Indonesia Ladang Emas Konser Internasional
Negara yang memiliki masyarakat kelas menengah besar adalah pangsa pasar yang paling menguntungkan. Bagaimana tidak, sejatinya kaum kelas menengah merupakan kasta yang paling konsumtif, dan menjadi ladang yang sangat menarik, tak terkecuali bagi pebisnis hiburan, seperti pagelaran musik.
Dengan golongan kelas menengah yang mencapai 150 juta jiwa, Indonesia tentu menjadi target potensial bagi pegiat bisnis showbiz lokal maupun internasional, yang dalam dua tahun terakhir perkembangannya begitu pesat.
Data Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta mencatat, sepanjang 2011, tak kurang dari 305 pertunjukkan insidental, termasuk konser musik telah digelar, dengan pungutan pajak mencapai Rp 15 miliar, atau sedikit lebih rendah dibandingkan tauhn 2009 yang sebesar Rp 16 miliar.
Sementara, tak kurang dari 1.564 musisi asing mengurus izin untuk tampil di DKI Jakarta, dan jumlah tersebut meningkat tajam dibandingkan tahun 2010 serta 2009 yang masing-masing hanya sebanyak 1.392 dan 786 musisi.
Angkanya diperkirakan terus meningkat, terlebih jika melihat krisis keuangan yang dialami Eropa dan Amerika Serikat (AS), yang lantas membuat musisi internasional mengalihkan pandangannya ke negara kelas dua (berkembang), seperti Indonesia.
“Saya pikir layak jika Indonesia dinilai sebagai ladang emas bagi artis luar (negeri). Sebab apapun jenis musiknya, dan berapapun harga tiketnya, masyarakat selalu antusias dan tertarik untuk menonton,” tutur Denny Sakrie, Pengamat Musik kepada beritasatu.com.
Kegiatan ini bahkan sudah menjadi gaya hidup dan simbol pergaulan di situs jejaring sosial, sehingga hampir setiap konser musik, apalagi yang melibatkan artis internasional tiketnya habis terjual.
Ini pula yang membuat promotor Tanah Air rela merogoh kocek lebih dalam, lantaran mereka melihat potensi bisnis yang sangat menguntungkan.
Jika sebelumnya seorang promotor cukup menggelontorkan uang antara US$ 10 ribu – US$ 2 juta (Rp 90 juta – Rp 18 miliar) untuk menggelar sebuah konser musik, saat ini jumlahnya membengkak tiga kali lipat menjadi US$ 30 ribu – US$ 6 juta (Rp 270 juta – Rp 54 miliar).
Hal itu disebut-sebut karena agen atau manajemen artis mancanegara melihat Indonesia sebagai pasar yang potensial, disamping ada juga selentingan kabar jika mereka belum percaya pada tingkat keamanan serta likuiditas para promotor dalam negeri.
Michael Rusli Direktur Utama PT Java Kreasi Utama (Big Daddy Entertainment) pun tidak menampik hal itu. Menurutnya, diawal membangun bisnis promotor memang dibutuhkan biaya yang lebih demi mendatangkan artis internasional, sehingga lebih mahal dibandingkah harga pasar. “Namun tidak sampai dua kali lipat,” jawabnya diplomatis.
Sementara Dino Hamid, Chief Executive Officer (CEO) Berlian Entertainment menilai, biaya yang dikeluarkan demi mendatangkan musisi luar negeri disesuaikan dengan skema target penonton, sehingga tetap memperoleh perhitungan yang menguntungkan.
Menurut penelusuran beritasatu.com, marjin keuntungan yang bisa diperoleh promotor dalam menyelenggarakan setiap konser musik berkisar antara 10 persen sampai 20 persen, dari biaya yang dikeluarkan.
Jika asumsi anggaran sebuah konser musik senilai Rp 270 juta sampai Rp 54 miliar, maka laba yang dapat dihasilkan oleh sebuah promotor berkisar antara Rp 27 juta – Rp 54 juta hingga Rp 5,4 miliar – Rp 10,8 miliar per konser.
Jumlah tersebut bisa lebih besar lagi, jika mereka bisa mendapatkan sponsor raksasa, yang secara otomatis dapat menekan biaya yang mereka keluarkan. Bahkan, untuk sebuah konser musik artis internasional papan atas, promotor bisa mendapatkan keuntungan hingga 200 persen.
Ditahun 2012, antrian musisi mancanegara untuk mentas di Indonesia belum juga surut. Setidaknya sudah ada 60 konser musik internasional yang terjadwal akan mentas di Tanah Air, dan masih sekitar 50 pagelaran musik lainnya yang masih mengantri.
Dengan proyeksi tersebut, maka perputaran uang yang dihasilkan dari kegiatan ini pada 2012 bisa menembus angka Rp 29 miliar – Rp 5,940 triliun (asumsi 110 konser), dan berpeluang terus membesar, mengingat sekarang baru memasuki bulan Maret.
Maka tak heran jika semakin banyak pemain yang ingin masuk ke bisnis ini, dan bukan tidak mungkin akan menaikkan posisi tawar artis mancanegara itu sendiri, yang sudah tentu turut mendongkrak biaya yang harus dikeluarkan oleh sebuah promotor.
Disisi lain, akan semakin banyak musisi internasional yang ingin manggung di Indonesia, karena melihat potensi keuntungan yang besar, disaat negaranya tengah berjuang untuk keluar dari krisis, yang mengakibatkan jadwal mereka untuk mentas (dinegerinya) berkurang drastis.
Sehingga tidak salah, jika kita menyebut Indonesia sebagai ladang emas konser yang bisa menghasilkan uang triliunan rupiah setiap tahunnya.