Rufi, from Zero to Hero di Bisnis Alat Kesehatan
oleh : Eddy Dwinanto Iskandar
Rufi Irman Susanto sukses menembus pasar alat kesehatan di Indonesia. Dari nol, PT Fondaco Mitratama yang dia bangun bersama dua temannya, kini beromset lebih dari Rp 100 miliar.
Jumat 31 Desember 1999, beberapa menit sebelum pergantian malam menuju milenium ketiga. Di sebuah ruko tiga lantai di Jl. Biak, Jakarta Pusat, Rufi Irman Susanto duduk dengan gelisah bersama beberapa karyawannya. Mereka menatapi beberapa telepon yang ada. Ketegangan makin mencekam saat jarum jam menunjukkan pukul 00:00, tanda tahun 2000 pertama terlewati. Ketika Jakarta dan seisi dunia berpesta, pria yang kala itu berusia 27 tahun itu, bersama karyawannya, serentak mengangkat gagang telepon dan menghubungi 20 rumah sakit yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. “Hasilnya aman, tidak ada peralatan kesehatan kami yang bermasalah karena millennium bugs,” ujarnya mengenang.
Itulah bukti komitmen Rufi terhadap kliennya, yakni rumah-rumah sakit yang telah memercayainya. Wajar jika Rufi sangat khawatir akan gangguan pada produknya. Pasalnya, di bisnis alat kesehatan, gangguan yang muncul bisa mengorbankan nyawa pasien. “Karena itu, kami sangat berkomitmen terhadap pelayanan dan layanan pascajual,” ujar pendiri, pemilik dan Presdir PT Fondaco Mitratama (FM), distributor alat kesehatan untuk bagian jantung, perlengkapan instalasi gawat darurat (IGD) dan kamar operasi, instrumen bedah dan juga alat peraga untuk pendidikan kesehatan.
Berkat keteguhan komitmen Rufi beserta mitra pendirinya – Franky Tan dan Tjandra Miharja – kini FM yang berawak 280 karyawan itu sukses menembus angka penjualan di atas Rp 100 miliar per tahun. Pertumbuhan perusahaan yang resmi berdiri pada 2005 (sebenarnya telah beroperasi sejak 1997) itu mencapai 20% setiap tahun. Jumlah kliennya kini mencapai 500 rumah sakit dan 300 klinik. Tak kurang dari 2.700 item alat kesehatan, mulai dari alat tes darah hingga CT Scan dan MRI dari 12 merek, didistribusikan FM. Merek yang diageni secara eksklusif antara lain General Electric (GE), Hamilton Medical, Abbot, LMA, SLE, dan Hamilton Vygon.
Padahal, dulu, saat merintis bisnisnya, Rufi sempat “berkantor” di salah satu kamar hotel di Surabaya. “Mau bagaimana lagi, perusahaan baru, dana terbatas, sementara saya harus memasuki pasar Surabaya, ya jadi ngantor di hotel, hahaha,” ujar Rufi mengenang perjuangan dia dan mitranya.
Memang, saat awal berdiri, segmen pasar alat medis yang disasar Rufi dkk. sudah dikuasai pemain besar. “Di antaranya, Philips berjaya menguasai pasar monitor, begitu pula di kategori lain dikuasai pemain besar lainnya,” tutur sarjana bisnis lulusan Saint Leo University, Florida, Amerika Serikat itu. Namun, saat itu Rufi melihat ada kelemahan pemain besar di bidang distributor alat kesehatan. “Mereka supermarket. Punya semua alat kesehatan tapi tidak tahu mengedukasi dokter tentang kualitasnya.”
Karena itu, Rufi memilih segmen yang cukup menguntungkan buat disasar. Ia pun mulai bergerilya mencari berbagai prinsipal yang memiliki produk yang baik, meskipun produk itu tidak murah dan belum dikenal di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, Rufi mengikuti berbagai pameran alat kesehatan di AS dan Eropa di bidang jantung, perlengkapan IGD dan kamar operasi, instrumen bedah dan juga alat peraga untuk pendidikan kesehatan. “Bahkan, ketika itu, pameran pun saya pilih yang spesifik, seperti cardiology congress,” kata Rufi seraya memaparkan paradigmanya bahwa perusahaan yang bagus pastilah fokus di bidangnya.
Salah satu hasil buruannya adalah produk ventilator (alat bantu napas) merek Hamilton Medical asal Swiss. “It’s a very good product dengan mode adaptive support ventilation (ASV) yang bisa membantu otot paru-paru orang bernapas karena menempatkan alat sensornya di mulut,” ujarnya. Kini ASV adalah salah satu alat ventilator yang sangat besar penjualannya di Indonesia. Padahal, dulu produk ventilator dikuasai Siemens.
Rufi juga tak jenuh merayu para prinsipal di Singapura yang “menadahi” berbagai produk perusahaan-perusahaan AS. Contohnya alat diagnosis kardiologi buatan GE. Produk itu awalnya “ditahan” di Singapura, tidak masuk Indonesia. Alasannya, menurut Rufi, perusahaan di AS tidak mau tahu pasar Asia Tenggara hingga akhirnya semua pemasaran diserahkan ke Singapura untuk mengurusi semuanya. “Akhirnya, setelah saya yakinkan potensi pasar di Indonesia dan cara memasarkannya, mereka mau menyerahkan ke saya. I have a way to convince people,” ujar Rufi sambil tersenyum.
Setelah memegang beberapa merek dan produk, Rufi dkk. mulai menggarap pasar. Langkah pertama, mengontak para dokter untuk mengajarinya dunia kedokteran. “I’m very lucky. Ada a few good doctor di Surabaya yang mengajari saya dunia kedokteran,” ujarnya. Rufi sadar, sebagai perusahaan baru, ia harus memperkenalkan diri. Ia pun melakukan terobosan pemasaran dengan meminjamkan produknya ke berbagai rumah sakit untuk langsung dipakai pasien. Setelah berbagai demo, akhirnya banyak yang mulai percaya.
Rufi pun rajin mengedukasi pasar secara intens ke kalangan dokter di rumah-rumah sakit yang memakai produknya. “Saya lihat dokter perlu edukasi,” papar Rufi yang akhirnya mengirim beberapa dokter key opinion leader di Indonesia ke Swiss dan sebagainya untuk mempelajari teknologi alat kesehatan. Dalam pikirannya, jika dokter sudah paham peralatan berkualitas, mereka pasti akan memilih peralatan itu.
Tak ketinggalan berbagai pameran dan simposium digelar. Di antaranya, pameran alat-alat kesehatan IGD di Yogyakarta. Tak kurang dari empat simposium digelar setiap tahun. Belum lagi seminar kecil yang diadakan setiap bulan.
Demi meluaskan pasar dan kesiagaan layanan pascajual, FM juga membuka empat kantor cabang di Bandung, Surabaya dan Medan. “Salah satu faktor keunggulan kami adalah komitmen service 24 hours on call yang benar-benar kami wujudkan,” tutur Rufi. Jadi, kala itu hingga sekarang, setiap kali ada produk FM yang bermasalah, FM langsung menerjunkan teknisinya plus alat cadangan yang dipinjamkan ke klien. Jadi, ketika produk diperbaiki, klien tetap dapat menangani pasien. “Kini kami memiliki 70 teknisi yang tersebar di Jakarta dan kantor-kantor cabang.”
Hasilnya, tahun 1998, sebagai perusahaan baru, omsetnya sudah menembus Rp 30 miliar. Dan tahun 2001 FM berhasil meraih return on investment. “Terus terang, uang bukan tujuan. Sesuai misi kami, tujuan kami adalah helping you to save more lives,” kata Rufi seraya memaparkan prinsip bisnisnya yang selalu ingin membuat terobosan di industrinya.
Salah satu tonggak keberhasilan Rufi adalah ketika berhasil menembus pasar alat kardiologi dan ventilator di Surabaya pada 1998. “Saat itu Surabaya dikuasai merek lain,” ujarnya. Namun, bertepatan dengan momentum pembukaan dua rumah sakit besar, di antaranya RS Husada Utama, pihaknya berhasil memasukkan produknya. “Sejak itulah, Surabaya bisa dimasuki,” papar Rufi.
Perusahaannya pun terus berkembang hingga kini kantor pusatnya menempati sebuah gedung lima lantai seluas 2 ribu m2 di Jl. Taman Tanah Abang II, Jakarta Pusat. “Kini, produk-produk kami rata-rata berada di nomor satu atau dua di segmennya. Bohong kalau kompetitor tidak takut pada kami,” ujarnya sambil tersenyum kecil.
Berbagai pembenahan sistem manajemen pun terus dilakukan. Antara lain, menempatkan 6 manajer produk untuk menangani masing-masing kategori produknya, yakni produk kardiologi, monitoring, operating theatre, anestesi, area kritis dan ventilator. Ia juga menerapkan Oracle untuk meng-online-kan sistem penjualan. “Sekarang, data penjualan dan inventori di Jakarta bisa saya lihat seketika,” ujarnya. Ke depan, Rufi berharap bisa memasuki pasar manufaktur alat kesehatan. “Kini sedang dalam perencanaan.”
Uniknya, Rufi kini memasuki pula bisnis salon dengan mendirikan salon kelas atas Hair Studio Shunji Matsuo yang gerai pertamanya baru dibuka pada 1 Juni 2010 di Dharmawangsa Square lantai dua. “Seperti saya bilang, saya ingin membuat terobosan di setiap bisnis yang saya geluti.”
Di bisnis salon ini pun Rufi tidak main-main. Direncanakan, dalam lima tahun ke depan akan membuka 200 gerai. Karena itu, dia sudah menyiapkan lantai empat gedung kantornya untuk disulap menjadi akademi penata rambut. “I need my own army untuk menciptakan hair stylist bertaraf internasional,” katanya. Bahkan, Rufi berencana membuka SMK Hair Stylist.
Menanggapi bisnis Rufi, Sumardy, konsultan pemasaran dari Octovate, menjelaskan, bisnis Fondaco adalah business to business. “Karena itu, kuncinya terletak pada relationship dengan partner dan yang paling cocok adalah direct marketing. Rufi sudah tepat dalam hal pemasaran,” ujarnya. Sumardy melanjutkan, dengan kombinasi produk yang bagus dari prinsipal terpercaya, membuat FM memiliki kombinasi keunggulan yang baik.