Kisah Menkes Endang Dengan Supir Taksi
Tanggal 21 Oktober 2009, adalah hari paling bersejarah sekaligus menegangkan bagi mendiang Endang Rahayu Sedyaningsih.
Bagaimana tidak, di hari itu beliau mendapat telepon dari Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia, Sudi Silalahi. Ia menyampaikan kabar mengejutkan, bahwa Endang dipanggil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Cikeas.
Sontak ia yang kala itu sedang makan siang di sela-sela acara rapat di Hotel Horizon Bekasi, terkaget-kaget dibuatnya, bahkan sempat tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Makanya ia kembali bertanya untuk meyakinkan dirinya: "Apakah ini benar-benar Pak Sudi Silalahi?" “Benar. Ini tidak main-main. Ini keadaan emergency. Saudara diminta sekarang juga untuk datang ke Cikeas. Apakah saudara tahu tempat tersebut?” Lantas, Endang pun menjawab: “Tidak tahu Pak. Tapi saya bisa cari.”
Setelah menutup ponsel, Endang tercenung dalam kebisuan. Ia sama sekali tak menyangka bakal dipanggil ke Cikeas. Begitu banyak pertanyaan berkecamuk di dalam hati dan pikirannya. Perasaan campur-aduk tak karuan itulah yang membuatnya tak kuasa menahan tangis.
Melihat Endang menangis, dr Suhardi, rekan kerjanya yang saat itu berada di depannya pun spontan kebingungan seraya menanyakan; "Apakah ada berita buruk? Ada saudara meninggal? Kecelakaan? Atau sakit keras?“ Lalu Endang menjawab: "Tidak Pak Hardi, saya dipanggil ke Cikeas. Aduh... untuk apa ya saya dipanggil ke Cikeas? Bagaimana kalau saya ditawari suatu kedudukan? Apa yang harus saya lakukan?”
Diberondong pertanyaan tersebut, rekan kerjanya itu tak menjawab, tapi segera membantu membereskan tiga tas yang dibawa Endang yaitu, tas tangan, tas kerja, dan tas komputer sembari berkata: “Ayo cepat turun, saya bantu cari taksi!”
Waktu itu Endang terpaksa menumpang taksi lantaran mobil pribadinya sudah dibawa pulang ke rumah oleh supirnya. Hari itu jadwal rapatnya memang sangat padat, sehingga ia menyuruh supirnya pulang terlebih dahulu, dan diminta untuk menjemputnya saat rapatnya sudah selesai.
Tak lama berselang, ibu tiga anak yang masih beruraian air mata ini pun mendapatkan taksi. Sayangnya, sang supir taksi tak tahu jalan ke Cikeas. Inilah yang menyebabkan mereka sempat tersasar.
Namun, meski supir taksi itu tidak tahu jalan ke Cikeas, nyatanya ia cukup bijak saat Endang -- yang masih dilanda kebingungan mendapat panggilan mendadak itu -- bertanya sekenanya: “Aduh Pak (supir) kalau saya diminta jadi menteri, bagaimana ini Pak?” “Saya doakan agar Ibu dapat menjadi menteri yang baik bagi rakyat Indonesia,” jawabnya dengan nada sungguh-sungguh.
"Ah, inilah sesungguhnya yang diharapkan rakyat kecil bagi pemimpinnya. Baik bagi rakyat Indonesia, bukan baik bagi suami, anak, keluarga dan kerabatnya," begitulah hati kecil Endang berkata. Setelah mendengar ucapan supir taksi itu, diam-diam ia berjanji dalam hati; "Kelak jika tugas itu saya emban, harapan sang supir itu tentu akan saya ingat baik bagi rakyat Indonesia."
Janji inilah yang membuat Endang setelah diangkat menjadi menteri kesehatan (Menkes) berjuang keras menggolkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat seperti, Jaminan Persalinan (Jampersal) gratis untuk keluarga miskin, Peraturan Pemerintah (Permen) yang mewajibkan pemberian ASI eksklusif, perjuangan kerasnya dalam menekan kasus flu burung, demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia dan masih banyak lagi.
Detik-detik menegangkan yang dialami perempuan kelahiran Jakarta, 1 Februari 1955 itu, tertuang dalam buku otobiografi yang sedang digarapnya. Dan sekarang dilanjutkan oleh sahabatnya, Hikmandari dari Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan, sesuai amanat almarhumah.
Buku yang kini tengah memasuki proses editing ini rencananya akan diberi judul Seuntai Garnet Dalam Hidupku.