Spanyol: Sejarah, Taktik, dan Kesempurnaan
Dua puluh tahun dari sekarang Anda bisa membeli buku panduan Euro 2032 dan melihat artikel sejarah yang berjudul “Spanyol 2012: Tiki-Taka, Sebuah Dominasi dan Kesempurnaan”. Ya Spanyol telah menjadi simbol kesempurnaan sebuah tim sepakbola dengan treble yang mereka menangkan selama enam tahun ini.
Spanyol sebelum Euro 2008 bergulir adalah tim yang selalu menjadi pecundang dengan prestasi yang hanya menjuarai Euro 1964. Sekarang siklus itu pun berubah menjadi tim yang selalu memenangkan turnamen besar -- Euro 2008, Piala Dunia 2010, dan Euro 2012.
Kemudian diikuti juga dengan banyak rekor, dua babak kualifikasi berturut-turut mencatat rekor sempurna (18-0), 10 pertandingan babak knockout tanpa kebobolan terhitung sejak Euro 2008 sampai sekarang, dan ditutup dengan empat gol ke gawang Italia di final Euro. Belum ada satu pun tim yang bisa mencatatkan rekor seperti itu bahkan kapten Tsubasa bersama generasi emas Jepang-nya pun harus kebobolan banyak gol sebelum menjadi juara.
Spanyol telah membuat suatu era baru sepak bola yang bakal selamanya dikenang, dalam rentang 44 tahun hanya satu gelar yang bisa diraih dan sekarang mereka hanya membutuhkan enam tahun saja untuk meraih tiga gelar juara turnamen besar.
Menang dan menjadi juara telah menjadi sesuatu yang biasa bagi Spanyol, mempertahankan mahkota Euro adalah pencapaian yang belum pernah dibuat oleh tim mana pun. Fernando Torres yang memberikan kepastian bagi Spanyol menjadi juara dengan golnya membuat dirinya menjadi orang pertama yang mencetak gol di dua final berturut dan meraih golden boot.
Kemudian rekan satu tim Torres di Chelsea, Juan Mata mencetak gol penutup dan Spanyol menutup Euro ini dengan raihan 12 gol dan 1 kali kebobolan.
Sedikit kilas balik, semuanya dimulai pada kuarter final Euro 2008, Spanyol menyingkirkan Italia lewat adu penalti dan akhirnya mereka melaju ke semifinal untuk pertama kalinya setelah 24 tahun. “Setelah kemenangan malam itu saya merasa saya telah menjadi juara,” ujar Fernando Torres. Keyakinan Torres ini benar-benar nyata, setelah itu tidak ada lagi tim yang bisa menghentikan laju Spanyol.
Faktanya demikian, lawan mereka, Italia adalah satu-satunya tim negara besar Eropa yang tidak bisa mereka kalahkan dalam pertandingan kompetitif waktu normal. Mereka secara mengejutkan berhasil melaju ke final Euro 2012 dan harus merasakan bagaimana tandukan banteng Spanyol menghantam mereka dengan telak.
Dengan keyakinan penuh setelah memenangkan laga melawan Jerman dan dengan prediksi final yang bakal berjalan ketat mereka justru tidak kuasa untuk menahan gelontoran empat gol dari David Silva, Jordi Alba, Fernando Torres, dan Juan Mata.
Empat belas menit setelah peluit kick off dibunyikan, Andres Iniesta memberikan umpan brilian kepada “penyerang ilusi” Francesc Fabregas. Secara mengejutkan Fabregas yang seharusnya menjadi penyerang tengah justru berada di posisi kanan dan mengirimkan umpan crossing kepada David Silva dan dengan sundulannya Spanyol berhasil unggul duluan 1-0.
Gol ini adalah contoh dari implementasi taktik tanpa striker Del Bosque “false nine”, bagaimana tiga pemain depan bebas untuk bereksplorasi dengan posisinya karena tidak ada striker yang menempati posisi pasti, tiga gelandang mobile seperti Iniesta, Fabregas, dan Silva tidak stagnan berada di posisinya, dengan taktik ini mereka bisa saling menutupi posisi masing-masing. Mereka tidak hanya menunggu umpan datang dari lini kedua, mereka selalu mencari bola, fungsi mereka sebagai gelandang juga tetap diterapkan dengan baik.
Del Bosque membawa tiga striker ke dalam skuatnya, Fernando Torres, Fernando Llorente, dan Alvaro Negredo. Tetapi justru gelandang seperti Fabregas yang dijadikan “ujung tombak” Spanyol, Torres lebih banyak berperan sebagai supersub. Llorente setidaknya bisa memenuhi resume-nya dengan menjadi juara Euro, dan Alvaro Negredo cuma tampil sebagai cameo.
Keengganan Del Bosque untuk memasang striker murni ini justru lebih efektif. Kombinasi trio Iniesta, Fabregas, dan Silva malah membawa permainan Spanyol ke level selanjutnya menjadi lebih taktikal dengan tetap tidak menghilangkan unsur tiki-taka.
Gol kedua dari Jordi Alba juga menjadi contoh bagaimana taktik false nine ini dijalankan. Overlap dari sayap kiri, Alba dengan dinginnya menaklukkan Gianluigi Buffon setelah menerima assist brilian dari Xavi. Empat bek Italia seperti kebingungan melihat ketiga pemain depan Spanyol justru tidak berada di posisi yang semestinya, begitu terpakunya mereka sampai-sampai pergerakan Jordi Alba yang seperti ninja tidak mereka sadari. Sebuah uppercut punch yang membuat Italia kelimpungan dan harus melakukan banyak pergantian di babak kedua.
Satu hal yang mengejutkan pada half time adalah bagaimana Spanyol harus kalah dalam ball possession (47%-53%). Permainan ofensif Italia memberikan efek kejut buat Spanyol. Skor memang 2-0 tetapi untuk permainan kedua tim kelihatan berjalan seimbang.
Pada babak kedua Antonio Di Natale masuk menggantikan Antonio Cassano yang seperti terisolasi karena ketatnya pressing Spanyol. Satu peluang langsung Di Natale dapatkan, setelah itu Italia seperti kehilangan akal untuk memecahkan teka-teki tiki-taka false nine Del Bosque.
Titik balik kejatuhan Italia adalah pada saat Thiago Motta yang belum juga lima menit berada di lapangan harus out karena cedera hamstring. Berita buruknya Cesare Prandelli telah melakukan tiga pergantian pemain dan Italia terpaksa harus bermain dengan 10 pemain selama nyaris setengah jam. Penderitaan yang terasa sangat lama karena Motta yang dimasukkan dengan tujuan untuk mengimbangi lini tengah Spanyol dan memutuskan aliran bola dari Xavi dan Xabi Alonso justru harus keluar.
Seperti Titanic yang karam karena menabrak gunung es, kehilangan Motta yang menjadi motor penggerak membuat lini tengah Italia bocor dan karam karena sudah tidak bisa ditambal lagi. Pemain Italia lain seperti ingin menyelamatkan diri dengan sekoci penyelamat dari dingin yang menusuk dari lautan Spanyol. Pirlo sebagai kapten kapal sudah kehabisan tenaga setelah di-pressing tanpa henti tidak bisa berbuat banyak. Seperti Titanic, kapal Italia yang sudah tanpa motor dan kosong harus kebobolan dua gol setelah itu.
Orang boleh menganggap filosofi tiki-taka sudah dalam tahap yang menjemukan, tiki-taka dianggap sama dengan catenaccio, apabila catenaccio adalah seni bertahan tanpa bola, tiki-taka juga sebenarnya sama dengan hal itu, tiki-taka adalah seni bertahan dengan bola sehingga ada sindiran terhadap tiki-taka itu sendiri sebagai “tiki-takanaccio”.
Orang boleh menyindir seperti itu, namun dengan dominasi yang Spanyol tunjukkan pada final Piala Eropa 2012 mereka harus berpikir ulang bahwa sampai saat ini tiki-taka adalah cara permainan yang sangat sulit untuk dihentikan. Memang tidak ada cara lain untuk menghentikannya selain dengan bermain bertahan dan memarkirkan bus sebanyak-banyaknya di depan gawang.
Italia dengan filosofi dasar mereka yaitu catenaccio justru berani bermain terbuka melawan Spanyol, kenekatan yang dilakukan Prandelli ini justru membuat sesuatu yang fatal. Mengeluarkan seluruh tenaga untuk merebut bola yang ada di kaki pemain Spanyol pada babak pertama dan akibatnya adalah stamina yang sudah terkuras habis pada babak kedua.
Sesaat setelah peluit akhir dibunyikan, Mario Balotelli yang menjadi pahlawan Italia ketika melawan Jerman langsung masuk ke ruang ganti, seperti ada sesuatu yang tersirat dalam dirinya bahwa ia tidak kuasa untuk menerima kekalahan ini.
Penyerang berusia 21 tahun ini harus mengerti bahwa perjalanannya di timnas masih sangat panjang dan Cesare Prandelli meyakini bahwa perjuangan Balotelli masih belum berakhir. “Kamu harus menerima semua ini, kadang pemain yang besar adalah pemain yang bisa menerima kekalahan bagaimanapun menyakitkannya itu.”
Pada akhinya empat gol dirasakan “cukup” untuk membuat suatu sejarah yang mungkin tidak bakal bisa diulangi lagi sampai 50 tahun ke depan. Ya “cukup”.
“VAMOS ESPANA!”
Lafen Nassya Firanda
Mahasiswa
Mahasiswa