Tampilkan postingan dengan label Sport. Tampilkan semua postingan

Rapor Peserta Euro 2012



Pangeran Siahaan
Sekolah singkat musim panas bernama Euro 2012 telah usai setelah di hari terakhir, siswa unggulan Spanyol berhasil mengalahkan Italia. Apa yang dilakukan setelah hari terakhir sekolah? Tentu saja bagi-bagi rapor.

Berikut rapor dari 16 siswa peserta sekolah musim panas Euro 2012 di Ukraina dan Polandia. Tentu saja Anda bisa mempunyai penilaian yang berbeda, tapi di kolom ini, saya kepala sekolahnya. Bila para wali siswa berkeberatan, silakan memberi penilaiannya sendiri di kolom komentar.

Polandia
Selalu mengecewakan menyaksikan tuan rumah harus tersingkir di babak awal, terlebih Polandia adalah unggulan di grupnya. Di lain sisi, tak banyak yang bisa dilakukan Polandia selain berharap pada Robert Lewandowski. Gol Jakub Blaszczykowski adalah salah satu yang terbaik sepanjang turnamen.
Nilai: 6

Republik Ceska
Dibantai di partai pertama, finis sebagai juara grup. Hal-hal semacam ini yang membuat turnamen menjadi seru. Tim Republik Ceska 2012 ini sama sekali tak punya kekuatan seperti Ceska tahun 2004. Bahkan apa yang dilakukan Milan Baros di atas lapangan selain berlari pun tak jelas. Melaju ke perempatfinal tergolong hebat.
Nilai: 6,5

Rusia
Salah satu kekecewaan terbesar sepanjang turnamen. Semua orang mengira usai menghajar Rep. Ceska, Rusia akan melaju seperti Tentara Merah di tahun 1995. Mereka tampak menganggap enteng pertandingan melawan Yunani dan akibatnya sangat fatal. Yang bersinar dari Rusia adalah Alan Dzagoev yang akan menjadi incaran klub-klub besar Eropa tak lama lagi.
Nilai: 6

Yunani
Kembali mengejutkan semua orang dengan melaju ke perempatfinal setelah memarkir pilar-pilar Panthenon di depan gawang dan mengalahkan Rusia 1-0. Yunani bermain hebat dengan 10 orang selama babak kedua saat melawan Polandia. Dimitris Salpangidis adalah pemain paling impresif dari Yunani bersama Giorgos Karagounis. Tim ini bahkan mencetak 2 gol ke gawang Jerman.
Nilai: 7

Jerman
Tim paling menghibur dan paling menyerang sepanjang turnamen yang sayangnya juga menjadi kelemahan mereka. Mereka adalah favorit para penonton netral yang seharusnya bisa berbicara lebih banyak. Jogi Low terkena getah dari kesalahan taktiknya saat melawan Italia, tapi prospek tim ini begitu besar. Dunia dikenalkan dengan Marco Reus dan Mats Hummels dalam turnamen ini. Tim ini akan lebih matang di masa mendatang.
Nilai: 8

Portugal
Seiring bersinarnya Cristiano Ronaldo, Portugal berhasil melaju ke semifinal sebelum terhenti di tangan Spanyol. Bersama Nani di sisi sayap satunya lagi, Portugal mempunyai lini sayap paling menakutkan sepanjang Euro 2012. Sayangnya ketiadaan striker yang mumpuni seperti tahun-tahun sebelumnya kembali berpengaruh besar dalam permainan Portugal. Selain Ronaldo, Joao Moutinho dan Fabio Coentrao juga tampil cemerlang.
Nilai: 7,5

Denmark
Tampil mengejutkan dengan mengalahkan Belanda di partai pembuka dan hampir saja berhasil memetik hasil imbang dari ketinggalan 2 gol saat melawan Portugal. Denmark tidak beruntung saat melawan Jerman tapi berhasil memberi penampilan yang solid sepanjang turnamen. Satu hal yang kita pelajari, Nicklas Bendtner selalu bermain dalam level yang berbeda bersama tim nasional. Ia tak seburuk yang kita kira.
Nilai: 7

Belanda
Performa Belanda sepanjang Euro 2012 adalah sebuah bencana tidak hanya bagi pemain tapi bagi para penggemar. Digadang-gadang sebagai kandidat juara, Belanda mengakhiri turnamen secara prematur dengan nilai 0. Kekalahan dari Denmark di awal laga benar-benar memukul kepercayaan diri para pemain Belanda dan mereka tak pernah pulih. Mengingat kualitas pemain yang mereka miliki, performa Belanda di turnamen ini akan diingat sebagai salah satu titik terburuk dalam sejarah sepak bola mereka.
Nilai: 5

Spanyol
Juara. Tidak kebobolan selama fase knock-out, rekor yang mereka pertahankan sejak Euro 2008. Mereka yang bilang Spanyol membosankan akan tercekat diam seperti preman terminal yang baru ditampar tentara setelah melihat pertandingan final. Turut berduka cita untuk para pembenci tim nasional Spanyol.
Nilai: 9,5 (nilai dikurangi 0,5 karena tidak mengizinkan John Terry untuk turut mengangkat Piala)

Italia
Tim yang paling mengesankan sekaligus mengejutkan selama kejuaraan ini. Cesare Prandelli berhasil mengubah stereotipe sepak bola Italia selama ini dan menghasilkan sebuah skema permainan yang begitu nikmat disaksikan. Turnamen ini akan dikenang sebagai turnamen-nya Andrea Pirlo dan merupakan pemandangan yang memilukan melihat Pirlo berada di sisi yang kalah dan menangis usai partai final melawan Spanyol. Dua gol Mario Balotelli melawan Jerman juga akan lama tinggal dalam memori para pecinta sepak bola. Oh, dan tendangan Panenka dari Pirlo...woof.
Nilai: 8,5

Kroasia
Kroasia hanya kekurangan 1 gol saat melawan Spanyol untuk lolos ke perempatfinal dan mereka bisa mengganggap bahwa keberuntungan berpaling ketika mereka tidak diberikan penalti. Mereka sanggup merepotkan Italia dalam partai yang berakhir imbang dan Mario Mandzukic memperkenalkan dirinya pada khalayak yang lebih luas. Ia bahkan langsung dikontrak Bayern Muenchen saat turnamen sedang berlangsung.
Nilai: 7

Republik Irlandia
Para suporter Irlandia yang bernyanyi tanpa henti jauh lebih mengesankan dari 11 orang berpakaian hijau yang berlari tanpa arah di atas lapangan. Tapi apa yang bisa diharapkan dari tim nasional yang bek tengah utamanya, Sean St Ledger, tidak bermain di divisi teratas? Kebobolan cepat dalam 2 pertandingan pertama menyebabkan Giovanni Trappatoni tak bisa menerapkan strategi ultra defensifnya yang meloloskan Irlandia ke Euro ini. Salahkan Shay Given.
Nilai: 4,5

Inggris
Menjuarai grup sudah merupakan prestasi yang hebat bagi Roy Hodgson dan Inggris karena bila sebelum turnamen ada yang mengatakan demikian, mereka akan menggelengkan kepala. Tersingkir di perempatfinal karena adu penalti adalah sesuatu yang Inggris sekali. Tak ada yang suka permainan defensif Inggris, tapi Joe Hart adalah salah satu kiper terbaik sepanjang turnamen dan gol Danny Welbeck juga mengesankan.
Nilai: 7

Prancis
Bukan turnamen terbaik yang pernah dijalani Prancis tapi akhirnya mereka bisa lolos ke fase knock-out setelah bahkan gagal memetik kemenangan dalam dua turnamen besar terdahulu. Kubu Prancis kembali melakukan hobinya untuk gontok-gontokan sendiri setelah Samir Nasri dan Hatem Ben Arfa berseteru, mengecewakan. Setidaknya tak ada yang dipulangkan paksa kali ini seperti Nicolas Anelka tahun 2010.
Nilai: 6,5

Ukraina
Selain momen hebat terakhir Andriy Shevchenko saat melawan Swedia, tak terlalu banyak yang bisa dilakukan Ukraina. Mereka bisa protes karena gol mereka melawan Inggris tidak disahkan, tapi pada akhirnya Ukraina berada di tempat yang tepat.
Nilai: 6

Swedia
Sangat disayangkan mereka lengah saat partai pertama dan harus kalah dalam partai berikutnya sehingga otomatis tersingkir, terlebih saat akhirnya Zlatan Ibrahimovic bisa mengopi performanya di level klub bersama tim nasional. Gol tendangan guntingnya ke gawang Prancis adalah juga kandidat gol terbaik sepanjang turnamen.
Nilai: 6,5


Pangeran Siahaan
Pecinta Sepak Bola

Meski Spanyol Juara, Italia Lebih Berkembang



Arie Firdaus
Mayoritas orang Italia percaya mitos. Pencapaian Azzurri hingga final Piala Eropa 2012 tak sedikit yang menyebut sebagai campur tangan mitos: Italia akan sukses jika didahului masalah di sepak bola domestik mereka. Balasan baik bagi penderitaan yang mereka terima sebelum berangkat ke Polandia-Ukraina.


Benar! Mereka memulai turnamen dengan masalah. Kehilangan seorang pilar di lini belakang: Domenico Criscito, yang harus berurusan dengan polisi akibat dugaan ‘jual-beli’ pertandingan. Benar! Perdana Menteri baru mereka, Mario Monti pernah mengeluarkan ide gila untuk menghentikan Calcio selama dua hingga tiga tahun.


Tapi bagi saya, mereka tidak sukses karena itu. Italia tidak sukses karena mitos. Gianluigi Buffon Cs mencapai final karena secara teknis dan mental, mereka sangat luar biasa. Mereka terorganisir dan bermain dinamis. Tidak ada lagi catenaccio, itu yang paling menonjol!


Aliran bola antarpemain sangat cepat, persis seperti Spanyol di awal era emas mereka. Menurut saya, Italia adalah tim yang paling menghibur di turnamen tahun ini, dan mereka telah mendapatkan kompensasi untuk itu: tiket ke final!


Mereka menghadapi Spanyol di partai final. Tim yang sempat menjadi kiblat sepak bola dunia dalam lima tahun terakhir. Tapi di turnamen ini mereka mengecewakan penggila sepak bola kebanyakan.


Anak asuh Vicente Del Bosque memang masih memperagakan atraksi bola pendek dari kaki ke kaki seperti ciri khas mereka. Tapi hanya itu yang mereka punya. Operan dari kaki ke kaki. Memutari lawan! Ya, hanya memutari lawan.


Spanyol seperti menemui stagnansi dalam sepak bola mereka. Sebaliknya, Italia terus berkembang sejak pertandingan pertama. Mereka terus berubah: mulai dari menggunakan tiga bek di pertandingan pertama, sampai beralih ke empat bek di formasi 4-3-1-2. Pemain yang hilang, mampu disubstitusi dengan baik oleh penggantinya.


Di perempatfinal, Italia yang kick n rush mengajari Inggris yang catenaccio. Sementara Spanyol dipaksa bekerja keras oleh tim yang compang-camping akibat konflik internal: Prancis.


Di semi-final, Italia secara perkasa mengalahkan Jerman yang jumawa. Sedangkan Spanyol empot-empotan oleh Portugal yang agresif dan lapar gelar. Spanyol hanya beruntung bisa ke final, begitu kata kapten Portugal, Cristiano Ronaldo seusai kalah dari Iker Casillas Cs melalui adu penalti di semifinal.


Spanyol yang beruntung itu kemudian berhadapan dengan Italia yang tengah berkembang. Secara permainan, Italia lebih baik. Optimisme pun menjalar ke semua personel Italia dan pendukungnya. Tapi, bagi sebagian pendukung lain yang percaya pada mitos, grafik permainan Italia yang bagus justru membuat mereka ketar-ketir.


Italia sering kalah di partai puncak justru saat mempertontonkan permaianan rapi nan memikat sepanjang turnamen. Itu terjadi pada Piala Eropa 2000, saat Italia kalah dari Prancis 1-2 melalui gol di ujung pertandingan milik David Trezeguet.


Tapi Spanyol tidak usah takut akan cap beruntung tersebut. Juara akan tetap menjadi juara. Pernyataan Johan Cruyff yang menyebut bahwa permainan indah akan lebih dikenang dibanding sebuah kemenangan tidak lebih adalah pembelaan diri seseorang yang pernah ada di dalam sebuah tim impian, tapi tidak pernah memenangkan satu gelar pun.


Gelar juara lebih penting, meski hanya diraih lewat permainan tiki-takanaccio yang membosankan. Karena, sebuah ungkapan pernah bilang: The winner takes it all.




 Arie Firdaus
Jurnalis olahraga

Spanyol: Sejarah, Taktik, dan Kesempurnaan





Lafen Nassya Firanda
Dua puluh tahun dari sekarang Anda bisa membeli buku panduan Euro 2032 dan melihat artikel sejarah yang berjudul “Spanyol 2012: Tiki-Taka, Sebuah Dominasi dan Kesempurnaan”. Ya Spanyol telah menjadi simbol kesempurnaan sebuah tim sepakbola dengan treble yang mereka menangkan selama enam tahun ini.
Spanyol sebelum Euro 2008 bergulir adalah tim yang selalu menjadi pecundang dengan prestasi yang hanya menjuarai Euro 1964. Sekarang siklus itu pun berubah menjadi tim yang selalu memenangkan turnamen besar -- Euro 2008, Piala Dunia 2010, dan Euro 2012. 
Kemudian diikuti juga dengan banyak rekor, dua babak kualifikasi berturut-turut mencatat rekor sempurna (18-0), 10 pertandingan babak knockout tanpa kebobolan terhitung sejak Euro 2008 sampai sekarang, dan ditutup dengan empat gol ke gawang Italia di final Euro. Belum ada satu pun tim yang bisa mencatatkan rekor seperti itu bahkan kapten Tsubasa bersama generasi emas Jepang-nya pun harus kebobolan banyak gol sebelum menjadi juara.
Spanyol telah membuat suatu era baru sepak bola yang bakal selamanya dikenang, dalam rentang 44 tahun hanya satu gelar yang bisa diraih dan sekarang mereka hanya membutuhkan enam tahun saja untuk meraih tiga gelar juara turnamen besar. 
Menang dan menjadi juara telah menjadi sesuatu yang biasa bagi Spanyol, mempertahankan mahkota Euro adalah pencapaian yang belum pernah dibuat oleh tim mana pun. Fernando Torres yang memberikan kepastian bagi Spanyol menjadi juara dengan golnya membuat dirinya menjadi orang pertama yang mencetak gol di dua final berturut dan meraih golden boot
Kemudian rekan satu tim Torres di Chelsea, Juan Mata mencetak gol penutup dan Spanyol menutup Euro ini dengan raihan  12 gol dan 1 kali kebobolan.
Sedikit kilas balik, semuanya dimulai pada kuarter final Euro 2008, Spanyol menyingkirkan Italia lewat adu penalti dan akhirnya mereka melaju ke semifinal untuk pertama kalinya setelah 24 tahun. “Setelah kemenangan malam itu saya merasa saya telah menjadi juara,” ujar Fernando Torres. Keyakinan Torres ini benar-benar nyata, setelah itu tidak ada lagi tim yang bisa menghentikan laju Spanyol.
Faktanya demikian, lawan mereka, Italia adalah satu-satunya tim negara besar Eropa yang tidak bisa mereka kalahkan dalam pertandingan kompetitif waktu normal. Mereka secara mengejutkan berhasil melaju ke final Euro 2012 dan harus merasakan bagaimana tandukan banteng Spanyol menghantam mereka dengan telak. 
Dengan keyakinan penuh setelah memenangkan laga melawan Jerman dan dengan prediksi final yang bakal berjalan ketat mereka justru tidak kuasa untuk menahan gelontoran empat gol dari David Silva, Jordi Alba, Fernando Torres, dan Juan Mata.
Empat belas menit setelah peluit kick off dibunyikan, Andres Iniesta memberikan umpan brilian kepada “penyerang ilusi” Francesc Fabregas. Secara mengejutkan Fabregas yang seharusnya menjadi penyerang tengah justru berada di posisi kanan dan mengirimkan umpan crossing kepada David Silva dan dengan sundulannya Spanyol berhasil unggul duluan 1-0. 
Gol ini adalah contoh dari implementasi taktik tanpa striker Del Bosque “false nine”, bagaimana tiga pemain depan bebas untuk bereksplorasi dengan posisinya karena tidak ada striker yang menempati posisi pasti, tiga gelandang mobile seperti Iniesta, Fabregas, dan Silva tidak stagnan berada di posisinya, dengan taktik ini mereka bisa saling menutupi posisi masing-masing. Mereka tidak hanya menunggu umpan datang dari lini kedua, mereka selalu mencari bola, fungsi mereka sebagai gelandang juga tetap diterapkan dengan baik.
Del Bosque membawa tiga striker ke dalam skuatnya, Fernando Torres, Fernando Llorente, dan Alvaro Negredo. Tetapi justru gelandang seperti Fabregas yang dijadikan “ujung tombak” Spanyol, Torres lebih banyak berperan sebagai supersub. Llorente setidaknya bisa memenuhi resume-nya dengan menjadi juara Euro, dan Alvaro Negredo cuma tampil sebagai cameo
Keengganan Del Bosque untuk memasang striker murni ini justru lebih efektif. Kombinasi trio Iniesta, Fabregas, dan Silva malah membawa permainan Spanyol ke level selanjutnya menjadi lebih taktikal dengan tetap tidak menghilangkan unsur tiki-taka.
Gol kedua dari Jordi Alba juga menjadi contoh bagaimana taktik false nine ini dijalankan. Overlap dari sayap kiri, Alba dengan dinginnya menaklukkan Gianluigi Buffon setelah menerima assist brilian dari Xavi. Empat bek Italia seperti kebingungan melihat ketiga pemain depan Spanyol justru tidak berada di posisi yang semestinya, begitu terpakunya mereka sampai-sampai pergerakan Jordi Alba yang seperti ninja tidak mereka sadari. Sebuah uppercut punch yang membuat Italia kelimpungan dan harus melakukan banyak pergantian di babak kedua.
Satu hal yang mengejutkan pada half time adalah bagaimana Spanyol harus kalah dalam ball possession (47%-53%). Permainan ofensif Italia memberikan efek kejut buat Spanyol. Skor memang 2-0 tetapi untuk permainan kedua tim kelihatan berjalan seimbang.
Pada babak kedua Antonio Di Natale masuk menggantikan Antonio Cassano yang seperti terisolasi karena ketatnya pressing Spanyol. Satu peluang langsung Di Natale dapatkan, setelah itu Italia seperti kehilangan akal untuk memecahkan teka-teki tiki-taka false nine Del Bosque.
Titik balik kejatuhan Italia adalah pada saat Thiago Motta yang belum juga lima menit berada di lapangan harus out karena cedera hamstring. Berita buruknya Cesare Prandelli telah melakukan tiga pergantian pemain dan Italia terpaksa harus bermain dengan 10 pemain selama nyaris setengah jam. Penderitaan yang terasa sangat lama karena Motta yang dimasukkan dengan tujuan untuk mengimbangi lini tengah Spanyol dan memutuskan aliran bola dari Xavi dan Xabi Alonso justru harus keluar.
Seperti Titanic yang karam karena menabrak gunung es, kehilangan Motta yang menjadi motor penggerak membuat lini tengah Italia bocor dan karam karena sudah tidak bisa ditambal lagi. Pemain Italia lain seperti ingin menyelamatkan diri dengan sekoci penyelamat dari dingin yang menusuk dari lautan Spanyol. Pirlo sebagai kapten kapal sudah kehabisan tenaga setelah di-pressing tanpa henti tidak bisa berbuat banyak. Seperti Titanic, kapal Italia yang sudah tanpa motor dan kosong harus kebobolan dua gol setelah itu.
Orang boleh menganggap filosofi tiki-taka sudah dalam tahap yang menjemukan, tiki-taka dianggap sama dengan catenaccio, apabila catenaccio adalah seni bertahan tanpa bola, tiki-taka juga sebenarnya sama dengan hal itu, tiki-taka adalah seni bertahan dengan bola sehingga ada sindiran terhadap tiki-taka itu sendiri sebagai “tiki-takanaccio”.
Orang boleh menyindir seperti itu, namun dengan dominasi yang Spanyol tunjukkan pada final Piala Eropa 2012 mereka harus berpikir ulang bahwa sampai saat ini tiki-taka adalah cara permainan yang sangat sulit untuk dihentikan. Memang tidak ada cara lain untuk menghentikannya selain dengan bermain bertahan dan memarkirkan bus sebanyak-banyaknya di depan gawang.
Italia dengan filosofi dasar mereka yaitu catenaccio justru berani bermain terbuka melawan Spanyol, kenekatan yang dilakukan Prandelli ini justru membuat sesuatu yang fatal. Mengeluarkan seluruh tenaga untuk merebut bola yang ada di kaki pemain Spanyol pada babak pertama dan akibatnya adalah stamina yang sudah terkuras habis pada babak kedua.
Sesaat setelah peluit akhir dibunyikan, Mario Balotelli yang menjadi pahlawan Italia ketika melawan Jerman langsung masuk ke ruang ganti, seperti ada sesuatu yang tersirat dalam dirinya bahwa ia tidak kuasa untuk menerima kekalahan ini.
Penyerang berusia 21 tahun ini harus mengerti bahwa perjalanannya di timnas masih sangat panjang dan Cesare Prandelli meyakini bahwa perjuangan Balotelli masih belum berakhir. “Kamu harus menerima semua ini, kadang pemain yang besar adalah pemain yang bisa menerima kekalahan bagaimanapun menyakitkannya itu.”
Pada akhinya empat gol dirasakan “cukup” untuk membuat suatu sejarah yang mungkin tidak bakal bisa diulangi lagi sampai 50 tahun ke depan. Ya “cukup”.
“VAMOS ESPANA!”


Lafen Nassya Firanda
Mahasiswa

Berakhirnya Euro 2012 dan Jam Lembur Istri





Nilla A. Asrudian
Ajang sepak bola Piala Eropa 2012 telah berakhir pada 2 Juli 2012. Dengan demikian berakhir pula agenda ‘lembur’ nonton para penggila sepak bola yang berlangsung sejak 8 Juni 2012 lalu. 
Perhelatan olahraga negara-negara Eropa ini membuat para penggila sepak bola dan pelaku bisnis seperti kafe-kafe sibuk memperhatikan jadwal-jadwal pertandingan. Tak ketinggalan kaum bapak dan anak-anak muda di tanah air juga menggelar acara nonton bareng terbatas di lingkungan rumahnya.   
Yang menarik, ternyata Euro 2012 ini bukan hanya membuat pecinta sepak bola terjaga larut malam hingga pagi. Kaum istri pun terkena imbasnya. Saya dan teman saya salah satunya. Beberapa waktu lalu, teman saya, seorang akuntan di sebuah kantor swasta dan ibu dari satu orang anak, bertandang ke rumah.
Obrolan demi obrolan akhirnya sampai pada kegandrungan para suami nonton bola meski esoknya harus berangkat kerja pagi-pagi sekali. Teman saya bilang, ia mencemaskan suami yang kurang tidur, menyetir kendaraan dalam keadaan mengantuk, dan bekerja hingga sore hari. Ia juga bilang jam ‘kerja’nya sendiri di rumah pun semakin panjang selama Euro 2012.
Saat menonton siaran Euro 2012, sang suami kerap minta dibuatkan kopi panas dan penganan hangat seperti bakwan, pisang, atau tape singkong goreng. Jika biasanya, teman saya sudah tidur sekira pukul sembilan maka selama Euro 2012 ia tidur pukul sebelas atau dua belas dalam rangka menyiapkan kebutuhan nonton sang suami. 
Saya tanya kenapa tidak disiapkan sejak jam delapan, agar tidak mengganggu jam tidur. Teman saya bilang, “jika digoreng jam delapan, kopi dan gorengannya sudah keterlaluan ‘dingin’nya dan suami saya tidak suka itu.” Ah, betul juga!
Sebetulnya, kondisi itu tidak jauh dari apa yang saya alami. Selama piala Eropa ini saya jadi ikutan lembur nonton tivi, terutama pada siaran big match. Beruntungnya, sekarang saya adalah ibu rumah tangga yang hampir 24 jam ‘berkantor’ di rumah. Jadi ketika malam hari saya ikut begadang nonton pertandingan bersama suami, saya masih bisa tidur dan istirahat di siang hari. 
Meski tak selalu menyiapkan kopi dan gorengan panas saat menonton, suami saya selalu ingin teh panas terhidang di meja, dan tak jarang saat babak pertama usai, ia minta dibuatkan nasi goreng atau mi goreng. Tapi beruntung, justru pada saat suami mengajak teman-temannya nonton bareng di rumah, saya dibebastugaskan dari lembur pada malam itu karena mereka menyiapkan hidangan sendiri, dari mulai kopi dan teh panas, hingga memasak mi instan. 
Euro 2012 telah berakhir, meski senang karena jam tidur kami kembali normal tetapi saya tetap akan merindukan saat-saat nonton bareng dengan suami dan ekspresi kegembiraan saat tim yang diunggulkannya berhasil menjebol gawang lawan. 
Sesungguhnya, di luar bertambahnya jam lembur para istri, ini adalah momen yang sangat baik untuk memperkuat hubungan dengan pasangan dan menambahkannya dalam daftar ‘peristiwa indah untuk dikenang’.



Nilla A. Asrudian
Penulis Lepas

Piala Eropa, Dua Puluh Ribu Rupiah, dan Fans Karbitan



Anitya Wahdini
Pesta sepak bola Eropa 2012 memang telah usai. Tim favorit saya, Spanyol, yang dikomandoi oleh penjaga gawang favorit saya pula, Iker Casillas, keluar sebagai juara. Namun sekelumit cerita tentang turnamen bergengsi itu masih tersisa dalam benak saya. Bukan tentang jalannya pertandingan, maupun sejarah baru yang diukir La Furia Roja sebagai negara pertama yang mampu mempertahankan Piala Eropa, karena jelas saya tak ahli dalam urusan persepakbolaan. Melainkan mengenai betapa berartinya sepak bola di mata murid-murid saya.
Sejak awal mengajar, saya memang sudah memperhatikan kecintaan beberapa murid, khususnya murid lelaki, pada sepak bola. Ada yang kagum luar biasa pada sosok Bambang Pamungkas, sampai-sampai menggunakan nama sang pemain timnas dalam akun twitternya. 
Ada pula yang menggilai Barcelona, sehingga setiap hari Rabu, saat seragam sekolah berupa batik bebas, selalu mengenakan batik berlambang klub tempat Lionel Messi merumput tersebut. 
Ada pula yang cinta mati dengan Chelsea dan luar biasa bangga saat klub berwarna biru itu menjuarai Liga Champions tahun ini. Ah, kalau diurutkan satu per satu tentu banyak sekali.
Benang merah dari kecintaan para murid terhadap sepak bola ini terpampang jelas di mata saya, yaitu saat mereka menyukai sesuatu, maka mereka akan mengerahkan segala daya pikiran, konsentrasi, dan secara ekstrem mungkin jiwa raganya pada hal tersebut.
Seorang murid bahkan pernah "menguliahi" saya saat saya mengucap sepak bola sebagai soccer, bukannya football. Menurutnya, soccer itu adalah istilah yang tidak bisa diterima dari Amerika Serikat. Oleh karena sepak bola berasal dari Inggris dan orang Inggris menyebutnya football, maka semestinya saya mengucap football juga. Padahal, saya yang tak ahli sepak bola ini hanya mencoba menggunakan istilah umum soccer sebagai pembeda dengan rugby alias football asli Amerika. Hanya masalah perbedaan istilah dalam bahasa, terlebih karena bahasa Inggris yang digunakan di sekolah pada umumnya adalah American English, bukan British.
Lain halnya dengan anak didik di homeroom saya. Ia berselisih pendapat tentang tim Italia dengan saya. Bagi saya yang lebih banyak menonton sepak bola saat masih di bangku sekolah (akhir era 1990-an), pemain yang mengena di hati saya adalah pemain macam Paolo Maldini, Gianluigi Buffon, Alessandro Del Piero, dan Filippo Inzaghi. Paling mentok saya menggemari Gli Azzuri ini saat mereka menang Piala Dunia 2006 dan Fabio Canavarro adalah kaptennya. Sejak itu pilihan saya pada Spanyol yang punya penjaga gawang nomor satu di dunia, atau Jerman yang skuatnya terdiri dari para pemain muda macam Mesut Ozil yang siap bersinar.
Saya berkata pada murid saya itu bahwa saya tak lagi respect pada pemain Italia karena mentalnya tak juara. Mereka masih mengandalkan pemain senior untuk bertarung di lapangan hijau. Lalu murid saya itu berargumen dengan menghadirkan nama Mario Balotelli. 
Entahlah, bagi saya sejago apa pun sang pemain, jika tidak didukung dengan mental juara dan sikap sportif serta disiplin, tak perlu dikagumi. Akhirnya murid saya yang membela Balotelli ini saya panggil dengan nama Balotelli hingga hari ini.
Si Balotelli - yang tetap bersikukuh pada tim Italia - mengajak saya taruhan pada pertandingan final Spanyol melawan Italia. Tentu saja sebagai guru, saya menolak. Menyukai sepak bola itu sah saja, tetapi untuk urusan taruhan, lebih baik saya minggir. "Ah, buat seru-seruan saja, Miss," ucapnya. Maka kami pun sepakat pemenang akan dibelikan minuman kemasan Teh Botol di hari pertama masuk sekolah.
Perkara taruhan rupanya adalah hal biasa bagi murid-murid saya. Taruhan di sini adalah benar-benar bertaruh dengan uang, bukan lagi untuk seru-seruan macam saya dan si Balotelli. Seorang murid bahkan terus meneror saya melalui blackberry messenger untuk ikut bertaruh. Saat saya tolak, ia malah berkata, "Kalau Spanyol menang, Miss saya kasih dua puluh ribu rupiah. Tapi kalau Italia yang menang, Miss yang bayar." Ah, ada-ada saja.
Keseriusan yang mereka tonjolkan dalam urusan sepak bola ini juga terlihat dari kesetiaan mereka pada negara tertentu. Murid yang menguliahi saya soal soccer itu dari kecil sampai kini lulus SMA selalu menggemari Chelsea, si pemakai batik Barcelona tak pernah berpaling dari Barcelona ke Real Madrid, si Balotelli selalu mendukung Belanda betapa pun negeri penjajah ini jarang memenangkan piala, dan si penggemar Bambang Pamungkas ini rasanya akan selamanya mengidolakan sang kapten.
Sementara saya? Saya tak punya tim favorit yang aya junjung tinggi, meski pilihan saya biasanya tak jauh-jauh dari Real Madrid, Liverpool, dan AC Milan. Untuk urusan negara saya pun berganti-ganti. Mulai dari Italia, Spanyol, dan Jerman. Murid-murid pun menertawakan saya sebagai fans asal atau fans karbitan. Memang demikian adanyalah saya. Saya tak memahami dan menggandrungi sepak bola seperti mereka. Fans karbitan.
Melihat euforia sepak bola macam ini di kalangan murid, tentu saya senang. Hal ini berarti mereka memiliki sesuatu yang disenangi dan hidup mereka tak monoton. Jarang sekali saya mendapatkan kesempatan menyaksikan murid-murid saya fokus terhadap sesuatu.
Saat belajar di ruang kelas, misalnya. Fokus yang terlihat saat mereka membicarakan sepak bola itu sering kali seolah-olah lenyap. Berganti dengan nada bosan dan tak paham, sekreatif apa pun sang guru mencoba mengajar. 
Saya hanya bisa berharap kecintaan mereka pada sepak bola sedikit dibagi kepada urusan sekolah dan pelajaran. Jika bisa, mereka pastilah akan menjadi murid-murid terhebat yang pernah saya miliki. Semoga mereka juga bukan murid karbitan, seperti halnya saya pada sepak bola.


Anitya Wahdini
Guru SMA Global Prestasi

Football Comes Home! (Again)



Lafen Nassya Firanda
It’s coming home, it’s coming home, it’s coming, football’s coming home


Itulah sedikit penggalan lagu “Three Lions” yang dirilis tahun 1996 untuk mendukung timnas Inggris di Piala Eropa 1996.


Lagu ini menceritakan tentang impian para fans The Three Lions yang tidak pernah berhenti untuk mendukung tim ini walaupun selalu gagal dalam turnamen besar sejak terakhir kali menjadi juara Piala Dunia tahun 1966, ketika itu Piala Dunia pun masih memakai nama Piala Jules Rimet.


Inggris selalu mempunyai harapan agar prestasi itu bisa terulang lagi. Kemudian klaim mereka sebagai “penemu” sepak bola modern membuat mereka membuat slogan “football comes home” pada piala Eropa tahun itu mengingat Inggris menjadi tuan rumah sebuah turnamen sepak bola besar.


Slogan football comes home ternyata tidak membuat peruntungan Inggris berubah. Pada piala Eropa 1996 Inggris harus kalah di semifinal melawan Jerman lewat drama adu penalti. Gareth Southgate membuka gerbang buat Jerman ke podium selatan stadion Wembley untuk menjadi juara karena kegagalannya mengeksekusi penalti.


Tahun ini timnas Inggris mengawalinya dengan pengunduran diri Fabio Capello dari jabatannya sebagai manajer timnas, penggantinya adalah Roy Hodgson, pelatih yang mempunyai catatan sukses membawa tim medioker menjadi tim yang diperhitungkan di Liga Inggris, namun ketika melatih tim besar prestasinya tidak begitu mengkilat.


Inilah yang menimbulkan rasa pesimis dari banyak football pundit terhadap kehadirannya untuk menangani timnas besar seperti Inggris. Inggris di bawah Roy Hodgson di Euro tahun ini disebut sebagai tim terburuk dengan ekspektasi menjadi juara terendah dalam dua puluh tahun terakhir.


Permainan Inggris di bawah Roy Hodgson semakin jauh dari yang namanya kick n’ rush yang dulunya sangat populer sebagi tipikal permainan Inggris selama ini. Seolah ingin mencontoh kesuksesan Chelsea menjuarai Liga Champions dengan cara bermain bertahan, Roy Hodgson langsung meng-copy-paste taktik bertahan Roberto Di Matteo ini ke permainan Inggris.


Tanpa keraguan Roy Hodgson langsung menerapkannya pada pertandingan pertama mereka melawan Prancis. Sempat mengejutkan lewat gol Joleon Lescott lewat tipikal gol tim dengan permainan bertahan yaitu lewat set-piece, Prancis langsung membalas lewat gol Samir Nasri lima belas menit kemudian.


Mereka akhirnya sanggup mencatatkan kemenangan ketika melawan Swedia pada pertandingan kedua dengan skor 3-2, setelah itu mereka melawan tim tuan rumah Ukraina dalam pertandingan penentuan grup D.


Pertandingan ini menimbulkan kontroversi setelah gol pemain Ukraina Marko Devic tidak disahkan oleh asisten wasit khusus yang menjaga garis gol, padahal dalam tayangan ulang pada saat John Terry membuang bola, bola tersebut telah melewati garis gawang dan seharusnya membuahkan gol buat Ukraina. Inggris akhirnya menang 1-0 terlepas dari keputusan kontroversial ini dan penguasaan bola yang dikuasai Ukraina (57%-43%). Permainan bertahan setelah mencetak gol tetap diterapkan oleh Roy Hodgson.


Dengan menjadi juara grup akibat kekalahan Prancis dari Swedia, Inggris melawan tim ketika permainan bertahan yang sering disebut sebagai “catenaccio” itu lahir yaitu Italia. Catenaccio sendiri sudah jarang dipakai sebagai istilah permainan bertahan, istilah tersebut sudah dianggap sangat kuno dengan permainan sepak bola yang telah berkembang.


Istilah catenaccio sekarang lebih populer disebut sebagai taktik “parkir bus, parkir pesawat, parkir Hulk” pokoknya apa pun istilahnya asalkan diawali dengan kata “parkir”. Tentunya taktik ini dianggap sebagai “pembunuh” sepakbola karena begitu menjemukannya tim yang menerapkan taktik ini. Bertahan sekuat mungkin dan mengharapkan counter attack dari kesalahan tim lain.


Sangat miris apabila melihat pertandingan Italia melawan Inggris yang didominasi Italia. Disparitas sangat terlihat dari total 35 tembakan dari Italia berbanding 9 yang dimiliki Inggris selama 120 menit. Apabila bukan karena aksi heroik Joe Hart yang jatuh bangun melindungi gawang dan memberikan 45 kali passing (paling banyak dibandingkan Steven Gerrard sekalipun), kemudian juga sedikit bantuan dari “teman-temannya” yang lain yaitu mistar dan tiang gawang mungkin Inggris cuman menderita selama 90 menit saja.


Gaya menyerang ala kick n’ rush telah hilang dari mereka, permainan pragmatis untuk mengincarcounter attack terus diterapkan selama 90 menit penuh. Sedikit sekali peluang yang mereka dapatkan dalam pertandingan ini sampai-sampai Wayne Rooney harus mengaktifkan “Shrek mode” nya karena kekuatan staminanya untuk menutup seluruh lapangan Inggris, baik menyerang maupun bertahan.


Melihat kondisi stamina mereka yang sudah terkuras habis karena terus bertahan selama itu, mengharapkan keberuntungan di perpanjangan waktu dan mengincar “adu lotere” adalah pilihan terakhir bagi Inggris untuk menang.


Dalam adu penalti Inggris sempat unggul dari Italia 2-1 setelah tendangan Ricardo Montolivo melebar di sebelah kanan Joe Hart. Dan setelah itu tiba saatnya sang maestro bola mati Andrea Pirlo yang mengeksekusi penalti. Mungkin Joe Hart tidak sadar apabila Pirlo adalah seorang illusionis set-piece yang mempunyai teknik-teknik ilusi yang tidak pernah dibeberkannya. Dengan teknik chip penalti ala Antonio Panenka, Andrea Pirlo mengecoh Joe Hart.


Pada saat konferensi pers Joe Hart untuk membela dirinya mungkin harus mengatakan “Saya tidak pernah melihat teknik itu sebelumnya pada video-video penalti yang pernah saya tonton, ini adalah teknik sulap! bahkan masked magician di acara breaking the magician’s code pun tidak pernah mau membongkarnya.”


Kekalahan Inggris di Euro 2012 ini setidaknya membuat lega para penikmat sepak bola yang sangat khawatir apabila “tragedi” tim Yunani di Euro 2004 terulang kembali, ketika tim yang bertahan total dalam enam pertandingan Euro justru menjadi juara.


Bung Karno pernah mengatakan “jangan sekali-sekali melupakan sejarah” (Jas Merah) yang sekarang justru menjadi nilai dasar PSSI. PSSI selalu membanggakan sejarah lama mereka yaitu “prestasi” menahan seri Uni Soviet pada tahun 60an yang saat itu masih diperkuat oleh kiper legendaris Lev Yashin. Timnas Inggris sekarang juga seperti itu. Prestasi mereka sebagai juara Piala Dunia 1966 selalu menjadi kebanggaan mereka.


Pada akhirnya football comes home menjadi suatu sindiran buat timnas Inggris, orang tidak akan peduli bahwa Inggris adalah penemu sepak bola. Orang akan lebih peduli dengan prestasi apa yang bisa dicapai negara sepak bola ini. Football comes home bisa diubah menjadi “champions comes home” agar bisa memotivasi mereka menjadi tim juara.


Dan terakhir mungkin terdengar sedikit satir, saya sekarang mengerti kenapa Roy Hodgson tidak memanggil pemain bertipe keras dan karismatik seperti Emile Heskey dan Joey Barton ke dalam skuatnya, karena dengan kekeraskepalaan mereka Heskey dan Barton tidak mungkin mau diajak bermain bertahan, permainan mereka terlalu agresif untuk Inggris yang sangat defensif sekarang.



Lafen Nassya Firanda
Mahasiswa

Sepak Bola : Agama Baru


Perhelatan sepak bola di benua biru (Eropa) membawa euphoria mendunia.  Mulai dari ujung Tibet sampai ujung aspal Pondok Gede merasakan “demam” tiba-tiba.  Mengalahkan semua problema akut di dunia, soal politik, ekonomi, sosial dan segala permasalahan lainnya. Yang berhutang tiba-tiba gembira dan lupa akan hutangnya, yang ABG galau pun hanyut bersuka cita, para Politikus tak mau kalah ikut berkomentar soal sepak bola, dan siaran tv mengenai kasus korupsi kalah rating dengan sportacularnya RCTI.

Soal politik, sebagian masyarakat dunia mengalami persoalan ini, tak terkecuali di Eropa, seperti misalnya krisis politik di Yunani yang tak kunjung reda, belum lagi di negara lainnya. Masalah ekonomi tak ketinggalan menghantam spanyol dan perancis serta negara lainnya, semuanya telah terkalahkan atau dikatakan sementara dilupakan oleh euphoria sesaat ini.

Begitu hebatnya daya tarik olahraga si kulit bundar ini yang bisa menyihir milyaran mata diseluruh dunia untuk sekedar hanyut dalam kegembiraan sampai rela untuk begadang dan mengantuk  sampai pagi.  Sebuah realita pemandangan  keadaan masyarakat dunia saat ini yang haus akan  tontonan olahraga yang  menghibur, menyenangkan, sportifitas/fair play dan sebagainya, yamg mungkin jarang mereka temukan di dunia keseharian.

Tidak itu saja, sepak bola menimbulkan “kegilaan” yang tak masuk akal seperti layaknya pejuang mujahid di Afghanistan ataupun di Irak atau mungkin Bomber Bali yang rela mati demi simbol/ bendera/negara.  Belum lekang dari ingatan kita dengan tewasnya seorang supporter sepak bola bernama Rangga dari Supporter viking Bandung akibat bentrok dengan supporter persija beberapa saat yang lalu, ini menggambarkan sebuah “kegilaan” fanatisme buta sekaligus sempit.

Belum lagi dengan bentrok antara supporter Polandia dengan supporter Rusia dalam pagelaran piala Eropa beberapa hari yang lalu yang telah memakan korban luka-luka di kedua belah pihak, dan banyak lagi contoh yang bisa mengamini bahwa sepak bola sudah menjadi “agama baru” di dunia.

Semua rela mati demi simbol/kepercayaan/bendera.  Setali tiga uang dengan fanatisme sempit yang juga melanda sebagian  penganut agama samawi di dunia. Hanya bedanya, di sepak bola tidak perlu pemimpin/Pendeta/Kyai untuk menggerakkan, tidak perlu arahan, tidak perlu tausiah. Mereka seolah-olah  sudah mengerti kapan bergerak, menyerbu, dan membakar lalu membubarkan diri.  Sesaat setelah bentrok, aparat polisi tidak akan mampu menangkap siapa aktor/pentolan/otak dari kerusuhan, akan selamanya seperti itu.

Nah, kalau sudah seperti ini, maka salah satu upaya untuk mengeliminir dekstruftifnya para “penggila” bola ini adalah dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat dengan perbaikan pendidikan, mulai dari usia dini dan pendidikan untuk semua lini (kaya-miskin), karena kita percaya, agresifitas manusiaberbanding lurus dengan tingkat pendidikan serta status ekonominya (sandang-pangan dan papan), saya masih ingat betul dosen Ilmu Nutrisi  saya berkata bahwa “gizi sangat berpengaruh pada tingkat agresifitas manusia atau hewan sekalipun”. Seekor kucing bisa memakan anaknya sendiri, akibat kekurangan zat besi kalsium di dalam makanannya.

Meskipun demikian kompleksitas permasalahan yang terjadi diyakini banyak  faktor yang berperan didalamnya  bukan hanya dua hal tersebut . Akhirnya Yang bisa kita tarik benang merahmya  bahwa kondisi supporter dan persepak bolaan di sebuah negara adalah cerminan atas kondisi sosial ekonomi bahkan politik atas masyarakat sebuah negara. Semua masih mungkin untuk dibenahi Nothing impossible asal menjuhkan diri dari fanatisme sempit dan membabi-buta baik dalam beragama maupun dalam bersepak bola. (Dari penggila bola yang sudah insyaf)

Penulis: Muh Hatta Tahir

Kini Saatnya Euro 2012



Aditya Nugroho
Masih belum hilang adrenalin para penggila sepak bola menyaksikan sengitnya persaingan liga-liga Eropa, masih banyak yang terbelalak dengan pencapaian Roberto Di Matteo dan Chelsea musim ini, UEFA sudah memiliki agenda besar yang akan memanjakan para penggemar olahraga si kulit bundar ini: Piala Eropa 2012.


Di putaran final Euro 2012 di Polandia dan Ukraina nanti, para penggemar sepak bola baik kasual maupun tradisional cukup puas melihat partisipan turnamen. Bisa dikatakan tidak ada negara-negara kuat yang absen dari perhelatan empat tahunan turnamen yang oleh sebagian orang lebih sulit dibanding Piala Dunia itu.


Jika empat tahun lalu kehilangan Inggris yang disingkirkan Kroasia, kali ini tim the Three Lions kembali ke pentas internasional itu setelah Fabio Capello membawa mereka melewati babak kualifikasi dengan meyakinkan.


Namun seperti biasa tim nasional Inggris memang lebih akrab dengan permasalahan ketimbang ketenangan. Pengunduran mendadak Capello akibat pencopotan ban kapten dari John Terry dan absennya Wayne Rooney di dua pertandingan awal membuat mereka diragukan untuk tampil maksimal.


Penunjukan pelatih Roy Hodgson yang dilakukan di waktu mepet menunjukkan kegamangan FA yang akan mempengaruhi kesiapan tim nasional Inggris.


Di lain pihak, rasa penasaran atas gelar bergengsi di major tournament juga tengah dirasakan Jerman. Terakhir kali merebut gelar bergengsi di tahun Euro 1996, Jerman kini dipandang paling siap untuk menjuarai Piala Eropa kali ini setelah tampil baik di beberapa kejuaraan besar terakhir.


Di saat nama-nama macam Mesut Ozil dan Thomas Muller masih dianggap belum sepenuhnya menggapai potensi terbaik, kini generasi penerus mereka macam Mario Goetze, Mats Hummels, dan Marco Reus sudah siap mentas. Piala Eropa kali ini adalah ajang perkenalan mereka kepada dunia.


Pola pembinaan pemain muda yang dijalankan DFB dengan anggaran besar memang tidak sia-sia karena Jerman memiliki pemain berbakat yang seolah tiada habisnya.


Kemewahan skuat yang dimiliki Joachim Loew memang patut membuat Roy Hodgson iri. Satu-satunya potensi pengganjal langkah Jerman mungkin fakta bahwa mereka berada di grup neraka bersama Belanda, Portugal dan Denmark.


Bagaimana dengan Spanyol? Negara ini adalah pemenang dua turnamen besar terakhir, Piala Eropa 2008 dan Piala Dunia 2010. Siapa pun akan menempatkan mereka sebagai unggulan mengingat komposisi pemain yang menghuni skuad La Furia Roja tidak banyak berubah.


Namun cedera yang menimpa bek rockstar Carles Puyol dan kurang baiknya musim yang dijalani Gerard Pique menyisakan tanda tanya akan ketangguhan lini belakang Spanyol. Nyatanya, tanpa kontribusi maksimal duet beda generasi ini prestasi Barcelona juga menurun. Hasil uji coba mereka melawan tim-tim kuat juga berakhir mengecewakan, seperti saat dibantai Argentina dan Portugal.


Tim lain yang menarik perhatian adalah Italia. Pendekatan baru Cesare Prandelli menjadikan Italia tim muda yang bermain menyerang dan mengandalkan ball possession dengan pimpinan Andrea Pirlo di lini tengahnya.


Di usia yang sudah 32, pengaruh eks Milan ini nyatanya masih yang terbaik di posisinya. Kedigdayaan Juventus di seri A juga dimanfaatkan Prandelli dengan memanggil para Juventino itu untuk dijadikannya poros tim.


Ketiadaan seorang prima puntaakan disiasati Prandelli dengan menggunakan strategi false nine. Di ruang amunisi tersebut, Italia memiliki pemain-pemain kreatif macam Antonio Cassano dan Sebastian Giovinco yang akan mempertontonkan pola serangan dinamis yang sulit dibaca lawan. Lini depan Italia juga akan berharap-harap cemas pada sosok bengal Mario Balotelli.


Bagaimana kans kedua tuan rumah? Berada di grup yang relatif lebih mudah, Polandia diunggulkan untuk setidaknya melaju ke fase knock-out. Sementara Ukraina peluangnya lebih sulit karena berada satu grup dengan Inggris, Prancis, dan Swedia.


Dari komposisi peserta tersebut, Piala Eropa kali ini dianggap akan berjalan seru. Hanya satu negara yang saya sayangkan tidak lolos ke putaran final, yaitu Belgia. Absennya Belgia memang sebuah ironi mengingat mereka dihuni oleh pemain-pemain bagus yang menjadi tulang punggung klub-klub papan atas di Eropa.


Sayang sekali kita tidak bisa menyaksikan sihir dari Eden Hazard, kecepatan Mousa Dembele, bakat Axel Witsel, kekuatan Marouane Fellaini, ketajaman Romelu Lukaku, visi hebat Stefan Defour, dan ketangguhan duet bek Vincent Kompany-Thomas Vermaelen serta penjaga gawang berbakat, yang cemerlang di Atletico Madrid, Thibault Courtois.


Berbeda dengan sepak bola di Amerika Latin yang kaya skill dan bakat alam, sepak bola Eropa kaya akan taktik. Beberapa tim telah mengalami evolusi permainan yang drastis.


Jerman dan Italia yang sebelumnya dikenal memainkan sepak bola efektif dan efisien serta mengutamakan pertahanan kini berevolusi menjadi tim yang banyak memainkan bola untuk dapat mencetak gol ke gawang lawan.


Sebaliknya, Belanda yang identik dengan Tootal Voetball kini bermain dengan cara yang amat “tidak Belanda” sejak ditangani Bert Van Marwijk. Jangan harap melihat Van Marwijk memainkan Robin Van Persie dan Klaas Jan Huntelaar bersamaan, karena dia lebih memilih untuk memberi tempat kepada duet jagalMark Van Bommel dan Nigel de Jong di area mesin permainan.


Menarik ditunggu gelaran empat tahunan yang dianggap lebih seru dari Piala Dunia oleh sebagian orang ini.

Penulis: Aditya Nugroho
Karyawan swasta

Manusia Tercela, Pesepakbola Luar Biasa




Pangeran Siahaan
Tidak hanya baju lapangan lengkap dengan sepatu, tapi John Terry juga hadir untuk menerima trofi Champions League dengan mengenakan pelindung tulang kering, kalau-kalau Wayne Bridge mendadak muncul di tribun kehormatan Stadion Wembley dengan martil dan menghajar betisnya. Dengan niat dan kesempurnaan yang luar biasa hingga ke detail terkecil, John Terry harusnya memenangi lomba Cosplay.


Kenyataan bahwa hanya Terry yang mendapat kecaman meski Branislav Ivanovic dan Raul Meireles juga mengenakan kostum bermain lengkap meski tidak turun ke lapangan menggambarkan sesuatu mengenai karakter kapten Chelsea tersebut. Terry adalah salah satu dari banyak pemain yang hanya disukai oleh suporter klubnya sendiri. Oh, dan ibunya sendiri. Mungkin.


Dari mulai bagaimana skandalnya dengan Vanessa Perouncel, mantan pacar Wayne Bridge, bekas rekan setim dan sahabatnya, usaha pemberontakan gagal terhadap Fabio Capello di kamp timnas Inggris dalam Piala Dunia 2010, umpatan rasial terhadap Anton Ferdinand, menyerang Alexis Sanchez dari belakang dengan lutut dan menyangkalnya sebelum sadar bahwa aksinya terekam kamera, hingga aksi ganti baju kilat yang dilegalisir oleh UEFA di Wembley kemarin.


Banyak alasan untuk membenci Terry, mungkin juga termasuk fakta bahwa wajahnya mirip dengan Joxer dari serial Xena: The Warrior Princess.


Namun di balik segala aibnya sebagai manusia fana tersebut, harus diakui Terry tetap salah seorang bek terhebat di Inggris. Anda bisa mengutuknya sebagai manusia penuh cela, tapi Anda tak akan bisa mengurangi kemampuannya sebagai pemain di atas rata-rata.


Yang menarik adalah selain Terry ada beberapa pemain Chelsea lainnya yang luar biasa hebat tapi kemampuannya tertutup karena tingkah lakunya baik di dalam dan di luar lapangan.


Kemampuan akting Didier Drogba sambil berguling-guling sangat hebat dan menjanjikannya tempat di Broadway selepas gantung sepatu nanti. Adu goblok bersama Jens Lehmann hingga jatuh terkejang-kejang seperti epilepsi usai dihadang Jonny Evans bagi Drogba adalah Scarface dan Scent of A Woman bagi Al Pacino. Masterpiece.


Tapi di balik tingkah menggelikannya itu, Drogba adalah salah satu striker paling mematikan dalam sejarah Premier League dan rekor golnya di final kompetisi adalah 9 gol dari 9 pertandingan.


Anda boleh membenci aksi teatrikalnya, tapi Anda tak bisa menutupi kegemilangannya. Drogba pun tak seburuk itu di luar lapangan. Ia adalah seorang filantropis yang rajin memberi donasi ke negara asalnya, Pantai Gading dan membangun rumah sakit plus berbagai fasilitas kemanusiaan lainnya.


Pemain lainnya adalah Ashley Cole, atau suporter Arsenal menyebutnya, “Cashley” usai menyeberang dari London utara ke London barat. Cole menarik perhatian publik kepadanya karena bercerai dengan Cheryl Tweedy yang luar biasa rupawan usai tertangkap basah berselingkuh, termasuk mengirimkan foto telanjang kepada perempuan lain.


Cole juga turut menyiram bensin kepada api kebencian publik padanya usai menembak pemain junior Chelsea dengan senapan angin dari jarak dekat di kamp latihan. Despicable.


Tapi kembali segala polah lakunya yang tercela itu tak mengurangi kehebatannya di lapangan.


Harus diakui bahwa Cole adalah bek kiri terbaik dunia dalam beberapa tahun terakhir yang penampilannya konsisten. Ia sanggup membuat para pemain sayap terhebat sejagat tak berkutik di hadapannya dan jika Anda lupa, Cole bagi Cristiano Ronaldo adalah semacam kryptonite bagi Superman.


Cristiano Ronaldo sendiri adalah contoh lain betapa perilaku sering kali mengaburkan penilaian orang terhadap dirinya. Tak ada yang menyangkal bahwa Ronaldo adalah salah dua dari pemain terbaik di dunia sekarang bersama Lionel Messi, tapi arogansinya dan tendensinya untuk diperlakukan seperti primadona memuakkan banyak orang, terlebih mereka yang antipati terhadap Real Madrid.


Luis Suarez termasuk dalam golongan ini. Ia sudah melakukan semua hal yang tertera dalam buku “Being Hated for Dummies”, termasuk menggigit telinga lawan, menyetop bola dengan tangan secara sengaja, hingga melontarkan pernyataan rasis yang menurutnya “baik-baik saja” di negara asalnya, Uruguay.


Mungkin juga di Montevideo menggigit telinga lawan adalah pernyataan kasih dan menyetop bola dengan tangan berhadiah gol. Tapi fans Manchester United sekalipun pasti lebih lega jika Suarez tak bermain melawan tim mereka karena sesungguhnya ia adalah seorang pemain hebat.


Nama-nama di atas hanya sedikit dari banyak pesepakbola jempolan yang tingkah lakunya menjadi semacam justifikasi bagi mereka yang bukan penggemarnya untuk membenci.


Konon batas yang memisahkan antara kecintaan dan kebencian hanya setipis rambut. Begitu mudah untuk mengubah opini. Terry, Drogba, Cole, Ronaldo, Suarez berada di dalam koridor kecintaan bagi penggemarnya dan begitu mudah bagi para pembencinya untuk meletakkan mereka dalam koridor kebencian.


Tapi pemain yang kontroversial dan bertingkah menjijikkan tak otomatis menjadi pemain hebat.


Tengok Joey Barton, selain pernah dipenjara 2,5 bulan karena menyerang orang di tempat umum, hampir mencongkel mata rekan setim, Ousmane Dabo, memukul perut Morten Gamst Pedersen, serangkaian kartu merah, dan yang terbaru, triple combo menjitak kepala Carlos Tevez-menendang Kun Aguero-mencoba menyundul Vincent Kompany, apa yang pernah ia lakukan di lapangan sepak bola.


Mentweet berbagai kutipan dari Che Guevara hingga George Orwell tak dihitung.

Penulis: Pangeran Siahaan
Pecinta Sepak Bola

Follow Da Vina News on 
Twitter, become a fan on Facebook
Stay updated viaRSS

Dalang Itu Bernama Aguero



Daniel Setiawan
Tigapuluh delapan pertandingan EPL ditentukan hingga dua menit terakhir untuk mengetahui siapa yang menjadi raja Inggris. Emosi dan ketegangan yang memacu jantung para suporter di Etihad Stadium dan Stadium of Light berakhir klimaks untuk para The Citizen.


Ya, dua gol di masa injury time dari sundulan Edin Dzeko dan sontekan dari Aguero mengempaskan mimpi United yang di lain tempat mempertahankan keunggulan 1-0 dari Sunderland hingga akhir pertandingan.


Empat puluh empat tahun lalu Manchester City terakhir kali mengangkat trofi Liga Inggris. Kemarin akhirnya puasa gelar mereka berakhir sudah. Armada Roberto Mancini sontak melompat lega bercampur kepuasan dari bench dan lapangan saat wasit Mike Dean meniup pluit panjang.


Musim panjang yang melelahkan untuk anak asuh Mancini, berjibaku dengan 19 kontestan lainnya dengan emosi yang bercampur baik di luar maupun di dalam lapangan. Di balik kesuksean City musim ini, terselip nama Aguero di dalamnya sebagai kartu as City musim ini.


Bisa dibilang investasi ratusan juta pounds dari Sheikh Mansour mulai terasa hasil panennya. Memborong beberapa nama bintang yang dimulai dari Robinho, Edin Dzeko, Balotelli, Nasri, hingga Sergio Aguero. Nama terakhir yang saya sebutkan mungkin adalah pembelian terbaik The Citizen musim ini.


Ada berjuta suara dukungan dalam benak Anda untuk menyebut Sergio Aguero sebagai pembelian tercerdas dan fenomenal musim ini. Merogoh kocek 38 juta poundsterling, Aguero langsung membuktikan kelasnya pada pertandingan pertamanya bersama City. Hanya butuh sembilan menit untuk ia mencetak gol perdananya setelah masuk ke lapangan pada babak kedua.


Debutnya juga dipermanis dengan assist yang sangat cantik kepada mantan lawannya di Liga Spanyol dahulu, David Silva. Lalu debutnya ditutup oleh canon indah dari jarak 30 yard yang merobek jala Swansea untuk keempat kalinya.


Sangat jarang pemain perantau langsung bisa beradaptasi dengan atmosfer liga yang baru ia cicipi. Tercatat hanya beberapa nama yang mampu bersinar di musim perdananya di liga Inggris. Nama-nama seperti Chicarito, David Silva, Vermaelen, dan Aguero itu sendiri merupakan sosok yang mampu beradaptasi dengan cepat oleh atmosfer “kick-en-rush” Inggris.


Bohong jika Anda mengatakan bahwa Aguero berpenampilan biasa saja di musim ini. Bisa dibilang Aguero merupakan dalang utama penggerak kesuksesan City musim ini. Statistik mencatat di liga Inggris musim perdananya, ia telah tampil sebanyak 34 kali dan mencetak 29 gol plus 9 assist.


Jika di total secara keseluruhan musim ini di seluruh kompetisi ia telah membukukan 48 penampilan, 30 kali mencetak gol, dan 10 kali mencatatkan namanya sebagai assist. Berkaca pada statistik, Aguero merupakan prototipe terkini dari sosok striker oportunis sejati. Bisa memanfaatkan peluang sekecil apa pun di depan gawang lawan dan mengkonversikannya menjadi gol.


Saya sendiri angkat topi melihat bagaimana ia meliuk di lapangan saat pertandingan, termasuk saat ia menjadi bagian dari dalang pembantaian di derby Manchester, 23 Oktober 2011 silam. Namun jika kembali ke belakang bagaimana seorang debutan sukses harus berjuang mendapatkan bentuknya kembali di musim keduannya.


Contoh nyata seperti Chicarito yang melempem di musim ini, juga termasuk Silva yang perannya perlahan tertutup oleh kehadiran Aguero.


Namun saya pribadi yakin bahwa nasib Aguero tidak akan seperti Chicarito ataupun Silva. Ia akan menjadi unjung tombak nomor satu Manchester City untuk beberapa musim ke depan jika melihat penampilannya selama musim ini, baik secara statistik maupun secara gaya permainan.


Saya berani bertaruh PFA Award musim depan akan jatuh ke tangannya. Atau setidaknya ia akan membawa City meraih gelar liga kembali dengan namanya di papan top scorer.

Penulis: Daniel Setiawan
Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Bunda Mulia

Tentang DaVinaNews.com

Davinanews.com Diterbitkan oleh Da Vina Group Davinanews.com adalah situs berita dan opini yang memiliki keunggulan pada kecepatan, ketepatan, kelengkapan, pemilihan isu yang tepat, dan penyajian yang memperhatikan hukum positif dan asas kepatutan Davinanews.com memberikan kesempatan kepada para pembaca untuk berinteraksi. Pada setiap berita, pembaca bisa langsung memberikan tanggapan. Kami juga menyediakan topik-topik aktual bagi Anda untuk saling bertukar pandangan. Davinanews.com menerima opini pembaca dengan panjang maksimal 5.000 karakter. Lengkapi dengan foto dan profil singkat (beserta link blog pribadi Anda). Silakan kirim ke email: news.davina@gmail.com.