Teknologi Pengawas Lalu Lintas Udara Indonesia Masih Minim
Tekhnologi Air Traffic Control (ATC) atau perangkat pengawas lalu lintas udara yang dimiliki oleh bandara-bandara di Indonesia dinilai minim.
Pilot Senior Garuda Indonesia, Jeffrey Adrian mengatakan ATC di Indonesia tidak memiliki peralatan canggih yang mendukung kinerja mereka dalam mengawasi lalu lintas udara di teritori Indonesia.
Jeffrey yang ditemui usai acara diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (12/5) mengatakan ATC semestinya memiliki alat yang memberikan gambaran visual tentang kondisi sekitar wilayah penerbangan.
"Ada yang jualan, tinggal beli. Tapi belum beli. Ini boleh dikatakan minim teknologi," kata Jeffrey.
Jika dikaitkan dengan peristiwa kecelakan pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, Rabu (9/5), menurut Jeffrey hal itu tidak semata-mata dikarenakan kelangkaan alat deteksi visual kontur daerah terbang.
"Kalau dia nggak ada itu, akan diserahkan kepada visual pilot," kata Jeffrey.
Pengamat penerbangan, Samudra Sukardi mengatakan dalam satu peristiwa kecelakaan pesawat terbang terdapat beberapa penyebab.
Pertama berkaitan dengan teknologi dan perawatan pesawat. Kedua berhubungan dengan kemampuan pilot. Dan ketiga berkaitan dengan infrastuktur bandara dalam hal ini pengatur lalu lintas udara, cuaca dan ATC.
Terkait kecelakaan pesawat Sukhoi, Samudra melihat adanya sejumlah kemungkinan pesawat buatan Rusia itu menabrak tebing Gunung Salak.
"Kalau kita lihat contoh mobil di balapan Formula One, pembalapnya hebat, mobilnya juga canggih, tapi tetap ada kecelakaan. Jadi mungkin saja dari segala sisi ada kemungkinan yang menyebabkan kecelakaan ini," kata Samudra.
Bisa saja, kata Samudra, pilot Alexandr Yablontsev terlalu percaya diri saat mengendarai pesawat.
"Dia over confidence juga bisa. Cuaca kabut, masuk ke cuaca terang, tapi nggak tahu situasi bisa saja," kata Samudra.
Oleh karena itu, kata Samudra, penting untuk memberi pengarahan kepada para pilot asing soal jalur penerbangan yang akan dilakukan.