Teori Mengasuh Anak
Sebelum memiliki anak saya sudah membekali diri dengan membaca buku-buku parenting, mendengar pengalaman teman, berselancar di internet dan ikut milis ibu-ibu yang sudah memiliki buah hati. Saat Alleluia Lefran Wayne lahir 30 Januari 2009 silam, saya tak sabar ingin segera mempraktikkan teori-teori yang telah saya pelajari.
Namun harapan tinggal harapan karena teori mengasuh anak adalah tidak ada teori. Maksudnya adalah segala macam teori yang saya pelajari tak semuanya bisa diaplikasikan ke Al - panggilan anak saya. Beberapa teori memang terbukti ampuh tapi tak jarang sebaliknya. Saya jadi ingat kata-kata orang bijak bahwa setiap anak memiliki keistimewaan sendiri atau tak ada anak yang sifatnya sama, bahkan kembar sekalipun.
Misalnya saat Al mulai ogah-ogahan mandi. Saya mencoba mempraktikkan teori boneka tangan. Katanya jika si boneka tangan yang mengajaknya mandi, anak akan dengan senang hati menuruti si boneka tangan yang dianggap temannya. Alhasil saya bersuara seperti anak-anak dan menggerakkan boneka tangan Tiger milik Al.
“Ayo Al kita mandi,” kata saya yang berpura-pura menjadi Tiger. Wajah Al tampak sumringah dan dengan semangat 45 bergegas ke kamar mandi. Dalam beberapa hari Al menuruti si boneka tangan. Tapi lama-kelamaan tampaknya Al bosan dengan Tiger. Kembali saya harus mencari akal membujuknya.
Atau saat mengajari Al mengendarai mobil-mobilan yang bergerak dengan dikayuh. Saat itu saya ingin melatih kakinya agar kuat. Sebenarnya kakinya sudah kuat karena Al hobi memanjat. Teralis jendela atau tumpukan barang selalu dijadikan media untuk memanjat. Tapi entah kenapa Al enggan menggerakkan kaki mengayuh mobil-mobilannya.
Saat saya menaruhnya di jok mobil-mobilan, Al memilih turun, membalik mobilnya dan memutar rodanya. Berulang kali saya melakukannya. Saya juga menggerak-gerakkan kakinya dengan gerakkan mengayuh. Tapi saat tangan saya berhenti, Al bergeming, turun dan mengulang perilakunya, membalik dan memutar-mutar rodanya.
Sampai suatu ketika saya bosan dan membiarkan Al bermain dengan roda mobilnya. Akhirnya saya putus asa dan tak pernah mengajarinya lagi. Suatu saat saya asyik melihat televisi, tiba-tiba Al lewat mengendarai mobil-mobilannya.
Brrrrrr………..(bunyi mobil –mobilan yang dikayuh Al) “Mama,” sapanya riang. Lalu tiba-tiba mobil itu berbelok tajam semacam ngepot dan berbalik arah. Saya sempat kaget tapi Al cengar-cengir dengan senyum isengnya. Dan semakin hari kecepatan Al mengayuh semakin membuat saya deg-degan. Saking hebohnya sampai-sampai Al beberapa kali jatuh terjengkang.
Yang paling seru adalah sebulan yang lalu saat saya bergumul menyapihnya. Proses menyapih ini sebenarnya sudah saya coba lakukan enam bulan yang lalu saat saya mulai bekerja kembali. Biang kunyit, jeruk nipis hingga brotowali sudah saya oleskan ke payudara. Tapi Al tak peduli. Al gigih nenen hingga rasa pahit atau asamnya hilang. Saya nyaris putus asa, semakin saya keras berusaha tampaknya semakin keras pula keinginan Al nenen.
Lalu saya teringat pengalaman saat Al masih di dalam perut. Saya pernah membaca jika indra pendengaran pada bayi adalah indra yang pertama kali terbentuk. Karena itu sejak usia kandungan empat bulan saya selalu mengajak Al ngobrol.
Entah sugesti atau memang teori itu benar, beberapa kali Al merespon. Misalnya saat kami ingin melihat alat kelaminnya lewat USG. Dua kali kami gagal melihat karena tertutup pahanya.
Lalu kali ketiga sebelum USG saya mengelus perut saya sambil berkata,”Adik, mama sama papa pengin melihat, adik laki-laki atau perempuan. Nanti pahanya dibuka ya Sayang.” Terus terang saya agak tak percaya dengan teori itu saat mempraktikkannya. Di luar dugaan saat USG, Al membuka pahanya lebar dan terlihatlah penisnya dengan jelas. “Nah, itu mama, penisnya kelihatan,” kata dokter kandungan saya.
Keberhasilan teori itu membuat saya ingin mencobanya lagi. Beberapa waktu lalu Al memang ingin bersekolah. Lalu saat malam menjelang dan kami berdua sudah di peraduan, saya mengajak Al ngobrol.
“Al katanya mau sekolah. Kata bu guru yang boleh sekolah yang sudah berhenti nenennya." “Kenapa?” tanya Al. “Nanti di sekolah kalau Al mau nenen, gimana? Bu guru bingung, ‘Aduh gimana ini , Al maunenen tapi mamanya nggak ada.’ Lagian nanti Al malu, soalnya teman-teman Al kan dah nggak nenenlagi.”
Saat itu Al terlihat menyimak setiap kata-kata saya tapi sebenarnya saya tidak yakin, apakah Al bisa mencernanya atau tidak. “Aduh-aduh, gimana ini,” kata Al menirukan ucapan saya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dengan menahan senyum saya bertanya,”Al mau sekolah kan?” “Mau,” jawab Al. “Ya sudah, sekarang bobok tapi nggak nenen ya.”
Al sempat merengek sebentar lalu membalikkan badannya dan tidur tengkurap. Saya mengelus-elus punggungnya hingga Al tertidur. Malam itu setiap dua jam Al terbangun mencari nenen. Tapi setiap kali pula saya elus punggungnya sambil berbisik, “Al kan mau sekolah, kata bu guru nggak boleh nenen.”
Proses bangun setiap dua jam sekali mencari nenen itu masih terjadi selama beberapa hari. Hingga satu minggu kemudian Al bisa tidur nyenyak dan melupakan nenen. Sesekali Al bangun, duduk dan minum susu atau air putih memakai sedotan dan tidur kembali. Sesederhana itu.
Akhirnya saya sampai pada kesimpulan, tak ada teori mengasuh dan mendidik anak, semua teori harus trial and error. Mengasuh anak adalah sekolah bagi orangtua yang tiada akhir. Jadi teruslah mencoba karena manis buahnya.
Penulis: Meisy Billem