Uang Negara Diserang dari Berbagai Lini
Kesalahan pengelolaan uang negara yang dikategorikan sebagai pemborosan dan ketidakefisienan itu, diidentifikasi BPK terjadi dalam 12.612 kasus. Dan dari total jumlah uang tersebut, Ketua BPK Hadi Poernomo mengatakan, baru Rp4,76 triliun yang dikembalikan pada kas negara.
Dalam paparan di Paripurna DPR, dirincikan bahwa dari 4.941 kasus akibat kesalahan tersebut, senilai Rp13,25 triliun masuk dalam kategori ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan.
Selanjutnya, sebanyak 1.056 kasus dengan nilai anggaran Rp6,99 triliun masuk dalam kategori ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan.
Dalam lima tahun terakhir, BPK juga menemukan kejanggalan atau kesalahan pengelolaan anggaran oleh birokrasi senilai Rp121 triliun. Dan dari total jumlah itu, telah dikembalikan sebesar Rp30,33 triliun dan sisanya ditindaklanjuti melalui berbagai mekanisme yang telah diatur oleh UU.
Rp27 Miliar untuk Staf Khusus
Bukan hanya di pemerintah pusat, BPK pun mengidentifikasi hal yang serupa terjadi di level pemerintahan daerah. Sementara itu, masih di ruang lingkup pemerintahan, Kordinator investigasi dan Advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi mengendus adanya alokasi anggaran di APBN 2012 untuk Staf Khusus Presiden yang nilainya mencapai Rp27 miliar.
"Alokasi anggaran sebesar Rp27 miliar ini benar-benar menjadi bukti konkret terjadinya penjebolan APBN 2012. Ini sungguh jauh dari gerakan penghematan yang sudah dicanangkan oleh Presiden SBY," tuturnya.
Dengan keberadaan alokasi anggaran tersebut, Uchok mengingatkan, pemerintah harus menaikan harga BBM dan masyarakat juga yang menanggung kenaikan BBM tersebut.
"Alokasi anggaran ini untuk fasilitas staf khusus. Padahal, kinerja para staf khusus ini sebetulnya tidak begitu ada pengaruhnya untuk kehidupan masyarakat. Bahkan, cenderung tumpang tindih antara staf khusus dengan kementerian terkait dan sangat menganggu kinerja kementerian yang sama," katanya.
Lantaran itulah, Uchok menegaskan, Seknas FITRA meminta Komisi II dan Kementerian Keuangan untuk segera memenimalkan alokasi anggaran staf khusus itu.
"Jangan dicantumkan lagi dalam DIPA perubahaan 2012 ini. Sebab, alokasi anggaran staf khusus ini terlalu boros dan mewah sekali bila dibandingkan dengan staf khusus atau tenaga ahli DPR yang memperoleh alokasi anggaran sebesar Rp90 juta per orang untuk setiap tahun," pungkasnya.
Ironisnya, persoalan anggaran bukan hanya monopoli pemerintahan. Tercatat, penggunaan APBN di lingkungan lembaga wakil rakyat, DPR, juga potensial bermasalah.
Sebut saja kasus anggaran reses dan studi banding dewan. Belum lagi, anggaran untuk pengadaan dan perawatan fasilitas rumah bagi anggota DPR.
Jadi memang, semua pihak harus menyadari bahwa pemborosan layak menjadi musuh baru bersama di negeri ini. Aksi para pelakunya pun harus diperangi tanpa pandang bulu. Itu demi, menciptakan kehidupan bernegara yang sehat.
Sehingga jangan sampai, tanggung jawab ekonomi, sosial, maupun hukum atas segala aksi pemborosan APBN yang terjadi di negeri ini seluruhnya diserahkan ke pundak rakyat. Termasuk seperti, merealisasikan wacana penaikan harga BBM demi mengurangi nilai subsidi untuk BBM.