Saya Gagal Berbisnis, Ayah Malah Senang
Bersama ayah saya, ibu saya, dan istri saya |
Orang yang paling banyak memberikan ilmu kepada saya, terutama soal berbisnis adalah ayah saya. Jika saya bercerita tentang pengalaman hidup saya dan pengalaman membangun bisnis, nama ayah saya tidak akan pernah absen muncul di sana. Cerita tentang ayah saya ini selalu mucul saat saya memberikan kuliah umum kewirausahaan di universitas, atau saat memberikan ceramah motivasi di sekolah-sekolah.
Saya baru saja pulang dari safari ke Cilacap, Banyumas, dan Purwokerto. Seperti biasa saya mampir ke SMA dan Universitas, yaitu ke SMAN 1 Cilacap, SMAN 2 Purwokerto dan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Di sana saya memberikan cerita mengenai bagaimana saya berbisnis dan belajar bisnis dari ayah saya.
Kepada mereka saya mengatakan saya memang tidak memulai bisnis dari bawah. Sebab, saya adalah generasi kedua di keluarga Bakrie. Sebelum saya, ayah saya Achmad Bakrie dan saudaranya lah yang mendirikan Kelompok Usaha Bakrie. Kalau boleh dikatakan, saya memulai bisnis dari tengah.
Namun, ayah saya memulai bisnis ini dari bawah. Benar-benar dari nol. Ayah saya bukan anak orang kaya, dia hanya anak seorang petani di Lampung. Ayah saya juga tidak beruntung untuk menikmati pendidikan tinggi. Beliau hanya lulusan Sekolah Rakyat.
Ayah saya memulai usaha dengan berdagang roti. Kemudian, dia juga sempat menjual obat dari perusahaan farmasi untuk disalurkan ke apotik. Banyak usaha yang ditekuni ayah saya. Beliau pernah dagang mainan anak-anak, tekstil, dan lain sebagainya. Karena ketekunannya itu, kemudian ayah saya bisa membangun bisnis sampai memiliki perusahaan sendiri.
Meski pendidikan formalnya tidak tinggi, bukan berarti ayah saya tidak pernah belajar. Beliau rajin belajar dan suka membaca. Bahkan, ayah saya menguasai Bahasa Indonesia, Inggris, Jerman, juga Belanda, dengan fasih. Beliau juga menguasai sejarah Indonesia, Prancis, dan juga membaca kisah-kisah sukses tokoh besar. Ini yang membuat wawasannya luas, dan cerdas dalam berbisnis.
Karena itu, kepada para siswa dan para mahasiswa saya selalu katakan, jika ayah saya yang lulusan sekolah dasar saja bisa, maka seharusnya mereka juga bisa. Dengan pendidikan yang lebih baik, harusnya mereka juga bisa sukses, bahkan lebih hebat dari ayah saya.
Saat pindah ke Jakarta, ayah saya merintis semuanya dari bawah. Keluarga kami bahkan tidak langsung memiliki rumah. Kami mulai dari mengontrak rumah sampai punya rumah sendiri. Cerita ini bisa kalian baca di novel “Anak Sejuta Bintang” yang menceritakan masa kecil saya.
Pelajaran yang paling saya ingat dari ayah saya adalah mengenai cara menghadapi kegagalan. Pada suatu hari saya berkata kepada ayah saya:
“Pak saya mau ngomong, tapi jangan bilang Ibu, ya.”
“Kenapa? Kamu buat malu keluarga? Kamu buntingin anak orang?” kata Beliau.
“Bukan, Pak. Saya gagal berbisnis,” kata saya.
Ayah saya malah tertawa dan mengatakan dia senang. Saya heran, kok anaknya gagal berbisnis, dia malah senang. Rupanya Beliau punya alasan tersendiri. Bagi Beliau, kegagalan itu adalah pelajaran berharga dalam berbisnis.
“Saya senang kamu gagal, karena orang yang tidak pernah gagal, tidak akan pernah berhasil,” ujarnya kala itu, yang terus saya ingat sampai sekarang.
Saya juga selalu ingat nasehat ayah saya yang lain yaitu: “Jangan pernah berdiri di tempat yang gelap. Karena di sana, sahabatmu yang paling setia, yaitu bayangan, pun akan meninggalkanmu”. Kalau bayangan saja pergi, apalagi kawan.
Ini mengingatkan kita agar jangan terlalu lama terpuruk dengan kegagalan. Kita harus segera bangkit dan memulai lagi lembaran baru untuk sukses. Pelajaran ayah saya ini begitu berguna ketika saya terpuruk di tahun 1998. Saat itu, perusahaan yang dibangun ayah saya nyaris habis di tangan saya. Ibu saya sangat sedih saat itu menyaksikan keadaan kami.
Namun karena pantang menyerah, maka saya dan adik-adik saya bisa membangun kembali pelan-pelan, bahkan menjadi lebih besar dari sebelumnya. Jika saat itu saya tidak berani menghadapi kegagalan dan terus terpuruk, maka tidak akan pernah saya bisa bangkit seperti saat ini.
Dalam berbisnis, ayah saya mendidik saya seolah saya memulai bisnis dari nol. Ayah saya juga mengajari saya bagaimana menghargai uang. Ini penting agar kita tidak terjebak dalam hidup boros dan menghamburkan uang yang susah payah kita dapatkan.
Saya ingat sekali, dulu saya pernah meminjam uang Rp16 juta kepada ayah saya untuk memulai usaha. Lalu ayah saya memberikan saya uang tunai dalam karung. Saya heran mengapa caranya seperti ini. Saya sampai susah membawanya. Rupanya ini pelajaran berharga dari Beliau. Saat saya tanya alasannya, Beliau menjawab:
“Itu agar kamu tahu sebanyak apa uang Rp16 juta itu, agar kamu berhati-hati menggunakannya,” jawabnya.
Hal ini membekas sekali di benak saya. Hal ini juga menginspirasi saya dalam mendidik anak-anak saya. Meski keluarga mampu, saya tidak begitu saja memberikan uang atau fasilitas kepada anak-anak saya. Saya masih ingat, dulu anak pertama saya Anindya Bakrie, saat kuliah harus naik sepeda dulu sebelum saya nilai layak mendapatkan sebuah mobil.
Namun bukan berarti kami harus pelit. Menghargai uang bukan berarti pelit, namun agar menggunakannya secara tepat. Bahkan ayah saya juga mengajarkan agar uang yang didapat bisa dinikmati banyak orang. Seperti pesan Beliau yang jadi motto perusahaan kami: “Setiap rupiah yang dihasilkan Bakrie, harus bermanfaat bagi orang banyak,”.
Banyak lagi pelajaran-pelajaran dari ayah saya yang sangat panjang jika diceritakan satu persatu. Tak hanya usaha, atau bisnis, ayah saya juga mengajarkan kepada saya dan keluarga kami untuk mencintai negeri ini. Beliau selalu berpesan untuk terus mencintai Indonesia. Sesulit apapun keadaannya, kita harus selalu cinta pada Indonesia. Beliau mengingatkan, kita menghirup udara Indonesia, kita memakan makanan Indonesia, kita minum air Indonesia, karena itu kita tidak boleh meninggalkan Indonesia.
Kecintaan pada Indonesia ini juga tertanam di sanubari saya, dan menjadi bekal saat saya dipercaya berada di pemerintahan dulu, termasuk juga saat ini saat memimpin Partai Golkar. Karena itulah, saat ulang tahun ke-65 lalu, saya mengatakan akan mengabdikan sisa usia saya untuk negeri tercinta ini.
Itulah sepenggal kisah kecil dari pelajaran yang diberikan ayah saya, Achmad Bakrie, pendiri kelompok usaha Bakrie yang tahun ini berusia 70 tahun. Jika orang menilai saya sukses, lalu bertanya kepada saya di mana saya belajar, maka dengan tegas saya akan menjawabnya: saya belajar dari ayah saya.
Penulis: Aburizal Bakrie