Jurnalisme Berpihak dalam Pemilu
Badan Penawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) telah merampungkan modul pelatihan untuk pengawasan Pemilihan Umum (Pemilu) bagi Jurnalis dan Organisasi Masyarakat (Ormas). Untuk mengimplementasikan modul itu telah dijajal pelatihan di tiga kota; Bogor, Balikpapan dan Yogyakarta. Di kota gudeg itu berlangsung pada 23-25 November 2012 lalu. Dan sesuai rencana nanti pada 1-3 Desember 2012 di Medan, Sumatera Utara.
Sebagai wakil dari Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), ikut memberi kontribusi bagi buku panduan telah dibuat, saya kebetulan diminta Bawaslu menjadi salah satu nara sumber pelatihan. Bagi saya hal ini sebuah kehormatan. Baru kini citizen journalist dilibatkan dalam kegiatan semacam ini.
Sebelum pelatihan ke-4 kota itu, di benak saya sudah terformat ihwal Jogja. Di Yogyakarta ada sejarah tua penerbitan pers, kota pelajar, dominan budayawan berdialektika di lesehan-lesehan warung tepi jalan. Dugaan saya suasana akan dinamis, lebih berwarna diskusi, lebih hidup.
Dugaan saya meleset.
Di dialog informal di sela waktu pelatihan, saya menangkap keluhan mendalam beberapa kawan jurnalis. Pertama, soal undang-undang mereka pertanyakan. Apa payung hukum pengawasan Pemilu partisipatif bagi masyarakat. Jika tak ada payung hukum di lapangan nanti akan dipertanyakan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kedua soal kenyataan hidup jurnalis, apakah dengan mereka aktif mensosialisasikan agar warga proaktif mengawasi pelaksanaan Pemilu gaji atau honor mereka akan bertambah? Toh pemilik media tak mau tahu. Dan ketiga, dominan media di mana mereka bekerja sudah berpihak ke dalam partai politik tertentu dan atau kepada calon tertentu?
Tentunya keberpihakan ke partai tertentu dialami oleh semua media di Indonesia, termasuk menjagokan sosok tertentu. Hal ini merata adanya kini. Namun mengangetkan saya, pertanyaan soal tambahan honor dan payung hukum tadi. Sulit bagi saya memulai penjelasan dari mana?
Sebagaimana di kota lain, saya bicara sisi umum.
Saya mulai dari tujuan menulis. Ada tiga saja secara umum tujuan menulis; to transfer meaning, to interpret reality dan to share experience. Landasan bagi jurnalis bekerja ada 9 elemen jurnalisme sebagaimana ditulis Bill Kovach dan Tom Rosentiel di bukunya;
1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran
2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga Negara
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
4. Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya..
5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari
kekuasaan.
6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi
7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan
8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional
9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.
Dari 9 hal tadi, jika mengingat almarhum dosen saya Alm. Hoetasoehoet, memberi kuliah pengantar dasar ilmu komunikasi, sejatinya dalam penyampaian pesan hanyalah urusan akal, budi dan hati nurani. Jurnalisme sudah semacam “kutukan” kepada mereka yang memasukinya untuk siap “berpuasa”, siap bertelapak sepatu tipis, bahkan menyabung nyawanya sendiri demi elemen jurnalisme tadi. Karena itulah jurnalis bak seorang nabi.
Namun keberpihakan jurnalisme ke kekuasaan dan uang, seperti diungkapkan Kovach kepada saya di Jakarta pada 2003 lalu, hampir di semua negara kini terjadi. Media terkooptasi uang dan politik kekuasaan. Karena itulah ia mendukung tumbuhnya jurnalis warga, independen income-nya.
Bila sudah mengacu ke harapan Kovach, sulit untuk membedah keadaan jurnalisme di Indonesia kini. Saya hanya terhibur ketika di Balikpapan, dominan kawan-kawan bertanya, ihwal bagaiman kita bisa independen, bagaimana menghindari godaan uang?
Salah satu media di Balikpapan secara khusus mewawancarai saya dan menuliskan ihwal data saya di 2006, hanya tinggal 6% saja wartawan yang menolak amplop, sebagaiman link ini Iwan Piliang: Wartawan Penolak Amplop Kian Langka
Jika saja jurnalis masih mau melakukan otokritik terhadap dirinya, menulis sesuatu masalah mendasar di lingkungan dirinya, sebagaimana dilakukan Tempo Balikpapan, masih ada harapan ke arah perbaikan.
Jika langgam jurnalisme berpihak uang dan kekuasaan terus digadang-gadang di dalam proses demokrasi, mengakibatkan masyarakat sakit berat, seluruh ranah peradaban masuk ke dalam situasi gawat darurat. Hanya kepadamulah jurnalis, harapan menerobos keadaan genting ini. Maka upaya Bawaslu melibatkan partisipasi aktif warga dalam Pemilu, yang prosesnya sudah bergulir sejak Agustus 2012, layak didukung penuh.
Oleh: Iwan Piliang, Citizen Reporter.
Sumber: