Bila Pak Guru Berbisnis
oleh : Eddy Dwinanto Iskandar
Prihatin atas mutu lulusan SMK, guru SMK Negeri 4 Jakarta ini pun membuat alat peraga pendidikan sendiri. Belakangan, SMK-SMK dari berbagai kota memesannya. Maklum, harganya cuma setengah, bahkan sepertiga, dari produk serupa yang selama ini diimpor.
Sebagai seorang guru, Agus Martoyo sangat berbeda dengan rekan sejawatnya. Tidak hanya kendaraan pribadinya — Mercedes-Benz Brabus C240 — tetapi juga inovasi dan jiwa bisnisnya. Semua itu berkat inisiatifnya membesut bisnis alat peraga pendidikan dengan bendera Citralab.
Agus adalah guru pendidikan elektronika di SMK Negeri 4 Jakarta Utara yang gelisah atas kondisi pendidikan di sekolah menengah kejuruan. Ia tak puas terhadap kualitas lulusan SMK di masa lalu. Sebagian persoalan dirasanya terletak pada minimnya ketersambungan antara kompetensi lulusan SMK dengan kebutuhan industri yang akan menyerapnya. Tidak jarang ia melihat siswa SMK yang dimagangkan dengan tujuan mendapat praktik ilmu lapangan, tetapi ternyata hanya dijadikan office boy. “Sehingga, tujuan menciptakan lulusan siap kerja akhirnya berantakan,” ujar Agus ketika diwawancara SWA di laboratorium pendidikan elektronika di sekolahnya di Jalan Rorotan VI, Cilincing, Jakarta Utara.
Ditambah lagi, PNS golongan 3D itu melihat, betapa berantakannya pengelolaan alat peraga pendidikan impor di sekolah-sekolah. Sudah beli mahal, ketika rusak, suku cadangnya tidak murah dan sulit didapat. Selain itu, karena barang impor, belum tentu semua pengajar diberi pelatihan. “Jadi, alat itu tidak termanfaatkan maksimal,” ujar kelahiran Wonogiri, 4 Juni 1960, yang telah menjadi guru di Jakarta sejak 1980 itu.
Karena itu, lulusan D-1 Keterampilan Elektronika IKIP Jakarta dan S-1 Pendidikan Luar Sekolah IKIP Bandung itu bertekad mengubah kondisi tersebut dengan cara yang dipahaminya, yakni membuatkan alat peraga bagi para siswa SMK. Tujuannya, siswa SMK bisa memahami pola kerja di perusahaan, dengan demikian mereka akan siap kerja ketika lulus. Selain itu, ketersediaan alat bantu pendidikan lokal membuat harganya semakin murah, dukungan suku cadang pun murah dan melimpah, serta memudahkan untuk mendidik para pengajar yang akan memakainya.
Tak disangka, proyek dengan bendera Citralab itu akhirnya mengantarkannya menjadi inovator di bidang alat peraga pendidikan untuk SMK. Ini lantaran produk-produknya unik dan tidak banyak pesaing lokalnya di Indonesia. Ditambah lagi, dengan harganya yang hanya setengah bahkan ada yang sepertiganya dari produk sejenis impor, pesanan pun semakin meledak.
Agus mengawali kreasinya pada 2003 bermodalkan Rp 100 juta, hasil tabungannya dari nyambi kanan-kiri di sela waktu luangnya mengajar. Karya pertamanya peralatan lab bahasa Inggris. Alasannya, kebutuhan penguasaan bahasa Inggris sangat krusial untuk bersaing di dunia kerja dan bisnis saat ini. Peralatan lab ini diproduksi dengan cara semudah mungkin. Ia mengombinasikan antara perangkat keras komputer dan peralatan audiovideo yang sudah tersedia di pasaran, plus menciptakan sendiri software bahasa Inggris. Ia dibantu siswa-siswa elektronika yang diajarnya. “Saya minta kerelaan mereka membantu seusai jam sekolah. Tidak semuanya saya minta, ada yang bersedia dan ada yang tidak, saya tidak masalah,” kata Agus yang pernah menjadi tenaga lepas desainer furnitur indoor dan outdoor serta desainer mesin di berbagai perusahaan.
Hanya dalam tempo sebulan, jadilah produk peranti lab bahasa yang dirintis Agus. “Tapi persiapannya 3-4 bulan,” ungkapnya. Ia pun menawarkannya ke pihak SMKN 4 yang kemudian menghubungkannya dengan Suku Dinas Pendidikan setempat. Regulasi memang mensyaratkan semua penawaran alat bantu pendidikan melalui tender di Suku Dinas Pendidikan.
Di Suku Dinas Pendidikan setempat, Agus kembali dibantu diperkenalkan dengan perusahaan yang biasa memasok peralatan pendidikan, PT Dinar Semesta. “Kemudian, Suku Dinas Pendidikan mengadakan tender kebutuhan lab bahasa Inggris yang diikuti Dinar dengan dukungan peralatan dari saya,” ujar Agus yang sampai kini belum memiliki badan usaha. Sebanyak 18 unit perangkat lab bahasa itu pun sukses dijual dengan harga total Rp 60 juta saja untuk digunakan di SMKN 4. “Saya memang tidak terlalu memikirkan laba, yang penting bisa membantu,” tuturnya.
Kunci harga kompetitif diperoleh Agus berkat penggantian komponen impor dengan berbagai peralatan yang tersedia di pusat belanja elektronik Glodok, Jakarta. “Misalnya, membuat instalasi listrik rumah tinggal kan alatnya sudah ada di pasar, meteran listrik, saklar, stop kontak,” katanya. Karena itu, Agus menyebut dirinya desainer produk semata, karena memang itu yang dilakukannya. Ia mendesain alat-alat elektronik yang tersedia di pasar menjadi alat peraga pendidikan. Karena strategi ini pula, harga produknya hanya mencapai sepertiga atau setengahnya dari harga produk impor. Sebagai contoh, ia bisa membuat peraga sistem kerja kulkas hanya seharga Rp 50 juta, atau hanya sepertiga harga alat serupa dari Cina.
Perangkat lab bahasa ciptaan Agus di kemudian hari tidak hanya diminati dan dipakai di SMKN 4, tempat Agus mengajar sejak 1997, tetapi juga digunakan di Politeknik Bandung, Politeknik Medan-Sumatera Utara, Angkasa Pura di Cengkareng, dan STAN Kebayoran.
Sejak itulah, kreativitasnya tak terbendung. Hingga kini, Agus sudah memproduksi puluhan alat peraga. Sebut saja, di antaranya, lab bahasa multimedia interaktif, trainer PLC, room speaker trainer, gasoline engine trainer, car air conditioner trainer, motor cycle trainer 4 tak, peraga mesin computer numerical control (CNC), dan hydraulic training system. Contoh kegunaan alat peraga Agus, misalnya, siswa SMK otomotif jadi tahu komponen-komponen yang digunakan di dalam mobil, apa fungsinya, bagaimana pengoperasiannya, dan sebagainya.
Agus mendapatkan ilmu membuat alat peraga, selain dengan melihat produk asli dari luar negeri (yang ditirunya dengan tambahan modifikasi agar tidak melanggar paten), juga dari buku-buku dan Internet. “Banyak orang baik lho di Internet. Syaratnya cuma bisa memakai Internet dan bisa berbahasa Inggris saja,” kata Agus yang memakai Apple Macbook Air 11,6 inci terbaru dan BlackBerry Onyx serta Pearl sebagai perangkat browsing dan messaging-nya. “Saya butuh yang ringan, praktis tapi kuat hardware dan software-nya, makanya saya pilih produk-produk tersebut,” Agus memaparkan alasan di balik pemilihan gadget-nya.
Pria berputri kembar itu dengan jujur mengaku menggunakan SMKN 4 sebagai labnya untuk bereksperimen. Meski belakangan, pada 2007, ia mulai membangun workshop kecil di lahan seluas 400 m2 di samping rumahnya di Bekasi Utara. “Pak Teguh Priyanto dan Pak Riskan, dua pengajar di SMKN 4, yang membantu di workshop saya dulu,” Agus menyebutkan jasa kedua teman sejawatnya itu.
Di masa awal merintis usahanya Agus kerap begadang sampai pagi bereksperimen dan merakit berbagai produk di workshop-nya. Tanpa beristrahat panjang, saat matahari belum menampakkan sinarnya, ia sudah berangkat lagi ke tempatnya mengajar.
Tak cuma di workshop-nya, Agus pun sampai kini, meski tidak seintens dulu, masih menggunakan SMKN 4 sebagai sarana perakitan produk-produknya. “Kami sama-sama diuntungkan, sekolah mendapat peralatan gratis yang saya beli untuk produksi, siswa mendapat ilmu nyata merakit produk elektronik,” ujar Agus yang pernah menghibahkan trainer conveyor buatannya senilai Rp 150 juta bagi tempatnya mengajar.
Berkat promosi yang dilakukannya di berbagai pameran alat pendidikan dan pameran industri di Jakarta, ia pun kian berkibar sebagai produsen alat peraga pendidikan. Pada 2008, ia pernah mengikuti pameran 100 Tahun Kebangkitan Ekonomi Kreatif. Di sana, menurut Agus , ia bahkan menjadi fokus perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Saya dengar dari peserta pameran lainnya, Pak SBY paling lama menghabiskan waktu di booth saya,” ceritanya riang.
Teguh Priyanto, rekan kerjanya di SMKN 4, mengaku keberadaan Agus sangat membantu menjembatani dunia pendidikan SMK dengan industri. “Kami menerapkan kurikulum berbasis produksi. Dengan begini, diharapkan lulusan SMK bisa menjadi pengusaha dan menciptakan lapangan kerja, tidak lagi mencari kerja,” kata Teguh yang juga tak keberatan sekolahnya dijadikan showroom sekaligus bengkel kerja Agus. “Karena, anak-anak bisa sekalian praktik dan mendapat kompetensi dengan alat dari Pak Agus, daripada nunggu kapan datangnya bantuan pemerintah yang jumlahnya pun gak banyak,” ungkap Teguh.
Agus, yang kini memproduksi sekitar 10 alat peraga per tahun, mengaku telah menembus omset Rp 2 miliar lebih per tahun. Ia pun tak berhenti di sini. Ia tengah membuat alat peraga peranti keras dan peranti lunak audiovideo. Untuk software-nya, Macbook Air miliknya banyak berkontribusi dalam pembuatannya. Ia juga tengah merancang alat peraga mobil dengan sistem fuel injection. Demi tujuan ini, Mercynya menjadi sasaran utak-atik. “Itu sebabnya saya beli Mercy. Soalnya, mengutak-atik barang orang lain atau punya sekolah saya gak berani, takut ngerusakin, berat pertanggungjawabannya,” tutur Agus, yang juga tengah merancang mesin batik tulis, bersungguh-sungguh.
Berkat gebrakannya yang menular ke sejumlah SMK lainnya, kini berbagai SMK di berbagai penjuru Indonesia seperti Yogyakarta, Jawa Tengah, Balikpapan hingga Makassar diajak Agus menjadi mitra perakit laptop, proyektor, sampai alat peraga milling machine seharga Rp 350 juta per unit. “Ini memang tujuan saya, agar SMK diberdayakan dan lulusannya memiliki keahlian sesuai kebutuhan industri, bahkan harus bisa menciptakan lapangan kerja sendiri,” papar Agus.
Felix Ferryanto Lukman, akademisi bisnis dari Prasetiya Mulya Business School, melihat bisnis Agus berawal dari pertemuan kesempatan dan skill. “Satu point yang seharusnya bisa ditambahkan adalah sebaiknya beliau memiliki perusahaan atau bendera sendiri, agar produknya tidak dibajak. Akan tetapi, itu akan terjadi benturan dengan peraturan yang membatasi beliau sebagai PNS. Jadi, bisa juga digunakan nama istrinya,” Felix menyarankan.
Menurut Felix, tantangan yang dihadapi Agus adalah jika nanti produsen sejenis dari Cina menemukan cara membuat produk serupa dengan lebih murah. “Pasti akan terjadi banting-membanting harga,” ujarnya. Untuk menghadapi kondisi tersebut, ia menyarankan penerapan strategi diferensiasi yang unik di mata konsumen, karena bila Agus terus menggunakan model bisnis obligation cost level, usahanya akan terlibas produk sejenis aal Cina.
Selain itu, Agus juga harus mengembangkan pasarnya ke perusahaan swasta atau institusi lain yang memerlukan mesin tersebut. Dengan demikian, aspek profitability, applicable dan sustainability dapat terwujud. “Biasanya, bisnis-bisnis baru terkendala di sisi sustainability (manajemen, pengembangan, dan aspek internal) sehingga terlihat akan seperti itu-itu saja,” ujar Felix. Satu lagi, ia menekankan, jika produknya belum dipatenkan, sebaiknya segera diurus. Sebab, hak paten adalah salah satu pelindung untuk kelangsungan produknya.
Agus, ketika ditanya SWA, menjawab tidak satu pun produknya yang dipatenkan. “Soalnya, untuk mematenkan satu jenis, kita harus menitipkan dua contoh produk di sana. Bayangkan, berapa miliar harus saya keluarkan untuk menitipkan produknya saja, belum biaya administrasinya,” ungkap Agus seraya berharap mendapat solusinya dari pemerintah untuk mengurus hak patennya.(*)
POINTERS
Kiat Bisnis Pak Guru
Memperkaya diri dengan berbagai pengetahuan tambahan
Mengambil pekerjaan paruh waktu di bidang lain demi menambah pengetahuan
Memiliki tujuan mulia: meningkatkan kualitas lulusan SMK
Berani mengambil risiko menginvestasikan dana sendiri dalam usahanya
Memberdayakan seluruh sumber daya yang ada, baik aset pribadi, aset di tempat kerja maupun sumber daya produk yang tersedia di pasar umum
Tidak segan menawarkan hasil karyanya ke sekolahnya
Tidak menjadikan laba sebagai tujuan utama
Terus belajar dari berbagai sumber offline dan online
Terus mengamati, meniru dan memodifikasi produk impor pesaing
Terus berinovasi dan meriset penciptaan produk baru