Dicari: Gubernur yang Mampu Pecahkan Masalah Jakarta
Tahapan pelaksanaan Pemilukada DKI Jakarta terus bergulir. Sejak Selasa (13/3) hingga Senin (19/3) KPU Provinsi DKI membuka pendaftaran bagi calon gubernur.
Hingga memasuki hari kelima pendaftaran, tercatat baru dua pasang calon pimpinan pemerintahan provinsi yang mendaftar. Yakni, pasangan Gagub-Cawagub Faisal Basri-Biem Benyamin dan Hendardji Supandji-Andi Reza Patria, yang merupakan calon dari jalur independen.
Sedangkan calon parpol belum ada yang mendaftarkan diri. Namun, bukan berarti Pemilukada DKI kali ini sepi peminat.
Pasalnya, sejumlah nama ataupun pasangan belakangan juga telah disebut-sebut, bahkan digadang-gadang, termasuk oleh parpol.
Di antaranya, pasangan Alex Nordin-Nono Sampono, incumbent Fauzi Bowo, Walikota Solo Joko Widodo yang dijagokan Gerindra akan dipasangkan dengan anggota DPR yang juga mantan Bupati Belitung Basuki Tjahya Purnama (Ahok), dan anggota Wakil Ketua DPRD DKI JAKARTA periode 2009 hingga 2014 yang juga Ketua Balegda DKI Jakarta Triwisaksana atau yang biasa dipanggil Bang Sani.
Memang, dari tahun ke tahun pemilihan, bursa pencalonan DKI 1 selalu menyedot banyak peminat. Ibarat gula, DKI bagaikan biang gula. Tak heran jika banyak semut yang berkerumun.
Rupanya, analogi gula bagi DKI bukan sekadar membuat banyaknya bakal calon gubernur DKI berasal dari luar daerah atau bukan putra daerah. Tapi juga menarik minat ribuan masyarakat luar DKI mengais mimpi di kota metropolitan ini.
Oleh karena itulah, sudah menjadi rahasia umum jika urbanisasi menjadi salah satu dari sejumlah problem krusial Ibu Kota. Problem krusial lainnya adalah kemacetan, banjir, lapangan kerja, dan kesejahteraan masyarakat.
Menghubungkan antara solusi bagi problem krusial perkotaan dan calon yang layak pilih dalam bursa pencalonan Gubernur DKI, pakar perkotaan Yayat Supriatna yang juga merupakan dosen Planologi di Universitas Trisakti menyebutkan, tidak ada syarat yang lebih mendesak selain figur pemimpin yang memiliki leadership yang kuat dan kemampuan menentang arus.
"Sebab, DKI saat ini dikuasai oleh gubernur bayangan. Yang tak lain adalah kelompok-kelompok kepentingan yang ingin menguasai kota. Mereka di antaranya merupakan mafia proyek dan mafia preman," tuturnya.
Itu pulalah sebabnya, Yayat berharap agar calon gubernur yang dijagokan adalah mereka yang tidak terlalu terikat dengan kelompok kepentingan tertentu.
"Sebab, akibat semua kepentingan itu, kini Jakarta telah menjadi kota tanpa sistem. Tidak memiliki visi yang jelas, sehingga apa yang hendak diraih pun tidak jelas. Mayoritas rencana yang ada bagi Jakarta pun selalu meleset realisasinya," katanya.
Yayat juga menekankan pentingnya figur bakal Cagub DKI yang mampu mendorong perubahan. Dan jangan lagi memilih figur yang lebih senang memikirkan pendapatan, ketimbang kebutuhan warga.
"Mereka yang tidak memiliki niat kuat untuk memberikan dan melayani kebutuhan warga sebaiknya tidak dipilih. Karena, mereka tentu akan dipakai oleh kelompok-kelompok kepentingan yang mendorong suksesnya keterpilihan. Misalnya, sekadar menjadi ATM bagi kelompok kepentingan politik," katanya.
Masyarakat, menurut Yayat, harus juga berpartisipasi memilih para calon gubernur yang berani mengatakan tidak. "Bukan saja tidak bagi korupsi, tapi juga bagi penambahan pembangunan mal di ibukota, misalnya. Atau, pembangunan pabrik-pabrik di dalam kota. Termasuk bagi penumpang gelap dalam bursa pemilihan cagub itu sendiri," pungkasnya.