Putusan MK dan Kemenangan Parpol-parpol Gurem
Gedung Mahkamah Konstitusi. merdeka.com/Imam Buhori |
Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membatalkan pemberlakuan parliamentary treshold (PT) atau ambang batas suara parlemen sebesar 3,5 persen secara nasional yang diatur dalam pasal 208 UU 8/2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD. Pembatalan pasal ini menjadi kemenangan besar bagi partai politik yang hanya memiliki basis pendukung di daerah tertentu.
Sementara untuk pasal 8 ayat 1 dan 2, MK menyatakan syarat verifikasi harus dilakukan semua parpol, termasuk parpol yang telah lolos syarat PT dalam Pemilu sebelumnya.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian, pasal 8 ayat (1) dan penjelasan pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316) bertentangan dengan UUD 1945," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD saat membacakan amar putusan dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (29/8).
Mahkamah berpendapat, terdapatnya fakta hukum bahwa syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk mengikuti pemilihan umum legislatif tahun 2009 ternyata berbeda dengan persyaratan untuk pemilihan umum legislatif tahun 2014. Syarat untuk menjadi peserta pemilihan umum bagi partai politik tahun 2014 justru lebih berat bila dibandingkan dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh partai politik baru dalam pemilihan umum legislatif tahun 2009.
Menurut kesepakatan majelis Mahkamah, tidak adil apabila partai politik yang telah lolos menjadi peserta pemilihan umum pada tahun 2009 tidak perlu diverifikasi ulang untuk dapat mengikuti pemilihan umum pada tahun 2014 sebagaimana partai politik baru, sementara partai politik yang tidak memenuhi Parlimentary Threshold (PT) harus mengikuti verifikasi dengan syarat yang lebih berat.
PT, menurut Mahkamah, sejak awal tidak dimaksudkan sebagai salah satu syarat untuk menjadi peserta Pemilu berikutnya, tetapi adalah ambang batas bagi sebuah partai poltik peserta Pemilu untuk mendudukkan anggotanya di DPR.
"Berdasarkan asas persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, partai politik baru tidak boleh diperlakukan secara berbeda dengan partai politik lama (yang pernah mengikuti Pemilihan Umum Tahun 2009), atau jika suatu partai politik dikenai syarat tertentu, maka partai politik yang lain juga harus dikenai syarat yang sama," tambah Mahfud.
Selain itu, pemberlakuan ambang batas suara secara nasional justru bertentangan dengan kedaulatan rakyat dan bertentangan konstitusi, karena berpotensi hanya akan ada satu partai yang menduduki parlemen di tingkat daerah.
"Sehingga mahkamah berpendapat, ketentuan parliamentary treshold 3,5 persen hanya berlaku untuk DPR," kata hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.
Soal parliamentary treshold ini, saat DPR memutuskan PT berlaku 3,5 persen secara nasional telah menuai kontroversi. Ketika itu, partai-partai yang tergabung dalam kubu koalisi yang menjadi motor dari keputusan ini. Sementara PDIP dan Golkar yang menginginkan PT dilaksanakan berjenjang kalah dalam voting di rapat paripurna.
Begitu UU ini disahkan, gugatan dari 22 parpol langsung dilayangkan ke MK. Salah satu kuasa hukum para penggugat, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, apabila satu partai gagal meraih 3,5 persen suara nasional, meski di pemilihan DPRD bisa raup 70 persen suara, maka caleg mereka tak akan bisa masuk parlemen daerah.
"Lantas kalau tidak dilantik apakah mereka digantikan oleh orang yang sebenarnya tidak terpilih? Jadi ada kesan bahwa ini parpol yang di DPR mau menang sendiri. Mereka kebetulan duduk di DPR sebagai parpol yang punya wakil di sana dan ketika membuat UU mereka mau seenaknya sendiri. Orang lain dihalangi ikut Pemilu. Ini tidak fair," ucap Yusril ketika itu.
Soal pasal 8 ayat 1 yang menyatakan tak perlu verifikasi untuk partai yang sudah duduk di parlemen, Yusril juga menegaskan hal itu merupakan akal-akalan parpol yang ada di DPR.
Terkait putusan MK ini, Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo mengaku sudah memprediksinya. Meski menyatakan bisa menerima, dia menyayangkan, upaya untuk menyederhanakan partai seperti yang dicita-citakan, gagal dilakukan.
"Kalau PT hanya berlaku untuk DPR saja saja maka penyederhanaan partai di tingkat lokal tidak akan terjadi. Maka spirit penyederhanaannya hilang. Tapi apa boleh buat kalau MK sudah memutuskan itu suka tidak suka kita harus telan bulat," ujar politikus PDIP ini.
Sementara Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Sutiyoso mengaku masih tidak puas dengan keputusan MK terutama soal syarat verifikasi parpol.
"Saya tidak puas, karena verifikasi itu nyata-nyata amat berat. Saya meyakini tidak akan banyak partai yang lolos verifikasi kalau kriterianya seperti yang sudah diedarkan KPU," ujarnya.
Sutiyoso mengatakan, persyaratan verifikasi akan berimbas pada semua partai terutama yang berbasis agama. "Di daerah-daerah tertentu akan berat karena provinsi kita itu juga sangat majemuk. Ada mayoritas agama yang di tempat lain minoritas," kata dia.
Apapun itu, putusan MK ini menjadi angin segar bagi parpol-parpol kecil terutama parpol baru yang akan ikut bertarung dalam Pemilu 2014. Tidak ada lagi upaya penyederhanaan secara paksa terhadap keberadaan partai secara nasional.
Bagi parpol kecil yang hanya memiliki basis massa di beberapa daerah tertentu, dengan putusan MK ini, mereka masih bisa bersaing dan tetap dapat menempatkan wakilnya di DPRD sehingga suara para pemilih mereka tidak hangus begitu saja.
Sedangkan Bagi DPR, pembatalan pasal dalam undang-undang ini menjadi pelajaran kesekian kalinya, bahwa dalam menyusun undang-undang, jangan lagi mengedepankan kepentingan kelompok tertentu, apalagi parpol-parpol besar yang berkuasa di parlemen.
Editor: Evelyne Patricia
Sumber: Merdeka