Berharap Penghormatan dari Rakyat yang Lapar
Tiba-tiba pertanyaan itu muncul di kepala saya ketika melintas di sebuah daerah di pinggiran Beginjhof, Amsterdam. Di pinggir jalan ada seorang tunawisma. Berbeda dengan tunawisma yang sering saya saksikan di sepanjang Jalan Merdeka Bogor, tunawisma yang satu ini lumayan rapi, bersih. Pokoknya, bagi saya orang Indonesia yang biasa melihat ‘kusam’nya tunawisma di Indonesia, merasa bahwa tunawisma yang satu ini sangat istimewa.
Saya mendekatinya dan mulai berbicara. Dengan bahasa terbata-bata, campur aduk, saya mencoba berdialog. Untung ada aplikasi recorder di ponsel saya.
Mulailah percakapan itu:
Anda tunawisma?
Iya saya tunawisma. Apa Anda mau roti dan sekaleng coke?
Anda memiliki itu?
Iya saya punya. Kenapa? Sepertinya Anda heran melihat saya?
Iya. Saya dari Indonesia.
Indonesia? Wah, saya punya sepupu yang bekerja di Indonesia.
O yah? Di mana?
Dia bekerja di Medan.
Wow Anda tahu Medan? Anda tidak punya rumah?
Kenapa? Dari tadi sepertinya Anda heran dengan hal itu?
Iya. Soalnya Anda mengaku sebagai tunawisma, tetapi tampaknya Anda tak tampak seperti itu. Anda menggunakan pakaian yang bersih. Hahahaha, bahkan Anda menawarkan saya roti dan sekaleng coke. Wah…
Tidak masalah kan?
Iya. Saya masih sangat baru di tempat ini. Saya belum terlalu mengenal kehidupan di sini. Saya terbiasa melihat orang-orang dengan status sepertimu di Indonesia. Yang membuat saya merasa ‘waw’ karena tunawisma di Indonesia sangat buruk kondisinya. Mereka berada di jalanan, kolong jembatan bahkan ada yang tinggal di tempat pembuangan sampah. Tampang mereka kusam, kotor, dan sangat memprihatinkan. Sanitasi mereka buruk dan mereka hampir tak punya apa-apa. Mereka tergeletak lemah di sepanjang jalanan hanya dengan beralaskan kardus bekas.
O yah? Kasihan sekali. Saya tunawisma, tetapi bukan berarti tak punya tempat tinggal. Pada siang hari saya harus berada di sini untuk mencoba peruntungan. Malam hari saya berada di tempat penampungan. Saya mendapatkan makanan dari lembaga-lembaga sosial. Saya bisa membaca buku di perpustakaan. Memang, hidup saya tidak seberuntung orang lain yang memiliki keluarga. Tetapi, saya memiliki pemerintah lokal yang menjamin kesehatan saya. Saya menghormati yang mulia. Saya masih bisa makan. Saya tetap semangat. Saya manusia dan mereka memperhatikan saya.
Percakapan itu masih terus berlanjut hingga kemudian angin dingin membuat kami menyelesaikannya.
***
Sejatinya, rakyat menghormati pemimpinnya. Baru saja, Inggris merayakan pesta besar 60 tahun Elizabeth II naik takhta. Seluruh pelosok Inggris, dunia dalam pengaruh Inggris dan dunia sendiri mensyukurinya. Semua mensyukuri kesehatan bagi Ratu yang berkuasa dan kini sudah tua renta itu. Ada kharisma, ada persatuan, ada kedamaian dan penghormatan sebagai efek dari kehadiran sang Ratu.
Saya mengingat peristiwa hilangnya tas saya di terminal Bekasi, Indonesia beberapa bulan silam. Hanya dalam hitungan detik semuanya raib. Saya tidak bisa menuntut. Hanya bisa diam. Ada banyak orang lapar yang membutuhkan itu, dan meninggalkan tas begitu saja tentu merupakan hadiah besar yang akan membantu mereka mengganjal perut untuk sementara.
Saya mengingat investigasi saya yang tidak sempat dimuat di Majalah Warta Ekonomi, Indonesia beberapa bulan silam. Waktu itu saya ditugaskan oleh redaksi untuk menulis tentang Undang-undang BPJS, yaitu tentang jaminan sosial bagi masyarakat Indonesia. Pada usianya yang ke-66 tahun, Indonesia baru memikirkan bagaimana cara untuk memberikan jaminan sosial bagi warganya.
Saya menengok sedikit BeritaSatu.Com dan Kompas.Com, melihat-lihat informasi negaraku tercinta melalui website: ada Presiden yang sibuk dengan pertemuan partai dalam rangka mencegah penurunan popularitas partai. Ada penangkapan tersangka korupsi yang buron sejak lama. Ada penangkapan istri Nazaruddin. Ada kereta api yang mogok hingga ribuan karyawan tidak masuk kantor. Ada kekerasan di Papua.
Berita-berita ini adalah representasi dari realita Indonesia saat ini: negara dengan berjuta masalah. Negara yang yang hampir chaos. Negara yang sibuk mengkorup uang rakyat dan membiarkan rakyat di jalanan menjadi lapar dan menjadi penjahat.
Hampir setiap kali kita mendengar ada perampok yang merampok gerai minimarket 24 jam. Ada pembobol mesin ATM. Ada ribuan penumpang di atas atap kereta api. Ada ibu yang menjual bayinya. Ada kekerasan seksual seorang remaja kepada remaja perempuan.
Ada sikap egois para pengguna jalan Jakarta kepada para pejalan kaki. Ada ibu yang terlunta-lunta dengan janin mati di perutnya tanpa penanganan medis dan ada berjuta masalah lain yang sulit dikatakan lagi. Perih. Semuanya terjadi karena mereka tidak cukup apa pun untuk makan dan bisa dididik.
Ekonomi dunia memang belum terlalu baik. Dunia juga semakin dinamis dan semakin menyulitkan manusia di dalamnya. Banyak pemerintah yang berupaya menyejahterakan rakyatnya: banyak yang gagal tetapi banyak juga yang meski sedikit tetapi lumayan berhasil. Ukuran dari keberhasilan itu adalah bagaimana mengusahakan agar perut rakyat menjadi kenyang. Bagaimana mengusahakan agar rakyat bisa mandiri mencari uang karena mendapatkan pendidikan yang baik.
Sang tunawisma teman bicara saya tadi adalah salah satu yang menilai pemerintahnya masih menghargainya sebagai manusia. Tuturnya soal itu menggambarkan bahwa ia bahagia meski sebagai seorang tunawisma. Terlihat ia merasa dihargai. Soal ketidakberuntungan memang adalah masalah personalnya, tetapi haknya untuk bertahan hidup dijamin oleh pemerintahnya.
Indonesia memiliki banyak hal. Indonesia: perampokan kolektif uang negara melalui korupsi para penyelenggara negara. Indonesia: pemerintahan yang sibuk dengan partainya. Indonesia: pencitraan dari sebuah kondisi pertumbuhan ekonomi makro, bukan ekonomi mikro bagi rakyat jalanan. Indonesia: pembiaran terhadap ribuan jiwa yang bertahun-tahun berdesakan di angkutan transportasi massal, tanpa bisa memilih transportasi yang nyaman baginya. Indonesia: pembiaran terhadap pemasungan hak beragama dan berekspresi. Indonesia: chaos yang tidak disadari. Dan berbagai ke-chaos-an yang hampir merubuhkan negara ini.
Lalu, kalau rakyat masih lapar, apakah masih berharap dihormati rakyat?
Michael Carlos Kodoati
Peneliti FreeIndonesia
Peneliti FreeIndonesia