Krisis Kepemimpinan di Indonesia
Fenomena “kepemimpinan” didunia mulai berkembang pada pertengahan abad ke delapan belas. Ada beberapa pengertian kepemimpinan yang dikemukakan oleh para Scholars, antara lain menurut Shared Goal, Hemhiel dan Coons (1957 : 7) :
“...Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan...”
Sedangkan menurut Tannenbaum, Weschler dan Nassarik (1961 : 24) :
“...Kepemimpinan merupakan pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu...”
Jacobs & Jacques (1990 : 281) mendefinisikan Kepemimpinan sebagai berikut :
“...Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti kepemimpinan) pada kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan...”
Sementara Rauch dan Behling (1984 : 46) berpendapat bahwa :
“...Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan bersama...”
Didalam studi manajemen organisasi, kepemimpinan merupakan kemampuan individual dari seseorang yang berupa perpaduan antara seni atau teknis untuk membuat pihak lain, baik kelompok ataupun individu untuk mengikuti dan mentaati segala keinginan sang pemimpin.
Banyak definisi kepemimpinan yang menjelaskan asumsi bahwa kepemimpinan dihubungkan dengan proses mempengaruhi orang baik individu maupun kolektif. Dalam hal ini adalah dengan sengaja mempengaruhi pihak lain untuk mengikuti kehendak yang diinginkan dalam susunan aktivitasnya dan hubungan kausalitas didalam kelompok atau organisasi. Sedangkan John C. Maxwell (1982) mengatakan bahwa inti kepemimpinan yang sesungguhnya adalah mempengaruhi atau mendapatkan pengikut.
Ada beberapa teori kepemimpinan yang menggambarkan partisipasi antara pemimpin dan yang dipimpinnya, salah satu Scholar yang menjelaskan definisi teori kepemimpinan partisipatif tersebut adalah Douglas McGregor yang mengembangkan Teori X dan Teori Y. Didalam kajian Manajemen Organisasi, Teori kepemimpinan X dan Y tersebut disebut juga dengan Teori Perilaku Individu, teori ini menjelaskan bahwa suatu perilaku tertentu dapat membedakan pemimpin dan yang bukan pemimpin kepada orang-orang.
Konsep teori X dan Y yang dikemukakan oleh Douglas McGregor didalam bukunya yang berjudul The Human Side Enterprises, menjelaskan bahwa para pemimpin didalam sebuah organisasi umumnya dapat digolongkan menjadi dua jenis individu yang memiliki cara pandang yang berbeda terhadap para karyawannya. Pemimpin yang berperilaku menurut Teori X pada dasarnya merupakan individu yang malas dan tidak suka bekerja keras serta senang menghindar dari pekerjaan dan tanggung jawab yang ada padanya. Pemimpin tersebut memiliki ambisi yang kecil untuk mencapai tujuan organisasi namun menginginkan balas jasa serta jaminan hidup yang tinggi atas setiap hal kecil yang telah dilakukannya. Sedangkan pemimpin yang tergolong dalam kategori Teori Y merupakan pemimpin yang memiliki pola berpikir bahwa kerja adalah kodrat manusia seperti halnya kegiatan sehari-hari lainnya. Pemimpin dalam kategori teori ini memiliki kemampuan kreativitas dan komitmen yang tinggi, tingkat keterampilan dan kepandaian yang memadai serta memahami tanggung jawab dan prestasi atas pencapaian tujuan organisasi.
Dari penjelasan diatas, kita bisa mengambil kesimpulan sementara bahwa sebuah organisasi atau perusahaan atau “negara” untuk pengertian wilayah yang lebih makro, jika dipimpin oleh seorang pemimpin dengan kategori perilaku seperti yang dijelaskan dalam Teori Y, maka negara tersebut tentu akan menjadi negara yang dapat memberikan kemaslahatan bagi seluruh elemen publik yang ada didalamnya.
Penelitian mengenai Teori X dan Teori Y ini kemudian menghasilkan teori gaya kepemimpinan ohio state yang membagi tingkat kepemimpinan berdasarkan skala pertimbangan dan penciptaan struktur wilayah yang dipimpinnya.
Robert Tannenbaum dan Warren H. Schmidt (1994) kemudian menjelaskan mengenai perkembangan teori kepemimpinan yang disebut dengan “Model Leadership Continuum” Teori ini merupakan hasil pemikiran dari Robert Tannenbaum dan Warren H. Schmidt (dalam Hersey dan Blanchard :1994) yang menjelaskan bahwa pemimpin mempengaruhi pengikutnya melalui beberapa cara, yaitu dari cara yang menonjolkan sisi ekstrim yang disebut dengan perilaku otokratis sampai dengan cara yang menonjolkan sisi ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku demokratis.
Perilaku otokratis, pada umumnya dinilai bersifat negatif, di mana sumber kuasa atau wewenang berasal dari adanya pengaruh pimpinan. Jadi otoritas berada di tangan pemimpin secara penuh, karena pemusatan kekuatan dan pengambilan keputusan ada pada dirinya dengan tanggung jawab penuh, sedangkan bawahannya dipengaruhi melalui ancaman dan hukuman yang menyebabkan timbulkan rasa takut yang dalam dari bawahannya. Selain bersifat negatif, gaya kepemimpinan ini mempunyai manfaat antara lain, pengambilan keputusan cepat, dapat memberikan kepuasan pada pimpinan serta memberikan rasa aman dan keteraturan bagi bawahan. Selain itu, orientasi utama dari perilaku otokratis ini adalah pada proses pendelegasian tugas. Seorang pemimpin yang otoriter, mampu menjalankan roda kepemimpinan dengan model Management by Conflict karena adanya ancaman hukuman bagi siapa saja yang tidak mentaati perintah pimpinan. Di era orde baru, kita mengenal model kepemimpinan yang seperti ini, kepala negara yang otoriter memang akan mampu membuat sebuah negara menjadi teratur, tetapi lambat laun akan muncul “The Hate Symbol” dari pihak-pihak yang merasa tersingkirkan karena diangap tidak mentaati perintah pemimpin.
Sedangkan Perilaku demokratis merupakan perilaku kepemimpinan yang diperoleh dari sebuah sumber kekuasaan atau wewenang yang berawal dari sebuah proses legitimasi yang diberikan oleh bawahan sebagai sub-ordinate, atau jika kita berbicara untuk wilayah yang lebih makro adalah ketika seorang pemimpin sebuah negara mendapatkan legitimasi dan kepercayaan dari publik yang dipimpinnya. Perilaku seorang pemimpin yang demokratis memandang bahwa proses pendelegasian wewenang berupa tugas dan tanggungjawab kepada bawahan, dan diberikan dengan cara memberikan motivasi kepada bawahan dengan tepat dan bijaksana.
Dalam melaksanakan kepemimpinannya berusaha mengutamakan kerjasama dalam sebuah tim kerja yang dibuat untuk mencapai tujuan organisasi, Seorang pemimpin yang demokratis senang menerima saran, pendapat dan masukan bahkan kritik dan koreksi dari bawahannya sebagai sebuah sistem yang tidak terpisahkan dari proses kepemimpinan dirinya. Kebijakan yang dibuat oleh seorang pemimpin yang demokratis merupakan sebuah kebijakan yang terbuka bagi terciptanya diskusi yang konstruktif agar dapat dihasilkan sebuah keputusan kelompok yang kolektif.
Sejak reformasi dikobarkan oleh para pemimpin kita lebih dari sepuluh tahun yang lalu, seluruh publik di Indonesia sangat berharap bahwa di-era pasca reformasi seperti saat ini, akan banyak lahir para pemimpin baru dengan kualitas seperti yang dijelaskan McGregor dalam Teori Y dan mempunyai perilaku individu yang demokratis. Tetapi mengapa Indonesia justru mengalami krisis kepemimpinan yang menandingi krisis ekonomi serta menimbulkan krisis kepercayaan dari publik?