HNW: UMP Jakarta Belum Tepat Sasaran
Bakal calon Gubernur DKI Jakarta Hidayat Nurwahid menegaskan, meskipun upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2012 telah mencapai Rp1.529.190 atau meningkat 18,5 persen dari sebelumnya, namun penerapan UMP dianggap masih belum tepat sasaran.
Menurut Hidayat saat berdialog dengan serikat pekerja dan buruh di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (30/4), sesuai peraturan UMP hanya berlaku untuk pekerja lajang, belum menikah dan masa kerja di bawah satu tahun.
Sementara jika ada pekerja yang sudah menikah, masa kerja lebih dari satu tahun, UMP itu dinyatakan tidak berlaku atau pekerja yang bersangkutan wajib dibayar di atas UMP.
Namun yang terjadi, tambah Hidayat, UMP justru menjadi acuan penetapan upah dan buruh dibayar sesuai UMP, tanpa memperhatikan masa kerja dan kondisi keluarga. Sayangnya lagi, pelanggaran atas pembayaran upah yang tidak memenuhi UMP juga belum ditindak tegas.
"Pekerja atau buruh merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Jakarta. Jika upah dan kesejahteraan mereka tidak diperhatikan dan mereka mogok akan sangat berdampak negatif bagi perekonomian dan gaungnya akan sampai ke dunia internasional," kata mantan Ketua MPR itu.
Hidayat menyatakan perlunya peraturan tentang struktur dan skala upah dan memastikan pekerja bermasa kerja di atas 1 tahun memiliki upah di atas kebutuhan hidup layak (KHL), dengan tetap memperhatikan tingkat pendidikan, masa kerja, pengalaman dan kemampuan (skill).
"Perlu juga dibuat peraturan pengupahan, yang mengatur bahwa upah yang diterima pekerja atau buruh harus dapat memenuhi daya beli mereka sehingga buruh tidak lagi berutang untuk hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya," ujar Hidayat.
Di samping masalah UMP, anggota Komisi I DPR RI ini juga menyoroti masalah penerapan peraturan tentang pekerja outsourcing yang tidak tepat, dimana dalam praktiknya penggunaan tenaga outsourcing dilakukan hampir pada semua jenis dan bidang kerja.
Dia juga menyoroti masalah penggunaan dana Jamsostek yang berasal dari iuran pekerja. Dari pendapatan Jamsostek yang dikembalikan untuk kesejahteraan pekerja, persentasenya semakin menurun, seperti misalnya di tahun 2007 yang hanya mencapai 55 persen.
"Sebaliknya gaji pengelola Jamsostek yang sesungguhnya mengelola dana pekerja justru mencapai ratusan juta per tahun. Jika Jamsostek dikelola secara benar dan dikembalikan untuk kesejahteraan pekerja seluruhnya, maka dapat digunakan untuk membangun perumahan untuk pekerja, beasiswa bagi anak pekerja, serta meningkatkan manfaat asuransi kesehatan sampai masa pensiun pekerja," papar Hidayat.
Data dari BPS tahun 2011 menunjukkan jumlah pekerja di Jakarta mencapai 4,7 juta orang dan tingkat pengangguran terbuka 11,1 persen. Dari jumlah pekerja tersebut, sekitar 1,8 juta pekerja masih berpendidikan SLTP ke bawah.
Pekerja di Jakarta paling banyak bekerja di sektor perdagangan, hotel dan restoran (1,7 juta pekerja), sektor jasa (1,2 juta pekerja) dan sektor industri pengolahan (755 ribu pekerja). Berdasarkan status pekerjanya, 2,7 juta berstatus buruh/karyawan dan 1,4 juta adalah wirausahawan (UMKM). Sedangkan sisanya merupakan pekerja lepas.