Mereka Membunuh Berdasarkan Keyakinan
Orang bicara cinta
Atas nama Tuhannya
Sambil menyiksa membunuh
Berdasarkan keyakinan mereka
Benarlah lirik pembuka lagu Swami berjudul Cinta. Lagu ini pas untuk jaman sekarang. Orang mencaci, memukul, membunuh karena keyakinan. Seakan-akan Tuhan yang mereka yakini telah memerintahkan untuk menghabisi setiap jiwa yang berbeda keyakinan. Seakan-akan ada firman Tuhan yang berbunyi "bunuhlah mereka yang berbeda keyakinan maka syurga telah kusediakan".
Tragedi Ahmadiyah Cikeusik adalah satu dari ribuan peristiwa serupa. Warga Ahmadiyah yang dianggap murtad itu dipaksa mengakhiri hidupnya dengan meregang nyawa demi mempertahankan keyakinan. Pengikut Ahmadiyah diburu dan dibunuh, rumah dibakar, mata pencaharian hilang, anak-anak tak bisa sekolah. Dan di atas semuanya keluarga korban selalu hidup dalam ketakutan.
Semua akibat dari peristiwa yang merendahkan kemanusiaan ini, sama sekali tak pernah diihitung oleh pelaku kekerasan yang tak waras itu. Di antara kisah yang tersisa dari peristiwa Cikeusik adalah cerita cinta antara dua remaja. Si perempuan, sebut saja Yuli, anak dari keluarga yang sangat anti Ahmadiyah. Bahkan ayahanda Yuli ikut menyerbu ke kampung Cikeusik. Sedangkan, si pria sebut saja dengan Romi adalah anak tokoh Ahmadiyah di Cikeusik.
Keduanya terlibat keasyikan cinta. Saling mengagumi menuntun keduanya bergulat dengan cinta hebat. Keduanya pun sepakat memasuki pintu pelaminan. Sekali lagi, kagum dan cinta membuat keduanya tak sempat saling melakukan fit and proper test atau saling kirim proposal curricullum vitae, sebagaimana laiknya sebuah jabatan atau proyek.
Betapa kagetnya ketika cinta sudah membuncah, barulah keduanya tersadar kalau kedua orang tuanya adalah bak minyak dan air. Melihat latar belakang kedua orang tuanya, sudah dapat dipastikan cinta merek yang tak mengenal batas itu pasti dipaksa berpisah. Keyakinan memaksa perpisahan!
Sepenggal kisah inilah yang diangkat dalam buku "Atas Nama Cinta. Sebuah Puisi Esai" yang ditulis Denny JA. Denny yang lebih dikenal sebagai analis politik dan pelopor konsultan politik dan survei ini membuat topik bahasan cinta menjadi tidak biasa. Bukan cinta biasa!
Selain cerita kisah cinta Romi dan Yuli di Cikeusik yang dipaksa berpisah karena paham agama, buku yang dilabeli puisi esai ini juga menulis soal diskriminasi warga Tionghoa (Sapu Tangan Fang Yin), diskriminasi gender (Minah Tetap Dipancung), diskriminasi kaum homoseks (Cinta Terlarang Batman dan Robin) dan diskriminasi agama (Bunga Kering Perpisahan).
Buku ini mendeklarasikan sebagai puisi esai. Sebagai puisi an sich, buku ini jelas tak biasa. Bayangkan saja, mana ada puisi memiliki catatan kaki. Tapi sebagai esai, buku ini juga tak lazim sebab ditulis dalam tiga atau empat kata per kalimat. Malah dalam beberapa bab, buku ini mengelobarasi kasus dengan memaparkannya secara kronologis.
Dalam buku karangan Denny JA ini juga dengan mudah dapat ditemui analisis ringan atas kasus yang diangkat. Tentu saja, ini bukan pakem sebuah puisi.
Di sisi lain, buku ini seperti mengajak bernostalgia tentang dua arus besar dalam berkesenian: antara seni untuk seni atau seni untuk rakyat, seni untuk kemanusiaan, seni untuk ideologi. Sebelum peristiwa G30S, dunia seni dan kebudayaan terfragmentasi dalam dua kubu: seni tidak memihak (dipelopori oleh kelompok Manifesto Kebudayaan) dan senin yang berpihak pada rakyat (dipelopori oleh kelompok Lekra).
Sementara di buku puisi esai ini, Anda bisa menemukan keduanya. Keindahan kata-kata yang menghunus, khas dari seni yang diusung kelompok seni untuk seni, namun kata-kata itu mampu membombardir bawah sadar. Rangkaian puisi di sini seperti bunga mawar yang indah namun durinya mematikan.
Semua kisah dalam tiap bab di buku ini ditulis dengan riset mendalam. Ruang dan waktu nyaris tak berjarak dengan pembaca. Dan dalam semua kisah di buku ini adalah kisah nyata, yang tak berbeda dengan berita sehari-hari yang kita baca. Bedanya buku ini memberi konteks, latar belakang dan analisis peristiwa.
Buku ini dilengkapi dengan ilustrasi yang menarik, membuat pembacanya berhenti sejenak mengamati guratan garis pena yang kuat.
Buku ini memberi pesan nyata dalam sebuah frase: apakah cinta harus kalah oleh diskriminasi dan bukankah cinta seharusnya menyelesaikan semua urusan? Mengapa cinta yang terlalu dalam atas apa dan siapa justru menjadi pemicu konflik. Tuhan Maha Cinta, mengapa cinta
Judul: "Atas Nama Cinta. Sebuah Puisi Esai"
Penulis: Denny JA
Pemindai Aksara: Yodi Indrayadi
Penyelaras Akhir: Luqman Hakim Arifin
Desain Sampul: AM Wawantoro & M.T. Nugroho
Tata Letak: M.T. Nugroho
Ilustrasi Cover dan Isi: Susthanto
ISBN: 978-602-9498-46-2
Penerbit: Renebook, April 2012