Sepak Bola : Agama Baru
Perhelatan sepak bola di benua biru (Eropa) membawa euphoria mendunia. Mulai dari ujung Tibet sampai ujung aspal Pondok Gede merasakan “demam” tiba-tiba. Mengalahkan semua problema akut di dunia, soal politik, ekonomi, sosial dan segala permasalahan lainnya. Yang berhutang tiba-tiba gembira dan lupa akan hutangnya, yang ABG galau pun hanyut bersuka cita, para Politikus tak mau kalah ikut berkomentar soal sepak bola, dan siaran tv mengenai kasus korupsi kalah rating dengan sportacularnya RCTI.
Soal politik, sebagian masyarakat dunia mengalami persoalan ini, tak terkecuali di Eropa, seperti misalnya krisis politik di Yunani yang tak kunjung reda, belum lagi di negara lainnya. Masalah ekonomi tak ketinggalan menghantam spanyol dan perancis serta negara lainnya, semuanya telah terkalahkan atau dikatakan sementara dilupakan oleh euphoria sesaat ini.
Begitu hebatnya daya tarik olahraga si kulit bundar ini yang bisa menyihir milyaran mata diseluruh dunia untuk sekedar hanyut dalam kegembiraan sampai rela untuk begadang dan mengantuk sampai pagi. Sebuah realita pemandangan keadaan masyarakat dunia saat ini yang haus akan tontonan olahraga yang menghibur, menyenangkan, sportifitas/fair play dan sebagainya, yamg mungkin jarang mereka temukan di dunia keseharian.
Tidak itu saja, sepak bola menimbulkan “kegilaan” yang tak masuk akal seperti layaknya pejuang mujahid di Afghanistan ataupun di Irak atau mungkin Bomber Bali yang rela mati demi simbol/ bendera/negara. Belum lekang dari ingatan kita dengan tewasnya seorang supporter sepak bola bernama Rangga dari Supporter viking Bandung akibat bentrok dengan supporter persija beberapa saat yang lalu, ini menggambarkan sebuah “kegilaan” fanatisme buta sekaligus sempit.
Belum lagi dengan bentrok antara supporter Polandia dengan supporter Rusia dalam pagelaran piala Eropa beberapa hari yang lalu yang telah memakan korban luka-luka di kedua belah pihak, dan banyak lagi contoh yang bisa mengamini bahwa sepak bola sudah menjadi “agama baru” di dunia.
Semua rela mati demi simbol/kepercayaan/bendera. Setali tiga uang dengan fanatisme sempit yang juga melanda sebagian penganut agama samawi di dunia. Hanya bedanya, di sepak bola tidak perlu pemimpin/Pendeta/Kyai untuk menggerakkan, tidak perlu arahan, tidak perlu tausiah. Mereka seolah-olah sudah mengerti kapan bergerak, menyerbu, dan membakar lalu membubarkan diri. Sesaat setelah bentrok, aparat polisi tidak akan mampu menangkap siapa aktor/pentolan/otak dari kerusuhan, akan selamanya seperti itu.
Nah, kalau sudah seperti ini, maka salah satu upaya untuk mengeliminir dekstruftifnya para “penggila” bola ini adalah dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat dengan perbaikan pendidikan, mulai dari usia dini dan pendidikan untuk semua lini (kaya-miskin), karena kita percaya, agresifitas manusiaberbanding lurus dengan tingkat pendidikan serta status ekonominya (sandang-pangan dan papan), saya masih ingat betul dosen Ilmu Nutrisi saya berkata bahwa “gizi sangat berpengaruh pada tingkat agresifitas manusia atau hewan sekalipun”. Seekor kucing bisa memakan anaknya sendiri, akibat kekurangan zat besi kalsium di dalam makanannya.
Meskipun demikian kompleksitas permasalahan yang terjadi diyakini banyak faktor yang berperan didalamnya bukan hanya dua hal tersebut . Akhirnya Yang bisa kita tarik benang merahmya bahwa kondisi supporter dan persepak bolaan di sebuah negara adalah cerminan atas kondisi sosial ekonomi bahkan politik atas masyarakat sebuah negara. Semua masih mungkin untuk dibenahi Nothing impossible asal menjuhkan diri dari fanatisme sempit dan membabi-buta baik dalam beragama maupun dalam bersepak bola. (Dari penggila bola yang sudah insyaf)
Penulis: Muh Hatta Tahir