Mengapa Perempuan Dipersulit Menjadi Pemimpin?
Hadir Linda Agum Gumelar selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta beberapa pembicara seperti Dr. Kristi Poerwandari selaku Ketua Program Studi Kajian Gender Program Pascasarjana UI, Aalbert Mol, Ph.D, Prof. Dr. Sasmoko dengan moderator Valens Daki-Soo.
Permasalahan kesetaraan gender menjadi sorotan agama memang bukan barang baru. Bagaimana perspektif ketuhanan yang memandang lelaki adalah mahluk ciptaan Tuhan yang dipilih untuk menjadi seorang pemimpin telah mengakar selama ribuan tahun lamanya dalam budaya dan ajaran agama itu sendiri.
Dr. Maria Josephine Mantik, selaku dosen tetap dan Ketua Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI) yang telah meraih gelar Master of Theology di Harvest International Theological Seminary dan gelar Doctor of Ministry di Sekolah Tinggi Theologia Baptis ini kemudian coba mengangkat isu kesetaraan gender tersebut melalui pemikiran dan penelitiannya lewat buku berjudul "Mengapa Perempuan Dipersulit Menjadi Pemimpin?"
Buku tersebut merupakan bagian dari disertasi, dan didasarkan pada hasil penelitian tentang perempuan pendeta di Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB).
Walaupun mengambil sampel dari GPIB Musyawarah Pelayanan (Mupel) DKI Jakarta, namun hasil penelitian ini secara umum berlaku pula pada kepemimpinan perempuan di berbagai gereja di Indonesia, karena didasarkan pada kesaksian dan pengakuan para pendeta.
Kepemimpinan gereja oleh penulis dimaknai secara luas dari tingkat sinode, gereja lokal, Pendeta Jemaat dan Ketua Majelis Jemaat. Dr. Maria juga melontarkan beberapa hal seperti posisi perempuan pendeta dengan kondisi yang telah didekonstruksi peran, fungsi dan tanggung jawabnya dalam lingkup gereja.
Acara dimulai dengan sambutan oleh Linda Agum Gumelar yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian plakat kepada Dr. Maria di depan para hadirin.
Setelah itu, diskusi terbuka mengenai buku "Mengapa Perempuan Dipersulit Menjadi Pemimpin?" dimulai dengan pemaparan pandangan ketiga pembicara yang hadir.
Dan dari diskusi tersebut, kesimpulan mengenai isu kesetaraan gender di Gereja sebenarnya bisa dirubah, meski dalam sudut pandang keagamaan sebenarnya pihak lelaki masih dipandang sebagai pemimpin yang layak.
"Perempuan masih dianggap sebagai pribadi yang subjektif dalam menentukan sesuatu, sedangkan laki-laki dianggap objektif. Sementara dalam kenyataannya, semua manusia itu berpikir secara subjektif, demikian juga dengan laki-laki, hanya saja ia (laki-laki) dianggap mewakili yang objektif," ucap Dr. Kristi.
Bagi Dr. Maria sendiri sebagai penulis buku, kaum perempuan harusnya bisa diberi kesempatan untuk bisa memimpin karena sebenarnya perempuan memiliki potensi dan kemampuan.
"Cuma kadang-kadang karena budaya, adat istiadat, dan karena agama juga perempuan selalu dianggap menjadi nomer dua sehingga tidak diberi kesempatan," ucapnya saat ditemui usai diskusi.
"Saya mengharapkan dengan adanya buku ini baik laki-laki maupun perempuan mau bergandengan tangan bersama-sama membangun gereja, masyarakat, dan negara. Tidak ada merendahkan satu sama lain," tutupnya.
Stay updated viaRSS