Seskab: Pasal Lapindo Bukan Hasil Deal Politik Elit
Sekretaris Kabinet Dipo Alam membantah tudingan adanya deal politik elit dalam kasus lolosnya Pasal 18c UU APBN-P 2012 dan menegaskan tidak ada celah Lapindo untuk bisa menggunakan dana APBN/APBN-P untuk melunasi tunggakannya.
"Pasal 18C dengan kewajiban Lapindo itu tidak ada hubungan. Saya tegaskan tidak ada barter atau deal politik," tegasnya, di Jakarta, hari ini.
Pasal dimaksud memberikan kewajiban bagi pemerintah untuk memberikan bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup, biaya evakuasi, dan pembayaran pembelian tanah dan bangunan pada wilayah di luar peta area terdampak (PAT) lainnya yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden.
Penegasan Seskab itu untuk menanggapi pemberitaan di sejumlah media massa yang mengaitkan pasal 18c itu dengan persetujuan Partai Golkar terhadap Pasal 7 Ayat 6a UU APBN-P 2012, yang memberikan peluang bagi pemerintah menyesuaikan harga BBM bilamana terjadi gejolak harga minyak mentah Indonesia, yang mencapai 15 persen dari harga patokan di APBN-P 2012 sebesar 105 dolar AS/barel dalam waktu 6 (enam) bulan.
"Tidak benar kalau Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono) dianggap melakukan barter, karena rencana penanganan 54 RT di lahan yang terkena dampak lumpur Lapindo sudah dipikirkan jauh sebelumnya isu tentang harga BBM," bantahnya.
Presiden telah mengamanatkan agar 54 RT yang, menurut Dipo, diusulkan untuk dimasukkan ke Perpres. Ke-54 RT itu, kata dia, dulu dikaji oleh tim teknis.
Menurut Seskab, ketentuan dalam Pasal 18c UU APBN-P 2012 itu untuk memberikan payung hukum dalam pemberian ganti rugi bagi masyarakat yang tinggal di 54 RT dari Desa Siring Barat (4 RT), Desa Jatirejo Bagian Barat (2 RT), Desa Mindi (21 RT), Desa Besuki Bagian Timur (7 RT), Desa Ketapang (12 RT), dan Desa Pamotan (8 RT) yang sudah tidak layak huni, agar dapat diperlakukan setara seperti warga di dalam PAT sesuai Peraturan Presiden Nomor 4G Tahun 2009 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
"Ini sesuai dengan yang diusulkan oleh Gubernur Jawa Timur kepada Menteri Pekerjaan Umum pada 6 Agustus 2010. Jadi, ini upaya tanggung jawab pemerintah pada penderitaan rakyatnya," tegas Dipo.
Soal mengapa baru sekarang ke-54 RT itu masuk dalam PAT, Seskab menjelaskan, karena luapan lumpur saat dibuat PETA terdampaknya pada 2007 tidak memasukkan kemungkinan fakta di lapangan bahwa luapan lumpur sudah meluber ke luar peta terdampak.
Ke depan, lanjut Seskab, tim ahli akan segera menggunakan instrumen ilmiah/scientific untuk menghitung kapan luapan berakhir dan langkah apa yang akan diambil jika ternyata luapan lumpur memerlukan waktu lama untuk berhenti.
"Bahaya lanjutannya perlu dihitung, dan ini tugas negara untuk melindungi warganya," ujar Dipo.
Mengenai utang PT. Minarak Lapindo terkait belum dipenuhinya seluruh pembayaran kepada warga korban lumpur, Seskab mengakui, pernah ada opsi hutang itu akan ditalangi Pemerintah melalui surat Menteri Keuangan Nomor : S-3581MK.02/2009, 16 Juni 2009, kepada Kepala Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo sebagai utang piutang dari Pemerintah kepada PT Lapindo Brantas. Namun opsi ini ditolak Lapindo.
Kabar terakhir yang diterima Seskab, masyarakat tiga desa terdampak (Besuki, Pajarakan dan Kedungcangkring) yang dulu sempat terlambat pembayarannya, sudah dilunasi sebagai kewajiban pemerintah pada 2011.
Demikian juga, PT Lapindo Brantas sudah memberikan pembayaran tambahan untuk menyelesaikan kewajiban kepada korban lumpur Lapindo.
Sumber:Antara