LSM Kritik Keterbukaan Informasi Publik
Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai komitmen pemerintah Indonesia untuk melaksanakan program Open Government Partnership (OGP) telah mengkerdilkan arti penting dari UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Hal itu disampaikan oleh tujuh organisasi masyarakat sipil yaitu MediaLink, KontraS, Aliansi Masyarakat Sipil Indonesia/Yappika, Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesian Parliamentary Center (IPC), Indonesia Budget Center (IBC), dan Yayasan Tifa dalam jumpa pers hari Minggu (15/04).
Open Government Partnership (OGP) merupakan kerjasama global dalam mewujudkan pemerintahan yang lebih terbuka: transparan, efektif dan akuntabel.
Sejak dideklarasikan di New York Amerika Serikat, 20 September 2011, sebanyak 46 negara telah bergabung dalam gerakan OGP ini. Indonesia bersama Amerika Serikat dan 6 negara lainnya duduk sebagai Komite Pengarah (steering commitee).
Sebagai inisiatif global, OGP mempunyai 4 (empat) tujuan besar, yaitu: meningkatkan ketersediaan data tentang penyelenggaraan negara, mendukung partisipasi publik, mengimplementasikan standar tertinggi atas integritas profesional administrasi publik, meningkatkan akses atas teknologi baru untuk mendukung keterbukaan dan akuntabilitas.
Kelompok masyarakat sipil itu mengatakan, pemerintah melalui OGP akan menyederhanakan konsep pemerintahan yang terbuka dan transparan menjadi hanya sebatas ketersediaan portal informasi.
“Implementasi menyeluruh UU KIP sudah sangat memadai untuk menciptakan pemerintahan yang terbuka dan transparan. Jangan sampai ada pikiran implementasi UU KIP hanya cukup dengan pembuatan portal-portal informasi. Portal hanya salah satu medium untuk menyampaikan informasi ke publik. Itu pun harus selalu mengacu kepada jenis dan klasifikasi yang diatur dalam UU KIP,” tambah Hendrik Rosdinar dari Yappika.
Hal ini dianggap tidak sesuai dengan rencana aksi yang dipaparkan pemerintah yang tahap pertama pelaksanaanya adalah untuk mengakselerasi implementasi UU KIP di lembaga-lembaga pemerintah.
Mereka menganggap langkah pemerintah ini telah merendahkan arti penting UU KIP sebagai peraturan yang menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi.
“Jika ingin mengakselerasi UU KIP, pemerintah dalam program OGP seharusnya mendorong seluruh lembaga pemerintah menjalankan seluruh kewajiban yang dimandatkan oleh UU KIP. Terlebih implementasi UU KIP masih minim,” tutur Ahmad Faisol dari MediaLink.
Data Komisi Informasi Pusat tahun 2011 menunjukkan secara keseluruhan baru 29% Badan Publik tingkat Pusat yang membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).
Sementara hasil pemantauan terhadap kepatuhan penyediaan informasi berkala menunjukkan bahwa hampir sebagian besar Kementerian/Lembaga belum melakukan penyesuaian isi (content) website mereka berdasarkan jenis-jenis informasi berkala yang telah diatur oleh UU KIP dan Peraturan Komisi Informasi No.1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik.
Hanya 9 Kementerian/Lembaga yang mencapai skor di atas 50 persen untuk penyediaan informasi berkala. Untuk level daerah, hanya 7 (tujuh) dari 33 Pemerintah Provinsi yang mencapai skor di atas 50 persen untuk kategori penyediaan informasi berkala dan pembentukan Komisi Informasi Provinsi.