Enak Jadi Wartawan
Teman-teman seprofesi pasti bisa menilai judul di atas. Betul, bukan limpahan materi atau gaji besar yang membuat pekerjaan ini menyenangkan. Di mana pun wartawan tetaplah pekerja kelas blue collar.
Tetapi wartawan adalah pekerjaan para petualang karena setiap hari bisa ada pengalaman baru dan pelajaran hidup penting yang bisa dipetik. Sebelum dianggap berbual, bukan tanpa alasan karakter komik petualang seperti Tintin, Brenda Starr, dan Peter Parker diinspirasi oleh profesi wartawan.
Jadi boleh saya teruskan?
Saya menekuni pekerjaan ini baru sekitar 11 tahun namun petualangan dan falsafah hidup yang saya dapat jauh melebihi apa yang saya peroleh dalam rentang waktu 30 tahun sebelum itu.
Wartawan Komunis
Saya pernah bekerja di sebuah kantor berita milik pemerintah China, jadi bisa dibilang saya bekerja untuk partai komunis. Namun bahkan di sini pun banyak pengalaman unik yang saya dapat. Karena bekerja di kantor berita, wartawan harus dituntut bisa meliput apa saja: pasar modal, ekonomi makro, politik, hukum, kriminal sampai olah raga.
Nah, suatu ketika saya meliput kejuaraan Thomas Cup dan Uber Cup yang berlangsung di Jakarta 2004. Saya selalu diledek karena menjadi satu-satunya wartawan Indonesia yang tidak nongkrongin laga Taufik Hidayat dkk, tapi terus membuntuti tim negeri panda.
Saya sangat sedih ketika Indonesia di luar dugaan kandas oleh Denmark di semifinal, namun harus membuat berita sukacita dan penuh pujian ketika China mengalahkan tim terkuat Eropa itu di final.
Berita “China Wins Thomas Cup After 14 years” menjadi headline di media-media utama China dan diterjemahkan ke koran-koran berbahasa mandarin juga. Belum pernah sebelumnya ada sebanyak itu pembaca tulisanku. Yang tidak diketahui ratusan juta penggemar badminton China adalah berita itu dibuat oleh a brokenhearted Indonesian.
Jadi Terduga Pelaku Bom Bali
Sebelum itu, saya dikirim ke Bali usai pemboman tahun 2002. Namun karena terlambat datang, sampai di lokasi sudah tidak ada wartawan lain.
Intel di lapangan mungkin curiga melihat gerak-gerik saya menanyai orang-orang sekitar, sementara wartawan lain sudah memburu berita ke rumah sakit, polda, kedutaan dll. Mereka membuntuti saya sampai pulang ke hotel.
Singkat cerita, mereka meminjam fotokopi KTP saya dari manajer hotel, dan membawanya ke sebuah dealer tempat salah satu teroris membeli sepeda motor yang kemudian diberi detonator jarak jauh.
Mungkin karena lelah ditanyai atau takut, pemilik dealer mengiyakan saja ketika ditanya apakah pembeli motor dan foto yang tak jelas di fotokopi KTP adalah orang yang sama.
Lalu polisi mengontak ketua RW di alamat KTP saya di Bekasi. Pak RW tidak kenal, karena saya memang hanya pinjam alamat kakak sementara saya kos di Jakarta.
Tapi di situ ada Heru yang lain. “Orangnya berjenggot, aktif di musholla, dan punya anak bernama Osama,” kata Pak RW.
Itu, ditambah miskomunikasi karena bos saya yang asli Tiongkok tidak bisa Bahasa Indonesia dan polisi di telepon tidak paham Bahasa Inggris, mengarah pada kesimpulan yang sangat mengerikan.
Belum lima menit saya mendarat di Jakarta, kakak di Bekasi menelepon dengan suara bergetar menceritakan bahwa sekitar seratus polisi bersenjata lengkap mengepung rumahnya, melarang semua tetangga keluar rumah dan menutup semua mulut gang untuk mencari saya.
Saya ingat kalimat pertama kakak di telepon adalah: “Apakah kamu masih adikku yang dulu?”
Tetapi wartawan adalah pekerjaan para petualang karena setiap hari bisa ada pengalaman baru dan pelajaran hidup penting yang bisa dipetik. Sebelum dianggap berbual, bukan tanpa alasan karakter komik petualang seperti Tintin, Brenda Starr, dan Peter Parker diinspirasi oleh profesi wartawan.
Jadi boleh saya teruskan?
Saya menekuni pekerjaan ini baru sekitar 11 tahun namun petualangan dan falsafah hidup yang saya dapat jauh melebihi apa yang saya peroleh dalam rentang waktu 30 tahun sebelum itu.
Wartawan Komunis
Saya pernah bekerja di sebuah kantor berita milik pemerintah China, jadi bisa dibilang saya bekerja untuk partai komunis. Namun bahkan di sini pun banyak pengalaman unik yang saya dapat. Karena bekerja di kantor berita, wartawan harus dituntut bisa meliput apa saja: pasar modal, ekonomi makro, politik, hukum, kriminal sampai olah raga.
Nah, suatu ketika saya meliput kejuaraan Thomas Cup dan Uber Cup yang berlangsung di Jakarta 2004. Saya selalu diledek karena menjadi satu-satunya wartawan Indonesia yang tidak nongkrongin laga Taufik Hidayat dkk, tapi terus membuntuti tim negeri panda.
Saya sangat sedih ketika Indonesia di luar dugaan kandas oleh Denmark di semifinal, namun harus membuat berita sukacita dan penuh pujian ketika China mengalahkan tim terkuat Eropa itu di final.
Berita “China Wins Thomas Cup After 14 years” menjadi headline di media-media utama China dan diterjemahkan ke koran-koran berbahasa mandarin juga. Belum pernah sebelumnya ada sebanyak itu pembaca tulisanku. Yang tidak diketahui ratusan juta penggemar badminton China adalah berita itu dibuat oleh a brokenhearted Indonesian.
Jadi Terduga Pelaku Bom Bali
Sebelum itu, saya dikirim ke Bali usai pemboman tahun 2002. Namun karena terlambat datang, sampai di lokasi sudah tidak ada wartawan lain.
Intel di lapangan mungkin curiga melihat gerak-gerik saya menanyai orang-orang sekitar, sementara wartawan lain sudah memburu berita ke rumah sakit, polda, kedutaan dll. Mereka membuntuti saya sampai pulang ke hotel.
Singkat cerita, mereka meminjam fotokopi KTP saya dari manajer hotel, dan membawanya ke sebuah dealer tempat salah satu teroris membeli sepeda motor yang kemudian diberi detonator jarak jauh.
Mungkin karena lelah ditanyai atau takut, pemilik dealer mengiyakan saja ketika ditanya apakah pembeli motor dan foto yang tak jelas di fotokopi KTP adalah orang yang sama.
Lalu polisi mengontak ketua RW di alamat KTP saya di Bekasi. Pak RW tidak kenal, karena saya memang hanya pinjam alamat kakak sementara saya kos di Jakarta.
Tapi di situ ada Heru yang lain. “Orangnya berjenggot, aktif di musholla, dan punya anak bernama Osama,” kata Pak RW.
Itu, ditambah miskomunikasi karena bos saya yang asli Tiongkok tidak bisa Bahasa Indonesia dan polisi di telepon tidak paham Bahasa Inggris, mengarah pada kesimpulan yang sangat mengerikan.
Belum lima menit saya mendarat di Jakarta, kakak di Bekasi menelepon dengan suara bergetar menceritakan bahwa sekitar seratus polisi bersenjata lengkap mengepung rumahnya, melarang semua tetangga keluar rumah dan menutup semua mulut gang untuk mencari saya.
Saya ingat kalimat pertama kakak di telepon adalah: “Apakah kamu masih adikku yang dulu?”
Saya hanya bisa ternganga mendengar dentuman kisah itu, namun cepat menyimpulkan bahwa saya dalam posisi yang sangat rawan.
Pikiran saya, Polda Bali mengontak Polda Metro, lalu polisi Jakarta meneruskan ke rekan mereka di Bekasi. Di antara itu, gampang sekali terjadi salah duga dan nyawa saya taruhannya. Bayangkan, waktu itu nama Amrozi cs bahkan belum terlintas di benak polisi, padahal korban bom begitu banyak dan Indonesia menjadi sorotan dunia.
Saya justru minta kakak menjelaskan ke polisi di mana saya sekarang dan menuju ke mana. Saya berulang-ulang bilang ke diri sendiri: “don’t panic, stay calm and keep low profile.”
Seperti yang saya tebak, tak lama tiba di rumah kontrakan, sepasukan lengkap polisi datang dan mengepung, lalu seorang perwira masuk ditemani beberapa ajudan dan kakakku.
Untunglah biar komunis, kantor membekali saya laptop dan dari situ saya bisa membuktikan bahwa kronologis liputan dan berita yang saya simpan di file konsisten. Setelah perbincangan lama, polisi pun menyadari ada kekeliruan walau saya dikenakan wajib lapor esok harinya.
Saya juga diberitahu soal Heru yang lain dan fotokopi KTP itu. Sekarang saya hanya bisa bersyukur waktu itu belum ada Densus 88…
Drama Kehidupan Setiap Hari
Ketika bekerja di sebuah harian Bahasa Inggris ibu kota, saya ditempatkan di bagian hukum. Sebagian besar liputan adalah di pengadilan.
Setiap hari, saya belajar drama kehidupan tentang kebohongan, pengkhianatan, kemunafikan, kejujuran, tragedi, kebenaran, dan bahkan cinta sejati.
Sidang Susno Duadji, ambil contoh. Baru beberapa bulan sebelumnya dia adalah seorang Kabareskrim, orang nomor dua secara pengaruh di Mabes Polri. But there he was, seorang terdakwa yang bahkan tak satu pun petinggi Polri yang mau mendukungnya.
Lalu Gayus Tambunan dan Haposan Hutagalung. Sebelumnya menjalin hubungan klien-pengacara yang saling menguntungkan, namun karena terjerat perkara, di sidang masing-masing mereka saling menyerang, mengumpat, menghujat, dan menyalahkan.
Tentu tak lupa kisah Antasari Azhar. Sebelum mendarat di kursi terdakwa, dia adalah orang yang paling disegani, dihormati, dan dikagumi dalam hal pemberantasan korupsi. Lalu dia didakwa membunuh, dipermalukan oleh jaksa yang menguraikan skandal seks-nya dengan seorang golf caddy di sebuah hotel.
Tak cukup sampai di situ, jaksa menuntutnya hukuman mati. Namun drama masih berlanjut. Si jaksa penuntut itu sekarang juga meringkuk di penjara menjadi terpidana kasus lain.
Kisah paling mengharukan adalah Alterina, yang terlahir perempuan namun kemudian mengubah identitas menjadi laki-laki dan menikahi seorang wanita. Si wanita pasangan disuruh membuat pilihan sulit antara orangtuanya atau Alterina, dan dia memilih yang terakhir.
Sang ibu yang murka memperkarakan Alterina dan jaksa menuntut hukuman penjara dengan tuduhan memalsukan identitas untuk menipu. Namun hakim berpendapat lain. Mereka bilang Alterina adalah lelaki sejati setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa dia memang memiliki penis yang berfungsi normal.
Alterina bebas. Baru kali itu saya menyaksikan pengadilan di Indonesia membela kekuatan cinta tulus sepasang merpati.
Dari Beku Menjadi Seru
Yang saya saksikan setiap hari di pengadilan bukan drama sinetron, tapi tragedi atau romantisme nyata. Karier seseorang dipertaruhkan, cinta pasangan diuji, kebebasan ditukar dengan bui, persahabatan palsu kena batunya, bahkan hidup orang pun ditentukan. Ya, di sebuah pengadilan, saya pernah menyaksikan vonis mati dan melihat reaksi terdakwa.
Bahkan ketika sedang berada di sidang korupsi yang bertele-tele dan membosankan, dalam sekejap saya berada di tengah pertarungan dua geng yang saling bunuh-bunuhan. Betul, rusuh di Jalan Ampera Raya, tepat di depan gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Saya ikut menghambur keluar ketika terdengar pistol menyalak, dan, mohon maaf, melihat ceceran darah dan otak dari korban yang sudah tidak berwujud lagi, sementara para anggota geng masih mengacung-acungkan parang dan polisi bingung harus melakukan apa.
Ini bukan pengalaman menyenangkan, namun satu lagi pelajaran tragis tentang drama kehidupan.
Terkadang selepas sidang, saya mengevaluasi apakah hubungan saya dengan teman-teman didasarkan pada kepentingan sesaat atau diikat pada kebutuhan rupiah seperti para terdakwa itu? Apakah anak istriku kuberi nafkah haram?
Saya juga sempat bekerja di sebuah media bisnis yang tampak membosankan namun… wah, tidak akan cukup petualangan di seperempat hidupku sebagai wartawan kalau saya tuang di sini.
Bersyukurlah Para Wartawan
Memang betul, terlepas dari gaji yang pas-pasan, pengalaman sebagai wartawan nilainya priceless.
Bahkan anak sekolahan yang magang di tempat kerjaku pun bisa dapat pengalaman itu. Ceritanya waktu itu ada banyak undangan, tapi tidak ada wartawan stand by di kantor, kecuali si anak magang itu.
Maka kupilih salah satu undangan, yaitu meliput kedatangan pesawat angkut militer Airbus A400M buatan konsorsium Eropa dan kuberikan padanya.
Ternyata kemudian si anak magang bercerita kalau dia juga diajak terbang di pesawat. Saya beritahu dia bahwa pesawat itu masih prototipe, belum diproduksi massal, dan dibawa ke mana-mana untuk promosi mengalahkan pesawat legendaris C130 Hercules buatan Amerika.
“Congrats, you’re among the first Indonesians aboard that plane.”
Jadi kalau Anda wartawan, yes you’re special, asalkan bisa menarik setiap pelajaran penting dari kisah yang Anda tulis yang bagi orang lain yang mungkin tampak membosankan dan tak lebih dari tugas liputan kantor.
Teman dari profesi lain yang tertarik menjalani hidup ala Tintin ini, yes you’re very welcomed! He..he..
Penulis: Heru Andriyanto