Meski Spanyol Juara, Italia Lebih Berkembang
Mayoritas orang Italia percaya mitos. Pencapaian Azzurri hingga final Piala Eropa 2012 tak sedikit yang menyebut sebagai campur tangan mitos: Italia akan sukses jika didahului masalah di sepak bola domestik mereka. Balasan baik bagi penderitaan yang mereka terima sebelum berangkat ke Polandia-Ukraina.
Benar! Mereka memulai turnamen dengan masalah. Kehilangan seorang pilar di lini belakang: Domenico Criscito, yang harus berurusan dengan polisi akibat dugaan ‘jual-beli’ pertandingan. Benar! Perdana Menteri baru mereka, Mario Monti pernah mengeluarkan ide gila untuk menghentikan Calcio selama dua hingga tiga tahun.
Tapi bagi saya, mereka tidak sukses karena itu. Italia tidak sukses karena mitos. Gianluigi Buffon Cs mencapai final karena secara teknis dan mental, mereka sangat luar biasa. Mereka terorganisir dan bermain dinamis. Tidak ada lagi catenaccio, itu yang paling menonjol!
Aliran bola antarpemain sangat cepat, persis seperti Spanyol di awal era emas mereka. Menurut saya, Italia adalah tim yang paling menghibur di turnamen tahun ini, dan mereka telah mendapatkan kompensasi untuk itu: tiket ke final!
Mereka menghadapi Spanyol di partai final. Tim yang sempat menjadi kiblat sepak bola dunia dalam lima tahun terakhir. Tapi di turnamen ini mereka mengecewakan penggila sepak bola kebanyakan.
Anak asuh Vicente Del Bosque memang masih memperagakan atraksi bola pendek dari kaki ke kaki seperti ciri khas mereka. Tapi hanya itu yang mereka punya. Operan dari kaki ke kaki. Memutari lawan! Ya, hanya memutari lawan.
Spanyol seperti menemui stagnansi dalam sepak bola mereka. Sebaliknya, Italia terus berkembang sejak pertandingan pertama. Mereka terus berubah: mulai dari menggunakan tiga bek di pertandingan pertama, sampai beralih ke empat bek di formasi 4-3-1-2. Pemain yang hilang, mampu disubstitusi dengan baik oleh penggantinya.
Di perempatfinal, Italia yang kick n rush mengajari Inggris yang catenaccio. Sementara Spanyol dipaksa bekerja keras oleh tim yang compang-camping akibat konflik internal: Prancis.
Di semi-final, Italia secara perkasa mengalahkan Jerman yang jumawa. Sedangkan Spanyol empot-empotan oleh Portugal yang agresif dan lapar gelar. Spanyol hanya beruntung bisa ke final, begitu kata kapten Portugal, Cristiano Ronaldo seusai kalah dari Iker Casillas Cs melalui adu penalti di semifinal.
Spanyol yang beruntung itu kemudian berhadapan dengan Italia yang tengah berkembang. Secara permainan, Italia lebih baik. Optimisme pun menjalar ke semua personel Italia dan pendukungnya. Tapi, bagi sebagian pendukung lain yang percaya pada mitos, grafik permainan Italia yang bagus justru membuat mereka ketar-ketir.
Italia sering kalah di partai puncak justru saat mempertontonkan permaianan rapi nan memikat sepanjang turnamen. Itu terjadi pada Piala Eropa 2000, saat Italia kalah dari Prancis 1-2 melalui gol di ujung pertandingan milik David Trezeguet.
Tapi Spanyol tidak usah takut akan cap beruntung tersebut. Juara akan tetap menjadi juara. Pernyataan Johan Cruyff yang menyebut bahwa permainan indah akan lebih dikenang dibanding sebuah kemenangan tidak lebih adalah pembelaan diri seseorang yang pernah ada di dalam sebuah tim impian, tapi tidak pernah memenangkan satu gelar pun.
Gelar juara lebih penting, meski hanya diraih lewat permainan tiki-takanaccio yang membosankan. Karena, sebuah ungkapan pernah bilang: The winner takes it all.
Benar! Mereka memulai turnamen dengan masalah. Kehilangan seorang pilar di lini belakang: Domenico Criscito, yang harus berurusan dengan polisi akibat dugaan ‘jual-beli’ pertandingan. Benar! Perdana Menteri baru mereka, Mario Monti pernah mengeluarkan ide gila untuk menghentikan Calcio selama dua hingga tiga tahun.
Tapi bagi saya, mereka tidak sukses karena itu. Italia tidak sukses karena mitos. Gianluigi Buffon Cs mencapai final karena secara teknis dan mental, mereka sangat luar biasa. Mereka terorganisir dan bermain dinamis. Tidak ada lagi catenaccio, itu yang paling menonjol!
Aliran bola antarpemain sangat cepat, persis seperti Spanyol di awal era emas mereka. Menurut saya, Italia adalah tim yang paling menghibur di turnamen tahun ini, dan mereka telah mendapatkan kompensasi untuk itu: tiket ke final!
Mereka menghadapi Spanyol di partai final. Tim yang sempat menjadi kiblat sepak bola dunia dalam lima tahun terakhir. Tapi di turnamen ini mereka mengecewakan penggila sepak bola kebanyakan.
Anak asuh Vicente Del Bosque memang masih memperagakan atraksi bola pendek dari kaki ke kaki seperti ciri khas mereka. Tapi hanya itu yang mereka punya. Operan dari kaki ke kaki. Memutari lawan! Ya, hanya memutari lawan.
Spanyol seperti menemui stagnansi dalam sepak bola mereka. Sebaliknya, Italia terus berkembang sejak pertandingan pertama. Mereka terus berubah: mulai dari menggunakan tiga bek di pertandingan pertama, sampai beralih ke empat bek di formasi 4-3-1-2. Pemain yang hilang, mampu disubstitusi dengan baik oleh penggantinya.
Di perempatfinal, Italia yang kick n rush mengajari Inggris yang catenaccio. Sementara Spanyol dipaksa bekerja keras oleh tim yang compang-camping akibat konflik internal: Prancis.
Di semi-final, Italia secara perkasa mengalahkan Jerman yang jumawa. Sedangkan Spanyol empot-empotan oleh Portugal yang agresif dan lapar gelar. Spanyol hanya beruntung bisa ke final, begitu kata kapten Portugal, Cristiano Ronaldo seusai kalah dari Iker Casillas Cs melalui adu penalti di semifinal.
Spanyol yang beruntung itu kemudian berhadapan dengan Italia yang tengah berkembang. Secara permainan, Italia lebih baik. Optimisme pun menjalar ke semua personel Italia dan pendukungnya. Tapi, bagi sebagian pendukung lain yang percaya pada mitos, grafik permainan Italia yang bagus justru membuat mereka ketar-ketir.
Italia sering kalah di partai puncak justru saat mempertontonkan permaianan rapi nan memikat sepanjang turnamen. Itu terjadi pada Piala Eropa 2000, saat Italia kalah dari Prancis 1-2 melalui gol di ujung pertandingan milik David Trezeguet.
Tapi Spanyol tidak usah takut akan cap beruntung tersebut. Juara akan tetap menjadi juara. Pernyataan Johan Cruyff yang menyebut bahwa permainan indah akan lebih dikenang dibanding sebuah kemenangan tidak lebih adalah pembelaan diri seseorang yang pernah ada di dalam sebuah tim impian, tapi tidak pernah memenangkan satu gelar pun.
Gelar juara lebih penting, meski hanya diraih lewat permainan tiki-takanaccio yang membosankan. Karena, sebuah ungkapan pernah bilang: The winner takes it all.
Arie Firdaus