Hari Buruh dan Aksi Unjuk Rasa
Hari Buruh Sedunia (Satu Mei) atau “May Day” dan aksi unjuk rasa bagaikan dua sisi dari sebuah mata uang. Sebab hari buruh lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas buruh dalam melawan sistem kapitalisme industri.
Secara historis, perkembangan kapitalisme industri lahir di awal abad 19 yang ditandai dengan perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis Eropa Barat dan Amerika Serikat .
Akibat dari perkembangan ini, kemudian muncullah apa yang dinamakan sebagai sistem kerja, seperti pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, buruknya kondisi kerja, dan tidak adanya jaminan kesehatan ataupun sosial di tingkatan pabrik. Kondisi-kondisi ini yang lalu melahirkan perlawanan dari kelas buruh.
Sama halnya dengan di Indonesia, hari buruh juga merupakan hari ketika para pekerja melakukan aksi unjuk rasa. Sejak reformasi bergulir di negara ini, aksi unjuk rasa para buruh mulai marak dilakukan pada 1999 hingga saat ini.
Tuntutannya sederhana, yakni meminta keadilan atas hak-haknya terkait dengan upah dan jaminan sosial. Hal ini dipandang sebagai cara kaum buruh untuk melakukan perlawanan terhadap para pemilik modal.
Dalam beberapa kasus, aksi unjuk rasa buruh ini cukup efektif dalam menekan negara ataupun pemilik modal agar tuntutannya dikabulkan.
Sebagai contoh, aksi unjuk rasa buruh yang meminta Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bekasi agar menerapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Kawasan Industri Bekasi dengan memblokade ruas jalan tol Cikampek pada Jumat (27/1/2012) silam, terbukti cukup efektif.
Sehari setelah aksi unjuk rasa dilakukan (28/1), akhirnya perwakilan buruh, Asosiasi Pengusaha di Jawa Barat, dan Dewan Pengupahan, dipertemukan oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, untuk membuat sebuah persetujuan.
Persetujuan itu dibuat dalam rapat bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Pemprov Jawa Barat, Pemkab Bekasi dan Perwakilan Apindo Jawa Barat, untuk memberlakukan skema gaji buruh yang baru untuk Kabupaten Bekasi, yaitu Kelompok I sebesar Rp1.849.000, kelompok II Rp1.715.000, dan kelompok III Rp1.491.000.
Meski demikian, di kasus dan wilayah yang berbeda, aksi unjuk rasa buruh ternyata tidak cukup efektif menekan negara dan pemilik modal.
Pada (27/4) lalu, ratusan buruh di Jawa Timur yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), yang berunjuk rasa menuntut diselesaikannya beberapa persoalan perburuhan di Jawa Timur belum juga dikabulkan.
Antara lain, persoalan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada pengurus Serikat Pekerja dan buruh outsourcing di PT International Packaging Manufakturing (IPM) Sidoarjo, serta masalah upah buruh yang belum juga dibayar selama 19 bulan di Kebun Binatang Surabaya.
Selain itu, tuntutan buruh Jawa Timur terkait masalah di PT Japfa Comfeed Indonesia di Sidoarjo yang telah melakukan pelanggaran outsourcing, PHK terhadap pengurus Serikat Pekerja, upah yang tidak dibayarkan, dan buruh yang tidak diikutsertakan dalam Jamsostek lebih dari 25 tahun juga tidak kunjung dituntaskan oleh Pemprov Jawa Timur.
Untuk itu, pada 1 Mei (2012) ini, buruh yang tergabung dalam KSPI dan sejumlah organisasi serikat buruh lainnya akan melakukan aksi unjuk rasa yang jauh lebih besar jumlahnya untuk menyampaikan manifesto politik yang berisi tiga isu besar.
Pertama, mendorong pelaksanaan jaminan sosial nasional; Kedua, pemberian upah yang layak bagi buruh; dan Ketiga, penghapusan sistem outsourcing (pekerja alih daya) yang dipandang bertentangan dengan undang-undang.
Jika pemerintah tidak menginginkan adanya aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh buruh, maka tidak ada pilihan lain bagi pemerintah kecuali dengan mengabulkan tiga tuntutan buruh pada “May Day” tahun ini.
Tapi jika tetap menolak, maka pemerintah memerlukan jalan keluar yang jitu yang dapat menguntungkan baik dari pihak pemilik modal ataupun buruh.
Jalan Keluar
Tiga isu besar yang diusung oleh buruh dalam unjuk rasa kali ini sesungguhnya bermuara dari masalah outsourcing. Lebih tepatnya karena terdapat praktik outsourcing yang menyimpang dari ketentuan Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Sistem outsourcing yang kini diterapkan cenderung mengeksploitasi buruh, seperti tidak adanya jaminan mendapatkan uang pesangon, asuransi kesehatan, mudah dipecat, dan gajinya yang lebih kecil dari karyawan tetap.
Terdapat jurang yang lebar antara pekerja outsourcing dan pekerja tetap, meskipun memiliki beban kerja yang sama.
Padahal menurut UU Ketenagakerjaan telah diatur syarat-syarat yang ketat terkait pekerja outsourcing. Sebagaimana diketahui, sistem outsourcing diatur secara khusus dalam pasal 65 dan 66 UU Ketenagakerjaan.
Pasal tersebut mengatur antara lain bahwa pekerja outsourcing bukanlah pekerja yang terlibat langsung dalam kegiatan utama atau proses produksi perusahaan. Namun kini, semua proses produksi telah menggunakan pekerja outsourcing.
Dari hasil penelitian LIPI di Batam misalnya, ditemukan perusahaan besar yang menggunakan pekerjaoutsourcing untuk jenis pekerjaan yang sama dengan pekerja tetap.
Hal itu dapat terjadi karena minimnya sistem pengawasan ketenagakerjaan pemerintah. Akibatnya UU ketenagakerjaan kerap dianggap sebagai aturan yang tidak mengikat. Pelanggaran yang sering terjadi di banyak perusahaan sama sekali tidak mendapatkan sanksi yang tegas.
Untuk mencari jalan keluar atas masalah ini, maka praktik outsourcing yang banyak melanggar aturan harus diawasi secara ketat agar kesejahteraan pekerja tetap dapat terjamin dengan baik. Oleh sebab itu, pemerintah melalui Kemenakertrans agar secepatnya mendeklarasikan Komite Pengawas Ketenagakerjaan.
Dan mengenai pekerja outsourcing itu sendiri, pemerintah tidak memiliki pilihan lain kecuali dengan menerapkan apa yang disarankan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Flex Security.
Konsep ini berarti hak yang diterima pekerja outsourcing sama dengan pekerja tetap, terutama untuk kebutuhan dasarnya seperti jaminan kesehatan, sosial, dan hak-hak lainnya.
Dengan menerapkan Flex Security, pun jika si pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja, maka pekerja yang bersangkutan akan mendapatkan kompensasi yang sama besarnya dengan pesangon pekerja tetap.
Tapi sayangnya, pemerintah dan pemilik modal seakan tidak peka terhadap penderitaan buruh sebagai roda pengerak produksi.
Oleh karenanya, jika jalan keluar ini tidak juga dihiraukan oleh pemerintah, maka unjuk rasa adalah pilihan paling logis bagi buruh untuk dapat melakukan suatu perubahan dalam memperjuangkan hak-haknya.
“Kaum Buruh se-Indonesia Bersatulah.”
Secara historis, perkembangan kapitalisme industri lahir di awal abad 19 yang ditandai dengan perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis Eropa Barat dan Amerika Serikat .
Akibat dari perkembangan ini, kemudian muncullah apa yang dinamakan sebagai sistem kerja, seperti pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, buruknya kondisi kerja, dan tidak adanya jaminan kesehatan ataupun sosial di tingkatan pabrik. Kondisi-kondisi ini yang lalu melahirkan perlawanan dari kelas buruh.
Sama halnya dengan di Indonesia, hari buruh juga merupakan hari ketika para pekerja melakukan aksi unjuk rasa. Sejak reformasi bergulir di negara ini, aksi unjuk rasa para buruh mulai marak dilakukan pada 1999 hingga saat ini.
Tuntutannya sederhana, yakni meminta keadilan atas hak-haknya terkait dengan upah dan jaminan sosial. Hal ini dipandang sebagai cara kaum buruh untuk melakukan perlawanan terhadap para pemilik modal.
Dalam beberapa kasus, aksi unjuk rasa buruh ini cukup efektif dalam menekan negara ataupun pemilik modal agar tuntutannya dikabulkan.
Sebagai contoh, aksi unjuk rasa buruh yang meminta Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bekasi agar menerapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Kawasan Industri Bekasi dengan memblokade ruas jalan tol Cikampek pada Jumat (27/1/2012) silam, terbukti cukup efektif.
Sehari setelah aksi unjuk rasa dilakukan (28/1), akhirnya perwakilan buruh, Asosiasi Pengusaha di Jawa Barat, dan Dewan Pengupahan, dipertemukan oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, untuk membuat sebuah persetujuan.
Persetujuan itu dibuat dalam rapat bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Pemprov Jawa Barat, Pemkab Bekasi dan Perwakilan Apindo Jawa Barat, untuk memberlakukan skema gaji buruh yang baru untuk Kabupaten Bekasi, yaitu Kelompok I sebesar Rp1.849.000, kelompok II Rp1.715.000, dan kelompok III Rp1.491.000.
Meski demikian, di kasus dan wilayah yang berbeda, aksi unjuk rasa buruh ternyata tidak cukup efektif menekan negara dan pemilik modal.
Pada (27/4) lalu, ratusan buruh di Jawa Timur yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), yang berunjuk rasa menuntut diselesaikannya beberapa persoalan perburuhan di Jawa Timur belum juga dikabulkan.
Antara lain, persoalan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada pengurus Serikat Pekerja dan buruh outsourcing di PT International Packaging Manufakturing (IPM) Sidoarjo, serta masalah upah buruh yang belum juga dibayar selama 19 bulan di Kebun Binatang Surabaya.
Selain itu, tuntutan buruh Jawa Timur terkait masalah di PT Japfa Comfeed Indonesia di Sidoarjo yang telah melakukan pelanggaran outsourcing, PHK terhadap pengurus Serikat Pekerja, upah yang tidak dibayarkan, dan buruh yang tidak diikutsertakan dalam Jamsostek lebih dari 25 tahun juga tidak kunjung dituntaskan oleh Pemprov Jawa Timur.
Untuk itu, pada 1 Mei (2012) ini, buruh yang tergabung dalam KSPI dan sejumlah organisasi serikat buruh lainnya akan melakukan aksi unjuk rasa yang jauh lebih besar jumlahnya untuk menyampaikan manifesto politik yang berisi tiga isu besar.
Pertama, mendorong pelaksanaan jaminan sosial nasional; Kedua, pemberian upah yang layak bagi buruh; dan Ketiga, penghapusan sistem outsourcing (pekerja alih daya) yang dipandang bertentangan dengan undang-undang.
Jika pemerintah tidak menginginkan adanya aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh buruh, maka tidak ada pilihan lain bagi pemerintah kecuali dengan mengabulkan tiga tuntutan buruh pada “May Day” tahun ini.
Tapi jika tetap menolak, maka pemerintah memerlukan jalan keluar yang jitu yang dapat menguntungkan baik dari pihak pemilik modal ataupun buruh.
Jalan Keluar
Tiga isu besar yang diusung oleh buruh dalam unjuk rasa kali ini sesungguhnya bermuara dari masalah outsourcing. Lebih tepatnya karena terdapat praktik outsourcing yang menyimpang dari ketentuan Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Sistem outsourcing yang kini diterapkan cenderung mengeksploitasi buruh, seperti tidak adanya jaminan mendapatkan uang pesangon, asuransi kesehatan, mudah dipecat, dan gajinya yang lebih kecil dari karyawan tetap.
Terdapat jurang yang lebar antara pekerja outsourcing dan pekerja tetap, meskipun memiliki beban kerja yang sama.
Padahal menurut UU Ketenagakerjaan telah diatur syarat-syarat yang ketat terkait pekerja outsourcing. Sebagaimana diketahui, sistem outsourcing diatur secara khusus dalam pasal 65 dan 66 UU Ketenagakerjaan.
Pasal tersebut mengatur antara lain bahwa pekerja outsourcing bukanlah pekerja yang terlibat langsung dalam kegiatan utama atau proses produksi perusahaan. Namun kini, semua proses produksi telah menggunakan pekerja outsourcing.
Dari hasil penelitian LIPI di Batam misalnya, ditemukan perusahaan besar yang menggunakan pekerjaoutsourcing untuk jenis pekerjaan yang sama dengan pekerja tetap.
Hal itu dapat terjadi karena minimnya sistem pengawasan ketenagakerjaan pemerintah. Akibatnya UU ketenagakerjaan kerap dianggap sebagai aturan yang tidak mengikat. Pelanggaran yang sering terjadi di banyak perusahaan sama sekali tidak mendapatkan sanksi yang tegas.
Untuk mencari jalan keluar atas masalah ini, maka praktik outsourcing yang banyak melanggar aturan harus diawasi secara ketat agar kesejahteraan pekerja tetap dapat terjamin dengan baik. Oleh sebab itu, pemerintah melalui Kemenakertrans agar secepatnya mendeklarasikan Komite Pengawas Ketenagakerjaan.
Dan mengenai pekerja outsourcing itu sendiri, pemerintah tidak memiliki pilihan lain kecuali dengan menerapkan apa yang disarankan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Flex Security.
Konsep ini berarti hak yang diterima pekerja outsourcing sama dengan pekerja tetap, terutama untuk kebutuhan dasarnya seperti jaminan kesehatan, sosial, dan hak-hak lainnya.
Dengan menerapkan Flex Security, pun jika si pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja, maka pekerja yang bersangkutan akan mendapatkan kompensasi yang sama besarnya dengan pesangon pekerja tetap.
Tapi sayangnya, pemerintah dan pemilik modal seakan tidak peka terhadap penderitaan buruh sebagai roda pengerak produksi.
Oleh karenanya, jika jalan keluar ini tidak juga dihiraukan oleh pemerintah, maka unjuk rasa adalah pilihan paling logis bagi buruh untuk dapat melakukan suatu perubahan dalam memperjuangkan hak-haknya.
“Kaum Buruh se-Indonesia Bersatulah.”
Penulis: Asrudin
Penulis di Lingkaran Survei Indonesia