Kuota BBM Dibatasi, Kalimantan Merugi Triliunan Rupiah
Sistem distribusi bahan bakar minyak (BBM) di Kalimantan mengalami gejolak akibat kelangkaan yang terjadi dalam kurun waktu enam bulan terakhir.
Minimnya kuota untuk Kalimantan menjadi penyebab utama terjadinya stagnasi dan kerugian ekonomi yang tinggi. Hal itu mengundang reaksi keras dari para gubernur di Kalimantan.
Sebagaimana diinformasikan, Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin yang juga merupakan Ketua Forum Gubernur se-Kalimantan, menyatakan bahwa hasil pertemuan empat Gubernur se-Kalimantan dalam Musrenbangnas, beberapa waktu lalu di Jakarta, bersepakat tidak akan mengirim hasil tambang dari daerah masing-masing keluar daerah, jika pemerintah pusat tidak memenuhi permohonan penambahan kuota BBM bersubsidi.
Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto mengatakan, Kadin berharap pemerintah pusat bisa memperhatikan permasalahan ini dengan serius keinginan masyarakat Kalimantan ini untuk menghindari dampak permasalahan lain yang bisa ditimbulkan seperti kerugian ekonomi dan stabilitas nasional yang terganggu.“Kami berharap kesepakatan untuk mengembargo sumber daya alam Kalimantan itu tidak direalisasikan karena bisa mengganggu stanilitas nasional dan kerugian ekonomi nasional,” ujar Suryo
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Koordinator Wilayah Tengah Endang Kesumayadi mengatakan, kerugian ekonomi yang bisa ditimbulkan akibat minimnya kuota yang pada akhirnya menyebabkan kelangkaan di wilayah Kalimantan diperkirakan mencapai Rp10 triliun per bulan.
“Sudah tiga bulan terakhir ini Kalimantan mengalami kelangkaan BBM paling parah. Antrian saja bisa mencapai 3-4 km. Di sana harga mencapai Rp15- 20 ribu per liter tapi masyarakat masih membelinya. Sedangkan di Jawa, harga mau naik saja mendapat reaksi keras,” ungkap Endang.
Endang memaparkan, proses distribusi barang juga terhambat karena adanya stagnasi di lapangan. Sedikitnya 7.000 truk di Kalimantan Selatan, 5.600 truk di Kalimantan Timur, dan 3.500 truk di Kalimantan Barat terhambat beroperasi. Hal itu memicu stagnasi dan antrian panjang di pelabuhan hingga 2-3 hari. “Untuk angkutan batu bara saja yang biasanya sehari bisa 2 atau 3 rit, sekarang hanya 1 rit saja dalam dua hari,” ujar dia.
Selama ini, kata dia, masyarakat Kalimantan merasa “dianaktirikan” dari pembangunan baik itu listrik, infrastruktur dan kuota BBM. Padahal, hasil eksploitasi sumber daya alam Kalimantan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pembangunan nasional. Pihaknya sangat menyayangkan Kementerian ESDM yang tidak bisa mengakomodir kepentingan masyarakat Kalimantan dengan tidak memenuhi Kuota BBM yang dibutuhkan.
“Total nasional kuota BBM subsidi sebesar 39 juta kiloliter (kl), sebagaimana diatur dalam APBN-P 2012. Namun, dalam realisasinya Kalimantan hanya mendapat 5 persen dari kuota BBM Nasional, yang idealnya Kalimantan harusnya bisa mendapat 7,5 persen."
Sebagai solusi untuk mengurangi dampak ekonomi yang dialami dan dampak lain yang lebih jauh lagi, Endang menyarankan agar pemerintah pusat dapat berkonsultasi dengan pemerintah daerah untuk mengetahui kebutuhan kuota BBM yang sebenarnya untuk Kalimantan.