BLT Jatuhkan Mental Bangsa, Habiskan Anggaran Negara
Sumber: Google.co.id |
Sejumlah kalangan menilai pemberian BLT adalah pemikiran jangka pendek yang hanya memperburuk mentalitas bangsa.
Jangan beri ikannya, tapi beri kailnya. Ungkapan klasik itu cocok disematkan pada rencana pemerintah memberi Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai kompensasi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Bagi masyarakat miskin, pemberian dana tunai merupakan upaya penyelematan sesaat tanpa memberi solusi jangka panjang.
Tak heran, sejumlah kalangan menilai pemberian BLT adalah pemikiran jangka pendek yang hanya memperburuk mentalitas bangsa.
"Memang rencana pemberian BLT itu agak lumayan karena akan dilakukan selama delapan bulan, tetapi setelah delapan bulan itu berakhir apa yang akan terjadi? ini harus dipikirkan," kata pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI), Andrinof Chaniago, hari ini.
Andrinof mengatakan, banyak masyarakat Indonesia yang belum siap mengelola uang untuk jangka panjang sehingga bantuan yang didapat bisa dihabiskan dalam waktu sekejap.
"Bisa jadi mereka langsung bayar utang, bayar cicilan motor dan sebagainya, tidak akan bertahan delapan bulan kalau begitu BLT-nya," katanya.
Menurut Andrinof, solusi semacam BLT hanya akan mengukuhkan mentalitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tidak mandiri dan bergantung dari pemberian orang lain.
Mengapa sejumlah pihak menentang program BLT ini? Pasalnya, dana yang digelontorkan tidak sedikit.
Berdasarkan dokumen Sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang disebutkan, program bantuan tunai yang tengah diajukan kepada Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) melalui Kementeriaan Koordinator Perekonomian mencapai Rp 23,2 triliun per tahun, atau Rp 5,8 triliun per kuartal (tiga bulanan).
Jumlah itu dengan mengacu besaran bantuan Rp 100.000 per bulan yang mencakup 30 persen rumah tangga ekonomi terbawah yakni sebesar 18,5 juta rumah tangga.
Namun hitung-hitungan lain menyebutkan, jika harga BBM bersubsidi dinaikkan Rp 1.000 per liter, pemerintah cukup mengalokasikan anggaran untuk BLT sebesar Rp 4 triliun. Namun jika kenaikannya hanya Rp 500 per liter, maka tidak ada program kompensasi berupa cash transfer kepada masyarakat miskin.
Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi kenaikan harga BBM bersubsidi akan berdampak langsung pada meningkatnya jumlah orang miskin. Setiap kenaikan BBM bersubsidi Rp 500 dari Rp 4.500, maka jumlah orang miskin akan naik 100-200 ribu orang. Oleh karena itu, rencana kenaikan BBM bersubsidi harus dibarengi dengan pemberian BLT.
BPS juga menyatakan, jumlah penduduk miskin pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang turun 130.000 orang (0,13 persen) dibandingkan penduduk miskin Maret 2011 sebesar 30,02 juta orang. Jumlah per September 2011 tersebut setara dengan 12,36 persen dari total penduduk Indonesia, atau turun dari 12,49 persen pada Maret 2011.
Sebagai gambaran, penduduk miskin adalah penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan
Maksimalkan BLK
Andrinof mengatakan pemerintah seharusnya berpikir jauh ke depan dengan mengaihkan alokasi dana BLT untuk mengadakan pelatihan-pelatihan kerja dan pemberdayaan masyarakat.
"Maksimalkan fungsi Balai Latihan Kerja (BLK) kalau perlu sewa fasilitas BLK swasta yang belum terisi penuh, lebih baik mengajari keterampilan bagi angkatan kerja khusus kerluarga miskin, akar mereka memiliki nilai tambah," ujarnya.
Jenis pelatihan yang akan bermanfaat, menurut Andrinof, antara lain kursus bahasa asing, stir kendaraan, ketrampilan, mengelas dan lain-lain.
Selain itu Andrinof juga menyatakan BLT dikhawatirkan bisa dipolitisasi, terutama oleh partai politik yang tengah berkuasa, sebagai alat menggalang massa dalam pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum.
Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo sebelumnya memastikan, pemerintah menyiapkan opsi pemberian BLT kepada masyarakat miskin sebagai kompensasi menaikkan harga BBM bersubsidi.
Pemberian BLT itu berguna untuk menghindari bertambahnya beban hidup masyarakat, terutama masyarakat miskin, mengingat penduduk miskin paling rentan terkena dampak kenaikan harga-harga, khususnya pangan dan BBM.
Informasi terkini, pemerintah semalam mengajukan dua opsi pengurangan subsidi melalui kenaikan harga BBM bersubsidi per liter. Pertama, kenaikan harga jual eceran premium dan solar sebesar Rp 1.500 per liter. Kedua, memberikan subsidi tetap maksimum sebesar Rp 2.000 per liter untuk premium dan solar.