh lembaga riset Marketing and Research Resources Inc terhadap sejumlah responden yang memiliki Kindle, iPad, dan Sony Reader ini menunjukkan bahwa mereka kini membaca buku lebih sering.
Di masa mendatang PT Balai Pustaka hendaknya berperan aktif menciptakan layanan pendidikan nasional yang berbasis broadband economy. Layanan pendidikan yang diwujudkan oleh PT Balai Pustaka sebaiknya mencakup BSE 2.0, sistem kelas 2.0, dan sistem sekolah 2.0. Pada prinsipnya sistem sekolah 2.0 mengintegrasikan portal sekolah dengan layanan pembelajaran seperti e-academic, e-learning management, e-authoring & learning, e-library, dan layanan administrasi sekolah.
Penulis adalah Chairman Zamrud Technology, Alumnus UPS Toulouse Prancis