Tampilkan postingan dengan label Public Figure. Tampilkan semua postingan
Sosok Muda 2014 Usai Kolom Hendropriyono
Hingga saat ini saya tak lagi melanggani koran cetak. Hampir semua berita pagi saya lahap dari online. Beberapa kabar penting layak kliping, barulah saya cari bahan printnya. Bila tidak, bahan digital, meng-copy link, atau copy paste masukkan ke file dokumen, simpan. Selalu.
Senin, 6 November 2014, salah satu opini atau kolom layak kliping, tulisan Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelilijen Negara (BIN), kini Komisaris Utama BlitzMegaplex, jaringan bioskop. Di Kompas halaman 6 ia mengkritisi TNI, mengomentari ihwal kemungkinan “perang bintang” pada 2014, jangan sampai memberi stigma generasi muda TNI, tujuan pengabdian: presiden.
Bagian akhir tulisannya, menggelitik saya menulis opini ini. Ia menuliskan bahwa pada 2014 nanti prediksinya, presiden kita adalah sosok muda, sipil. Sekilas kongklusi itu disampaikannya berkait ke tampilnya Jokowi sebagai gubernur di DKI Jakarta.
Dalam perjalanan mengelaborasi sosok muda itu, saya berberapa kali mendapatkan pembelajaran luar biasa. Kawan-kawan di media sosial yang mengikuti tulisan-tulisan saya, tentu masih ingat bagaimana saya pernah mendukung sosok Anas Urbaningrum, melalui gerakan Koin Rp 1000 di facebook, untuk Anas menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.
Alasan saya mendukungnya, muda, sipil, cerdas. Saya awalnya tak mengenal sosoknya, melihat harapan baru. Namun dalam perjalanan waktu sosok ini terindikasi bermasalah di kasus kolusi dan korupsi di proyek Hambalang di antaranya, termasuk pengingkarannya tidak satu atap usaha dengan Nazaruddin, membuat sinar harapan sirna di dada.
Sebelum tidur, kepada Sang Maha Pencipta, acap saya bertanya siapakah pemimpin bangsa yang mampu membangun peradaban bangsa dan negara? Langkah menggiring saya untuk bertemu dengan orang-orang muda baru. Nama seperti Jokowi, sebagai mana sudah banyak saya tulis, terlebih dulu saya ketahui produk rumah kayunya di Dubai, 2010. Produk unik dan laku itu, membuat saya penasaran siapa Jokowi.
Alam mengalir mempertemukan saya dengan Jokowi pada Oktober 2011, di Tvone di saat live. Alam pula yang entah mengapa tanpa recana, membuat saya otomatis hadir di deretan 6 kursi di KPUD ketika pendaftarannya menjadi Cagub. Alam pula seakan menggerakkan saya menjawab pertanyaan Jokowi di saat kami berjalan kaki di depan Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat. Jokowi bertanya, ini tanda-tanda apa? Saya jawab, Bapak Gubernur, Bapak Presiden! Alam pula entah mengapa di Bundaran HI, kala itu, “menciptakan” saya membaca dua konten doa saja untuk Jokowi; jadilah pemimpin hanya selangkah didahulukan warga, dan tempatkan intangible asset di atas kebendaan. Saya senang hingga hari ini dalam istilah saya Jokowi masih mencium bau keringat rakyat.
Alam pula entah mengapa membuat saya punya akses membuat sosok Jokowi tampil menyampaikan kuliahnya di Puspen Mabes TNI, Cilangkap, pada 25 Oktober lalu dalam rangka Hut ke-5 Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI).
Di saat momen yang sama, alam pula membuat sosok muda baru saya kenal Komarudin Watubun, Wakil Ketua DPR Papua, Salah satu Ketua di DPP PDIP, kelahiran 1966, turut hadir memberi pengantar bagi Jokowi di momen acara di Cilangkap itu.
Dalam perkenalan singkat, saya menyimak sosok Komarudin sederhana, tegas memimpin, dan paling penting ia tahu arah tujuan hidup. Sebagai seorang ayah, tujuan hidup utama pria mendidik, menyekolahkan anak setinggi-tingginya, bukan sebaliknya meninggalkan rumah di Pondok Indah, deposito dan dua Ferrari, misalnya. Di sosok Komarudin saya menyimak ketegasan lebih, kesederhanaan lebih, kejernihan lebih.
Saya tak paham, apakah setelah hari ini, alam juga akan mempertemukan saya dengan sosok muda lain lebih cemerlang; seleras kecerdasan otak dan hatinya? Wallahualam.
Namun di tengah media mainstream seakan terkooptasi oleh politik uang dan kekuasaan, opini ini saya tuliskan sebagai sebuah perjalanan mencari. Mencari sosok-sosok alternatif, sebagaimana dituliskan oleh Hendropriyono, sipil, muda, berintegritas.
Dari perajalanan transenden “aliran” alam itu, tidak berlebihan bila acuannya hingga saat saya menuliskan hal ini, dua nama itulah kandidat presiden saya pada 2014 mendatang. Sebelumnya di media sosial saya pernah menyebut nama seperti Ganang Soedirman, cucu pertama Panglima Besar Soedirman, juga Japto Soerjo Soermarno. Namun pada akhirnya kedua nama itu menjadi bagian dialektika tampaknya.
So, jika acauan hari ini, jika bukan Jokowi ya Komarudin. Sosok Komar-lah yang mencetuskan ide Gerakan Pertaubatan Nasional, secara spontan sudah digulirkan pada 25 Oktober dari Cilangkap itu. Siapa tahu, melalui gerakan itu, heboh rusuh isu korupsi dan kolusi tak bertepi kini, dengan tampilnya salah satu dari mereka menjadi presiden mengakhiri karut-marut bangsa. Bagi saya mereka berdua solusi. Bukan KPK sebagai solusi.
Bagi saya peluang mereka besar. Apalagi dalam verfikasi saya, Megawati Soekarno saya pastikan tidak akan maju menjadi presiden. Juga sosok Jusuf Kalla tak kalah fenomenon, lebih disambut publik, saya duga kuat, tak akan maju pula. Maka jauh di lubuk hati dua tokoh bangsa itu: saya meduga mereka yakin dengan dua nama saya tuliskan.
Terkesan berlebihan kalimat saya?
Pada akhirnya waktu jualah menguji.
Oleh: Iwan Piliang, Citizen Reporter.
Sumber:
Jurnalisme Berpihak dalam Pemilu
Badan Penawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) telah merampungkan modul pelatihan untuk pengawasan Pemilihan Umum (Pemilu) bagi Jurnalis dan Organisasi Masyarakat (Ormas). Untuk mengimplementasikan modul itu telah dijajal pelatihan di tiga kota; Bogor, Balikpapan dan Yogyakarta. Di kota gudeg itu berlangsung pada 23-25 November 2012 lalu. Dan sesuai rencana nanti pada 1-3 Desember 2012 di Medan, Sumatera Utara.
Sebagai wakil dari Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), ikut memberi kontribusi bagi buku panduan telah dibuat, saya kebetulan diminta Bawaslu menjadi salah satu nara sumber pelatihan. Bagi saya hal ini sebuah kehormatan. Baru kini citizen journalist dilibatkan dalam kegiatan semacam ini.
Sebelum pelatihan ke-4 kota itu, di benak saya sudah terformat ihwal Jogja. Di Yogyakarta ada sejarah tua penerbitan pers, kota pelajar, dominan budayawan berdialektika di lesehan-lesehan warung tepi jalan. Dugaan saya suasana akan dinamis, lebih berwarna diskusi, lebih hidup.
Dugaan saya meleset.
Di dialog informal di sela waktu pelatihan, saya menangkap keluhan mendalam beberapa kawan jurnalis. Pertama, soal undang-undang mereka pertanyakan. Apa payung hukum pengawasan Pemilu partisipatif bagi masyarakat. Jika tak ada payung hukum di lapangan nanti akan dipertanyakan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kedua soal kenyataan hidup jurnalis, apakah dengan mereka aktif mensosialisasikan agar warga proaktif mengawasi pelaksanaan Pemilu gaji atau honor mereka akan bertambah? Toh pemilik media tak mau tahu. Dan ketiga, dominan media di mana mereka bekerja sudah berpihak ke dalam partai politik tertentu dan atau kepada calon tertentu?
Tentunya keberpihakan ke partai tertentu dialami oleh semua media di Indonesia, termasuk menjagokan sosok tertentu. Hal ini merata adanya kini. Namun mengangetkan saya, pertanyaan soal tambahan honor dan payung hukum tadi. Sulit bagi saya memulai penjelasan dari mana?
Sebagaimana di kota lain, saya bicara sisi umum.
Saya mulai dari tujuan menulis. Ada tiga saja secara umum tujuan menulis; to transfer meaning, to interpret reality dan to share experience. Landasan bagi jurnalis bekerja ada 9 elemen jurnalisme sebagaimana ditulis Bill Kovach dan Tom Rosentiel di bukunya;
1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran
2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga Negara
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
4. Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya..
5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari
kekuasaan.
6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi
7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan
8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional
9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.
Dari 9 hal tadi, jika mengingat almarhum dosen saya Alm. Hoetasoehoet, memberi kuliah pengantar dasar ilmu komunikasi, sejatinya dalam penyampaian pesan hanyalah urusan akal, budi dan hati nurani. Jurnalisme sudah semacam “kutukan” kepada mereka yang memasukinya untuk siap “berpuasa”, siap bertelapak sepatu tipis, bahkan menyabung nyawanya sendiri demi elemen jurnalisme tadi. Karena itulah jurnalis bak seorang nabi.
Namun keberpihakan jurnalisme ke kekuasaan dan uang, seperti diungkapkan Kovach kepada saya di Jakarta pada 2003 lalu, hampir di semua negara kini terjadi. Media terkooptasi uang dan politik kekuasaan. Karena itulah ia mendukung tumbuhnya jurnalis warga, independen income-nya.
Bila sudah mengacu ke harapan Kovach, sulit untuk membedah keadaan jurnalisme di Indonesia kini. Saya hanya terhibur ketika di Balikpapan, dominan kawan-kawan bertanya, ihwal bagaiman kita bisa independen, bagaimana menghindari godaan uang?
Salah satu media di Balikpapan secara khusus mewawancarai saya dan menuliskan ihwal data saya di 2006, hanya tinggal 6% saja wartawan yang menolak amplop, sebagaiman link ini Iwan Piliang: Wartawan Penolak Amplop Kian Langka
Jika saja jurnalis masih mau melakukan otokritik terhadap dirinya, menulis sesuatu masalah mendasar di lingkungan dirinya, sebagaimana dilakukan Tempo Balikpapan, masih ada harapan ke arah perbaikan.
Jika langgam jurnalisme berpihak uang dan kekuasaan terus digadang-gadang di dalam proses demokrasi, mengakibatkan masyarakat sakit berat, seluruh ranah peradaban masuk ke dalam situasi gawat darurat. Hanya kepadamulah jurnalis, harapan menerobos keadaan genting ini. Maka upaya Bawaslu melibatkan partisipasi aktif warga dalam Pemilu, yang prosesnya sudah bergulir sejak Agustus 2012, layak didukung penuh.
Oleh: Iwan Piliang, Citizen Reporter.
Sumber:
Sketsa: Satu Hijriah Bersama Jokowi
Seorang Satuan Pengamanan (Satpam) di kediaman dinas Gubernur DKI itu menyapa saya dalam bahasa Minang.
“Baa kaba Pak Iwan. Baa lai bisa juo mengecek caro awak?” (“Bagaimana kabar Pak Iwan, masih bisa juga berbahasa Minang?”)
Saya balas dengan langgam sedaerah. Sosok anak muda mengaku kelahiran Bukittinggi tahun 80-an itu berceloteh panjang. Termasuk ihwal bagaimana berjibun tamu datang ingin berjumpa Jokowi. “Wartawan terkadang subuh sudah menunggu. Pernah juga ada demonstrasi. Masak kediaman dinas didemo?”
Entah karena libur panjang, Kamis malam di sekitar pukul 20 itu tak ada wartawan atau tamu lain. Dari ruang tunggu tamu, saya perhatikan sebuah layar televisi menayangkan 10 kotak gambar, pancaran Closed Circuit Television (CCTV), beberapa ruas pojok di sekitar kediaman. Menatap ke halaman, rumput hijau menghampar. Nun di seberang jalan kehijauan kian membentang. Di sela pohon-pohon besar peninggalan kolonial Belanda, rerumputan bagaikan ambal tebal. Batang pohon di Taman Suropati merindang-panjang. Angin malam menggerakkan dedaunan seakan mengabarkan: tiada lagi taman seindah itu di Jakarta kini.
Sekitar setengah jam menanti, saya menemui Jokowi di ruang utama rumah dinas itu. Saya perhatikan tiga kelompok kursi dan sofa di ruangan itu. Dinding-dinding polos, tanpa satu pun hiasan lukisan. Sebuah pot bunga pun tak ada. Di dalam hati saya bertanya apakah tidak ada satupun lukisan atau benda seni inventaris Pemda DKI sehingga kediaman itu polos bak baju putih dikenakan Jokowi malam itu?
Entah menyadari akan pertanyaan hati saya, Jokowi antara lain menyampaikan keinginannnya. “Saya lagi mencari lokasi yang baik bagi seniman menuangkan lukisan di tembok, di mana warga dapat menikmati sambil berjalan kaki, di mana ya?”
Nanar saya sebentar.
Belum bisa saya bayangkan lokasi mana yang pas. Ada tembok, panjang, bisa dijadikan kanvas melukis seniman. Bisa dinikmati pejalan kaki. Jokowi bilang, di Solo lokasi itu ada.
“Saya hanya modali seniman masing-masing satu setengah juta, mereka lalu berkarya.”
Kami berceloteh ihwal Taman Ismail Marzuki (TIM) kini. Jokowi mengatakan untuk anggaran tahun ini ada sekitar Rp 100 miliar lebih membangun kawasan itu kembali. “Namun saya mau TIM dirombak total,” ujarnya.
Perubahan total dimaksudkannya, dikembalikan sebagai kawasan kebudayaan, tempat berbagai seniman mangkal, menuangkan karya masterpiece-nya. Lokasi itu tidak dominan bagi kepentingan komersial. Harus kental bobot kebudayaannya.
Memang jika Anda simak hari ini ke kawasan TIM di bilangan Cikini, Jakarta Pusat itu, suasana sudah bak kawasan mall, ada jaringan bioskop, deretan warung dan kedai mendominasi. Sulit Anda mencari karya patung, karya lukis maestro sedang terbentang.
Di dalam hati saya bergumam. Inilah jika selama ini pengelola pemerintahan daerah mengganggap kebudayaan basa-basi. Perihal yang dipikirkan Jokowi mereka anggap tidak penting. Kuat dugaan saya selama ini kepentingan utama disebut pembangunan itu hanya: gedung jangkung menjulang-julang, mal-mal berjejal-jejal, lalu Jakarta terkenal: kota berpuluh mal besar tidak memuliakan keinsanan.
Mal acap mengambil lahan jalan publik, parkirnya minim, sehingga menambah kemacetan di jalan umum sempit. Contoh signifikan gila, di bilangan Gandaria, Jakarta Selatan, bisa-bisanya jalan umum seakan sengaja dibuat tembus ke basement sebuah mal. Dalam kenyataan yang ada kelompok usah property di DKI ada yang sudah menunggak pembangunan Fasilitas Sosial (Fasos) dan Fasilitas Umum (Fasum) mencapai angka Rp 80 triliun. Perihal ini pernah dibahas di DPRD DKI era Foke, akan tetapi hanya bunyi sekali lalu sepi. Sebagai ibukota bangsa dan negara berkebudayaan mancaragam, tidak mencerminkan kedigdayaan kebudayaan yang ada.
“Dulu di Ancol juga banyak seniman pilihan.”
“Kini saya perhatikan ala kadarnya.”
Jokowi prihatin.
Di balik keprihatinannya, saya gembira.
Senang karena dua premis doa saya di Bundaran HI, di saat secara tak sengaja turut mendampinginya mendaftar sebagai calon Gubernur DKI usai dari KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah), masih berwujud. Dua doa itu; pertama, jadikan Jokowi gubernur di DKI hanya selangkah didahulukan dari warganya. Jadikan ia gubernur memuliakan keinsanan, menempatkan intangible asset di atas kebendaan.
Di dua doa itu, hingga tahun baru Hijariah ini, di saat ia baru memangku jabatan gubernur sebulan, masih terasa kental teguh komitmennya. Dalam hal didahulukan selangkah dari warga, hari-hari tiada henti Jokowi bertemu dengan kalangan marjinal. Bahkan di hari libur pun ia bekerja. Kamis siang ia masih berkeliling ke lokasi tempat bekas kebakaran di kawasan Jakarta Barat, juga kawasan pemukiman apung di Jakarata Utara.
“Pekan lalu tengah malam saya mengunjungi sebuah Damkar.”
Damkar dimaksud adalah Dinas Pemadam Kebakaran.
“Di satu lokasi, dari tiga puluh empat petugas, cuma ada tujuh belas orang.”
“Saya tunggu mana sisanya? Eh lama menunggu tak kunjung ada.”
“Kalau sudah begitu terjawab bagi saya, terang saja rumah kebakar satu, berlanjut ke puluhan lainnya. Wong petugasnya?”
Kunjungan di malam hari ke kantung-kantung kumuh warga, ia rasakan lebih mendapatkan tempat di hati rakyat. Inilah implementasi sikap yang hanya didahulukan selangkah dari warga itu, agaknya.
Pada 25 Oktober lalu di ruang Pusat Penerangan (Puspen) TNI, Cilangkap. Siang itu sebagaimana saran saya ke ajudannya, Jokowi datang berbaju putih. Saya memang sebal dengan langgam pejabat berkeliling berbaju bergelayutan atribut “jengkol” kuningan di dada. Kesan-kesan feodal kok dipelihara.
Begitu Jokowi sampai di Puspen TNI itu, ia minta izin menunaikan shalat zuhur. Saya perhatikan sepatu kulit marunnya berkaret putih, Telapaknya tipis. Ketika Wakil kepala Puspen TNI, Brigjen Siratmo, menawarkan minum, Jokowi hanya tersenyum. Saya tanya apakah puasa, mengingat esoknya Idul Adha, Jokowi konsisten dengan senyumannya.
Judul acara hari itu, National Lecture Jokowi, Kepemimpinan Melayani Rakyat. Di spanduk wajahnya saya sandingkan dengan siluet muka Panglima Besar Soedirman.
Kendati judulnya national lecture Jokowi, sehari sebelum acara, saya ditelepon oleh sekretaris Kepala Dinas Kominfo DKI Jakarta.
“Pak Iwan kami mau mengabarkan kalau esok Pak Gubernur diwakili oleh Kepala Dinas Kominfo. Pak Kadis yang akan datang.”
Saya sampaikan kepada sang sektretaris, penelepon, apakah tidak membaca judul acara? Tidak ada nama Munap misalnya sebagai pemberi lecture. Sang sekretris tetap kekeh Kadisnya mewakili.
Tadi malamperihal itu itu saya konfirmasi langsung kepada Jokowi, apakah sang Kadis melaporkan ihwal rencananya mewakili?
“Tidak,” jawab Jokowi tegas.
Kami lalu tertawa.
Bagi saya memang lucu ya birokrasi Pemda DKI. Untuk urusan yang tak ada sangkut pautnya dengan perduitan, seorang Kadis berani demikian. Makanya wajarlah ketidak-karuan selama ini terjadi di Pemda DKI.
Dan acara di Cilangkap itu, di mana sosok sipil bicara, dan diselenggarapan oleh Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) itu berlangsung lancar. Unggahan video kuliah Jokowi di sebagian besar perwira menengah dan anggota PPWI itu di youtube.com dapat di simak dengan men-search: Puspen-PPWI, sudah dilihat lebih 20.000 orang.
“Itu baru pertama kali saya masuk ke Mabes TNI.”
“Mabes TNI kita tidak kalah dengan Pentagon.”
Pentagon adalah markas besar tentara, pertahanan, di Washington DC, Amerika Serikat.
Jokowi kagum akan luasnya area Mabes TNI, jalan masuk terasa gran, lebar, panjang.
Tidak banyak hal baru yang disampaikan Jokowi dalam kuliahnya hari itu. Secara jujur untuk DKI baru beberapa hari ia menjabat. Ia memaparkan perbedaan sebelum dan setelah ia menjadi walikota di Solo. Ada beberapa slide foto yang lucu ia tayangkan. Seperti mengganti kepala Satpol PP semula sosok pria berwajah seram menjadi ibu-ibu berkebaya berwajah kemayu. Hadirin ngakak.
Perihal itu bisa disimak di link youtube tadi.
Kini staf Humas Pemda DKI memang rajin mengundah kegiatan gubernur dan wakilnya ke youtube.com. Pekan lalu dapat disimak bagaimana sang wakil Ahok, dengan gagah-berani memarahi mereka yang di Dinas Pekerjaan Umum (PU). Ahok minta anggaran dipangkas 25%, kolusi tender ber-markup dihapus. Bahkan Ahok mengancam jika tak mau dia akan gunakan anggaran, di Wagub menjalankan proyek. Kalau tidak mau juga berubah, kasus-kasu lama akan dibongkar, ancam Ahok.
“Saya tidak takut. Kalau pun pistol sekalipun ditodongkan ke muka saya, dengan mata tanpa berkedip saya siap mati,” ujar Ahok, antara lain di video itu.
Maka bagi banyak kalangan keberadaan Jokowi-Ahok memang menjadi fenomenon. Hampir setiap hari ada saja berita dan liputan tentang mereka. Akan halnya ihwal langgam Ahok itu, tadi malam kepada saya Jokowi berkata. “Ojo keras-keras amat. Saya sudah bilang pada Ahok, kita ini cuma berdua. Ingat di sana ada puluhan ribu karyawan.”
Dan semakin hari semakin banyak saja orang yang ingin berdekat-dekat dengan Jokowi. Di saat saya hendak mengakhiri tulisan ini, di Metrotv, Jumat pagi ini, ada Soetiyoso, dan seorang pengamat muda, membahas kepemimpinan Jokowi. Keduanya seakan pakar-di-pakar. Menjadi tanya bagi saya kepada Soetiyoso, khususnya, ketika menjadi gubernur ente kemane aje?
Di tvone dua perkan lalu di acara Gestur saya sampaikan ke pemirsa bahwa pada 2014 akan tampil pemimpin baru yang dikendaki alam. Lantas di twitter banyak pihak bertanya, siapakah pemimpin baru itu?
Semalam pula Jokowi menyampaikan ketidak-yakinannya terjadi alih kepemimpinan di 2014. Saya sampaikan dugaan sangat kuat bahwa Megawati Soekarno Putri d an Jusuf Kalla tak akan maju mencapres.
“Jika mereka berdua demikian, menggerakkan kuat peralihan kepemimpinan. Tapi saya tak yakin,” tutur Jokowi.
Saya yakin, kata saya.
Dan pemimpin baru itu pastilah sosok-sosok berkarakter seperti Jokowi. Saya hari-hari sekarang misalnya acap berkunjung ke berbagai kota bersama Komarudin Watubun, wakil Ketua DPR Papua, juga salah satu pimpinan di PDIP.
Sosok muda ini tak kalah sederhana dan tegas dibanding Jokowi. Camry, Mobil dinasnya di Papua, masih dibiarkan berplastik. Ke mana-mana di setiap kota ia tidak pernah minta disambut pengurus partainya. Bercelana jins, acap berkaos Jogger. Begitu pembawaannya.
Sosok muda ini tak kalah sederhana dan tegas dibanding Jokowi. Camry, Mobil dinasnya di Papua, masih dibiarkan berplastik. Ke mana-mana di setiap kota ia tidak pernah minta disambut pengurus partainya. Bercelana jins, acap berkaos Jogger. Begitu pembawaannya.
“Islam rahmatan lilalamin,” kata-kata acap diucapkan Bung Komar.
“Bukan saja untuk manusia, tetapi tumbuhan, hewan, alam semesta,” ujarnya.
Mimiliki sahabat seperti Jokowi dan Komarudin saya kian paham arti tahun baru hijriah 1433 ini. Mereka memberikan harapan bagi membaiknya peradaban.
Oleh: Iwan Piliang, Citizen Reporter.
Sumber:
Ada koruptor dikubur di TMP Kalibata
Wawancara Anhar Gonggong (3)
Sejarawan Anhar Gonggong. (merdeka.com/Islahuddin) |
Sejarawan Anhar Gonggong menyebut penolakan terhadap pemberian gelar terhadap seseorang yang memang pantas biasanya bersifat politis. Setidaknya dia merasakan itu saat menjadi tim seleksi tim pemberian gelar pahlawan nasional. Bahkan dia menolak ikut serta tim jika menteri ikut dalam penentuan itu.
Meski begitu, dia tidak menafikan ada gelar diberikan lantaran alasan politis, terutama di zaman Soeharto.
Berikut penjelasan Anhar Gonggong kepada Islahuddin dari merdeka.com saat ditemui di lantai I Gedung C, Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Kamis (8/11) siang.
Apakah pemberian gelar pahlawan nasional selama ini bersifat politis?
Saya berpendapat tidak. Saya pernah dan termasuk orang yang menilai dan mengatakan kepada menteri, saya bukan politikus. Saya adalah sejarawan dan tidak mau terlibat urusan politik.
Apa benar dari deretan penerima gelar pahlawan nasional itu tidak ada yang politis sama sekali?
Dulu ada. Zaman Soeharto siapa sih ada orang baru meninggal bisa segera diangkat sebagai pahlawan nasional. Menurut saya orang itu tidak pantas. Tapi karena sudah diberikan, tidak bisa dicabut. Saya saat itu bukan bagian dari itu. Siapa mau bicara, kita menolak pemberian gelar pahlawan nasional pada tokoh itu. Saya tetap kritis kepada setiap tokoh diajukan. Malah saya bilang, kalau menteri ikut campur saya menolak ikut serta dalam tim itu.
Bagaimana dengan penggunaan gelar pahlawan nasional dipakai gagah-gagahan oleh keturunannya?
Itu hak dia. Kenapa tidak. Saya bangga sebagai keturunan dari pahlawan itu dan dia coba gunakan itu. Terus Anda tidak terima? Apa Anda tidak bangga kalau salah seorang anggota keluarga Anda diberikan gelar pahlawan nasional, Anda pasti bangga. Aneh kalau tidak.
Bukan berarti jika generasi sebelumnya pahlawan nasional akan terus generasi keturunannya tanpa cacat?
Tidak bisa seperti itu. Ada yang keluarganya pengkhianat, mungkin dia sekarang bekerja untuk republik dan mempunyai sumbangan besar, dia berhak untuk menjadi pahlawan. Dalam zaman sekarang, setahu saya banyak anak-anak pengkhianat yang menduduki jabatan penting. Paling tidak di Sulawesi Selatan ada banyak yang ayahnya pengkhianat, bersekongkol dengan Belanda, tapi sekarang jadi pejabat. Paling tidak yang saya tahu dari Sulawesi Selatan. Saya tahu itu tidak hanya diceritakan kakak saya, saya juga baca saat kuliah, tapi saya tahu betul bagaimana dengan ayahnya dulu kemudian sekarang anaknya menjabat pejabat DPR, DPRD, atau pejabat bidang lainnya.
Apakah ada kaitan ungkapan, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya," berbanding dengan jumlah banyaknya pahlawannya?
Tidak, istilah Anda salah. Anda mau mengutip Soekarno tapi salah. Yang benar itu, ungkapan itu tulisan tangan Soekarno dalam bingkai foto Tjokroaminoto, "Hanya bangsa yang menghargai pahlawan-pahlawannya dapat menjadi bangsa yang besar."
Ada bangsa yang kecil tapi mereka memiliki pahlawan. Kalimat itu banyak dikutip orang, tapi banyak yang salah. Penerbit Kompas juga pernah mengeluarkan buku dan mengutip kalimat salah itu. Kesalahan itu sudah menjadi familiar dan setiap kali kalau ada yang mengutip itu akan saya benarkan. Di mana pun saya dengar akan langsung saya tegur, "Bung Anda salah." dan Anda salah dalam mengutip. Itu tertulis dalam bingkai foto Tjokroaminoto lalu di bawahnya ada tulisan tangan Soekarno.
Apa memang benar murni, tanpa motif politis?
Ada tentu yang mau melakukannya secara politis. Tapi saya tidak mempersoalkan apa itu mau diajukan secara politis. Kalau saya sebagai anggota tim, apakah dia pantas atau tidak, tanpa ada urusan politis dengan dia.
Siapa berhak dimakamkan di taman makam pahlawan?
Ada dasarnya, tapi semua orang bisa menolak untuk dimakamkan di sana. Bung Hatta menolak dimakamkan di taman makam pahlawan. Itu bukan karena pemerintah yang menyuruh. Kalau Soekarno kasusnya lain, Soeharto tidak mau dia dimakamkan di taman makam pahlawan. Tapi kalau Hatta memang keluarga dan Hattanya sendiri tidak mau dimakamkan di taman makam pahlawan.
Siapa pun berhak dimakamkan di sana, tapi ada syaratnya, salah satunya siapa pun sudah mendapatkan paling tidak bintang gerilya, maka dia berhak dimakamkan di taman makam pahlawan.
Apa alasan Hatta menolak dikubur di makam pahlawan?
Hatta menolak karena dia pernah mengaudit korupsi Muhammad Taher (mantan asisten Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo) yang kabur ke Singapura. Namun, ketika Taher meninggal dia dimakamkan di taman makam pahlawan.
Itulah kesulitannya, apakah orang sudah dimakamkan di taman makam pahlawan tidak boleh dibongkar makamnya untuk dikeluarkan karena dia pengkhianat? Dalam arti kata Muhammad Taher, koruptor besar. Memang peraturan itu tidak ada.
Itu pantas Anda pertanyakan. Apakah koruptor yang dimakamkan dalam taman makam pahlawan boleh dikeluarkan? Setahu saya tidak ada peraturan membahas hal itu.
Kalau Soekarno berbeda, dalam salah satu pidatonya dia bilang, "Saya ingin dimakamkan di bawah pohon." Tampaknya dia ingin dimakamkan di Bogor atau di Bandung. Tapi kalau dia dimakamkan di sana pada waktu itu, orang akan memitoskan dia. Sekarang pun makamnya di Blitar, Jawa Timur, tetap saja dimitoskan. Itu hal biasa, seseorang yang dimitoskan oleh masyarakat. Di Amerika Serikat juga ada mitos para pahlawannya.
Apa ada bangsa di dunia ini tidak mempunyai mitos, walaupun itu dibuat. Bisa saja, kenapa tidak. Semua bangsa punya pahlawan, cuma cara menghargai berbeda. Di Prancis ada proses panjang baru diangkat menjadi pahlawan nasional, bisa bertahun-tahun, karena di sana masyarakat memberi penilaian.
Apa ada bangsa di dunia ini tidak mempunyai pahlawan? Tidak ada. Dan tidak ada bangsa yang melakukan perubahan tanpa ada orang bersedia mengorbankan diri. Kita akan terus terjajah bila tidak ada orang seperti Tjokroaminoto, Sutomo, Hatta, Soekarno, Sjahrir, Yamin, dan lainnya, kita belum tentu merdeka. Belum tentu.
Editor: Yudi Dwi Ardian
Sumber :
Soekarno dan Hatta pantas diberikan gelar pahlawan nasional
Wawancara Anhar Gonggong (2)
Sejarawan Anhar Gonggong. (merdeka.com/Islahuddin) |
Sejak gelar kehormatan itu mulai diberikan pada 1959, ada istilah khusus dalam gelar pahlawan nasional. Mulai dari pahlawan perintis kemerdekaan, pahlawan kemerdekaan nasional, pahlawan proklamator, pahlawan kebangkitan nasional, pahlawan revolusi, hingga pahlawan ampera.
Tahun ini istilah-istilah itu bisa saja berubah. Terutama sejak munculnya kabar pahlawan proklamator, Soekarno-Hatta akan diberikan gelar tambahan sebagai pahlawan nasional. Apa maksud pemberian gelar tambahan itu?
Berikut penjelasan sejarawan Anhar Gonggong sekaligus tim seleksi pahlawan nasional kepadaIslahuddin dari merdeka.com dengan nada naik turun saat menerangkan makna di balik pemberian gelar tambahan bagi dua proklamator itu. Anhar ditemui di sela waktu mengajar di Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Kamis (8/11) siang.
Kenapa Bung Karno dan Bung Hatta perlu ditambahkan gelar pahlawan nasional pada keduanya, apa maksudnya atau bentuk pelecehan?
Saya berbeda pendapat dengan Asvi Marwan Adam dalam berbagai hal. Saya berbeda pendapat juga dengan Asvi soal pemberian gelar pahlawan nasional kepada Bung Karno dan Bung Hatta.
Asvi mempertanyakan kenapa memberi gelar kepada Bung Karno, dia sudah proklamator. Mulanya saya juga berpendapat seperti itu. Tapi ketika Jimly Asshidiqi menelepon saya, "Mas Anhar, ini ada begini." Saya adalah orang yang menolak pemberian gelar pahlawan kepada Bung Karno dan Bung Hatta. "Kenapa," kata Jimly. Soekarno dan Hatta itu proklamator. Selama republik ini bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, maka tidak akan ada orang lain yang menggantikan.
Tetapi ada alasan yang dikemukakan. Oke kita terima. Tapi ini dua orang, nama bandara di Cengkareng, Soekarno-Hatta, terus nama pelabuhan di Makasar juga sama. Kenapa kita tidak memberikan penghargaan masing-masing kepada mereka. Proses perjalanan mereka berdua berbeda. Dalam warna tertentu Soekarno dan Hatta kadang berbeda pendapat. Itu maksud Jimly. Oleh karena itu, kita memberikan mereka masing-masing gelar pahlawan nasional. Soekarno diberikan gelar pahlawan nasional. Hatta juga diberikan pahlawan nasional. Tetapi, dengan gelar pahlawan proklamator karena mereka satu-satunya warga negara yang memiliki dua gelar kepahlawanan yakni Soekarno dan Hatta. Itu menunjukkan kekhasan.
Lalu ada yang lain. Asvi mempertentangkan, kenapa presiden tidak menegaskan Soekarno adalah pencipta Pancasila? Saya bilang, itu tidak ada persoalan, tanpa menyebut itu semua orang tahu, untuk apalagi. Asvi meminta pada 1 Juni Soekarno disebut secara tegas, Soekarno pencipta Pancasila. Menurut dia, itu berasal dari 1 Juni sebagai hari besar, selanjutnya Pancasila.
Saya bilang tanpa menyebut itu semua orang sudah tahu. Tetapi Pancasila melalui proses untuk menjadi dasar negara. Dari 1 Juni menjadi 22 Juni 1945, dari 22 Juni menjadi 18 Agustus, baru pada 18 Agustus Pancasila menjadi dasar negara. Pada 1 Juni dan 22 Juni, Pancasila itu, kalau istilah guru besar saya di Universitas Gajah Mada, Profesor Notonegoro, 1 Juni dan 22 Juni adalah calon dasar negara dan itu logis.
Asvi kemarin bilang itu pendapat Nugroho Noto Susanto, itu tidak benar, itu pendapat Notonegoro. Notonegoro mengatakan itu saat Universitas Gajah Mada memberikan gelar doktor honoris causa kepada Soekarno, itu yang diterangkan oleh Notonegoro.
Pada 1 Juni kita belum merdeka, 22 Juni juga belum merdeka. Baru pada 18 Agustus kita sudah merdeka. Ada perbedaan sekarang bisa dilihat di antara ketiga waktu itu. Kata Pancasila hanya bisa dicari pada 1 Juni, selain itu tidak ada. Di dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 juga tidak ada, yang disebutkan cuma butir-butirnya. Tetapi rakyat harus ingat, di mana pun Anda bicara Pancasila di situ ada Soekarno dan tidak pernah tidak ada. Dan 1 Juni dia berposisi sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) personlig (personal) pemimpin bangsa Indonesia personlig, intelektual politikus personlig, mengusulkan kepada BPUPKI atas permintaan dari ketua, lalu dia rumuskan kemudian ditawarkan. "Dasar negara saya tawarkan kepada Anda adalah ini, Pancasila. Kalau Anda tidak senang dengan Pancasila bisa diperas menjadi trisila, kalau Anda tidak senang dengan trisila bisa diperas dengan nama gotong royong atau ekasila.
Baru kemudian, setelah Soekarno membacakan itu anggota sidang terbelah dua. Bertengkarlah anggota BPUPKI itu. Ada yang mengatakan setuju dengan Soekarno dan ada yang menolak dan harus ada rumusan lain. Kemudian ketua BPUPKI Radjiman mengatakan, "Anda yang bertengkar, bentuk panitia kecil. Temukan formula pendapat Anda sesuai yang diperdebatkan. Selesaikan perbedaan Anda." Maka dibentuklah panitia sembilan. Dari anggota 38 orang yang berada di Jakarta. Nah ketuanya saat itu Soekarno dan wakil ketuanya Hatta, ditambah tujuh orang anggota. Maka pada 22 Juni lahirlah Pancasila Piagam Jakarta. Piagam Jakarta adalah istilah Muhammad Yamin.
Satu, ketuanya adalah Soekarno, jadi yang menentukan apakah formulasi itu diterima atau ditolak adalah Soekarno juga. Anda tahu, ketika Piagam Jakarta itu dibicarakan dan mau diubah, salah seorang yang menolak perubahan itu adalah Soekarno. "Kenapa kita mau mengubah. Ini pekerjaan kita yang dikerjakan bersama dalam waktu sekian lama kita bertengkar," kata Soekarno.
Pada 18 Agustus, Hatta mengatakan dalam bukunya Riwayat Proklamasi, ada orang mendatangi dia dan Bung Hatta tidak menyebut siapa orang itu. Orang itu mengaku diutus mewakili Indonesia Timur, mengatakan tidak setuju dengan isi Piagam Jakarta. Hatta juga bertengkar dengan utusan itu, dia tidak langsung menerima. "Ini sudah kita bicarakan dan ini terbatas pada orang Islam, di luar itu tidak perlu," kata Hatta. Tapi akhirnya, opsi utusan dari Indonesia Timur yang mengatakan di wilayahnya mayoritas non-Islam, menolak kata-kata, "Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Dan Hatta mengatakan, "Kalau nanti kita rapat, sebelum masuk rapat saya melakukan lobi." Maka Soekarno, Hatta, Yamin melakukan dialog. Akhirnya disepakati tujuh kata itu dihilangkan dan diganti Ketuhanan yang Maha Esa. Itu pada 18 Agustus. Siapa menentukan itu, Soekarno juga sebagai Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), wakilnya Hatta.
Jadi kalau dikatakan Pancasila itu hanya milik personlig dalam pengertian Pancasila sebagai dasar negara, itu tidak benar. Yang menjadi milik pribadi Soekarno itu hanya 1 Juni. Setelah itu menjadi milik bersama karena dirumuskan bersama-sama. Dan Soekarno menentukan disetujui atau tidak. Perubahan itu disetujui oleh Soekarno dalam posisi dia sebagai ketua dalam rapat itu. Lalu apanya yang mau dipertengkarkan. Tidak ada. Kalau ada yang bilang ada yang menciptakan Pancasila lain, tolong buktikan kepada saya.
Berarti Anda setuju dengan gelar pahlawan nasional bagi Soekarno dan Hatta selain sebagai pahlawan proklamasi?
Saya akhirnya setuju dengan catatan tadi. Argumentasi digunakan Jimly Assidiqi akhirnya saya terima. Saat kita rapat bersama, termasuk juga Asvi pada dasarnya setuju kok. Saya tidak tahu kenapa dalam acara di JakTV dia tiba-tiba tidak setuju. Saya dengar juga dia memberi wawancara pada media lain, dia bilang juga tidak setuju. Saya tidak tahu apa alasannya. Buktinya saat kami rapat di satu tempat bersama dengan Jimly, terus bersama Tohari, wakil ketua MPR, Asvi duduk di samping saya bicara setuju hal itu. Kalau wawancara di media lain dia bilang tidak setuju dengan itu atau melecehkan Soekarno dan Hatta berarti dia menjilat ludahnya sendiri.
Asvi setuju dalam rapat itu, tanya pada Jimly, tanya pada Tohari sebagai saksi dalam rapat itu. Apanya yang dilecehkan, tidak ada. Tadi malam saya merenung, mungkin ini adalah rekonsiliasi di antara kita. Oleh karena itu, ketika Asvi bilang belum selesai, saya bilang sudah selesai. Tidak ada lagi stigma bagi Soekarno. Perkara urusan Tap MPR itu tidak ada persoalan lagi. Bagi saya sudah selesai. Soekarno kembali sebagai pemimpin besar, pemimpin yang pernah merumuskan republik ini, pendiri republik ini, dan sebagai presiden pertama, dia utuh ada di situ. Dengan gelar pahlawan itu, Hatta juga demikian. Apa yang mau dipersoalkan. Tolong baca argumen saya kalau Anda tidak setuju.
Editor: Yudi Dwi Ardian
Sumber :
Definisi pahlawan perlu diubah
Wawancara Anhar Gonggong (1)
Sejarawan Anhar Gonggong. (merdeka.com/Islahuddin) |
Kementerian Sosial hingga tahun lalu mencatat 156 orang telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Jumlah itu akan terus bertambah, mengikuti perkembangan dan pengajuan tokoh-tokoh dianggap berjasa bagi tanah air.
Kementerian itu menyeleksi secara ketat terhadap nama diajukan buat mendapat gelar kehormatan itu. Mulai dari memeriksa semua dokumen, mengkaji, hingga membahas dalam waktu panjang.
Sejarawan Anhar Gonggong mengatakan gelar pahlawan tidak bisa diganggu gugat. Berikut petikan wawancaranya dengan Islahuddin dari merdeka.com saat ditemui di lantai I Gedung C, Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Kamis (8/11) siang.
Apa bangsa ini masih butuh dan akan terus menambah jumlah pahlawan nasional setiap tahun?
Tidak ada bangsa terbangun tanpa ada orang bersikap pahlawan.
Pahlawan sebagai sikap?
Makanya harus dipahami dulu apa itu pahlawan dan pemimpin. Selama ini saya menggunakan istilah dan definisi sangat sederhana. Bagi saya, pemimpin kemudian menjadi pahlawan adalah orang mampu melampaui dirinya.
Kalau dia tidak mampu melampaui dirinya, dia tidak akan menjadi pahlawan dan tidak bisa menjadi pemimpin. Bahkan dengan melampaui dirinya, sampai menyerahkan nyawanya pada tindakan tertentu kalau itu dianggap perlu.
Apakah harus pemimpin yang bisa menjadi pahlawan?
Tidak selalu juga. Ada orang biasa bisa melakukan tindakan kepahlawanan. Apa bentuknya, saya punya contoh akan hal itu. Di Jawa Barat ada namanya Mak Orek, itu kalau tidak salah, saya lupa nama lengkapnya. Dia tidak mendapatkan penghargaan kalpataru. Tapi menurut saya, orang seperti ini bisa mendapatkan gelar pahlawan.
Bayangkan, di desanya ada banyak sawah tidak mendapatkan pengairan karena ada gunung yang menghalangi. Apa yang terjadi? Dia datang sendiri menggali gunung itu dan dia berhasil. Baru setelah dia berhasil banyak orang yang membantu. Akhirnya dengan apa yang dia lakukan, sekian ratus hektare lahan petani kering itu bisa dia tolong. Itu tindakan sangat besar dampaknya.
Nah, kalau dia mau enak saja, tidak mau melampaui dirinya, dia tidur saja. Laki-laki di tempatnya saja tidak ada yang mengerjakan itu. Masak, dia sebagai perempuan mau mengerjakan hal seperti itu?
Contoh lainnya, Soekarno dan Hatta, dua orang hebat. Sebenarnya ada lagi, Oemar Said Tjokroaminoto adalah hal yang sama. Tapi dua orang itu paling gampang atau dikenal di mata rakyat. Soekarno itu insinyur dalam usia muda, sedangkan Hatta adalah doktorandus, lulusan dari negeri Belanda. Waktu itu Hatta adalah doktorandus Indonesia pertama.
Anda bisa bayangkan kalau kedua tokoh ini ditawari pemerintah kolonial Belanda untuk bekerja. Diberikan fasilitas sesuai kemampuan dan gelarnya, tentu akan enak hidupnya. Tapi pertanyaannya, kenapa keduanya lebih bersedia masuk penjara daripada menerima kemewahan, itu saya sebut melampaui dirinya.
Kalau dia tidak bisa melampaui dirinya, dia akan bekerja dengan pemerintah kolonial dan mendapatkan hidup mewah. Pada zaman itu tidak banyak insinyur dan doktorandus, kalau pun ada pasti dibutuhkan. Tapi kenapa saat itu mereka melawan pemerintah kolonial dan masuk penjara. Mereka berdua punya idealisme, punya visi ke depan, dan mampu melampaui dirinya, itu pahlawan.
Bagaimana dengan tokoh-tokoh lain, bahkan jumlah pahlawan sekarang terus bertambah di Kementerian Sosial?
Iya, ada sekitar 180-an orang. Orang-orang itu juga mirip Soekarno, dalam artian saya, mereka mampu melampaui dirinya.
Berapa banyak lagi kita butuhkan kalau begitu?
Ini bukan persoalan berapa kita butuhkan. Saya tanya sama Anda, siapa memerlukan pahlawan itu? Siapa yang memerlukan nilai-nilai kepahlawanan ini?
Bahkan negara sampai perlu menentukan siapa patut diteladani?
Justru itu, teladan itu ada pada yang sudah mati, bukan yang masih hidup. Yang hidup itu mungkin dan masih bisa untuk berkhianat. Coba Anda lihat, ketika dia masih hidup apa yang dia kerjakan. Makanya ada kriteria, bagi mereka masih hidup akan dianggap berjasa dan diberikan sekadar penghargaan bintang republik kelas satu, dua, tiga, hingga seterusnya, dan lainnya. Nah itu bagi mereka yang masih hidup dan mereka juga masih memungkinkan bisa melakukan hal tercela. Tapi kalau dia meninggal, dia tidak bisa. Makanya, dia diberikan tempat lebih tinggi nilainya dengan gelar pahlawan nasional.
Berapa banyak kita butuhkan, itu bukan persoalan kebutuhan. Yang butuh keteladan adalah kita yang hidup. Soekarno sudah tidak ada urusannya lagi dengan gelar pahlawan nasional. Paling anak-anaknya bangga, itu kalau mereka bangga.
Terus bagaimana dengan tokoh-tokoh berjuang di daerah dan diajukan menjadi pahlawan oleh keluarga mereka?
Kalau memenuhi syarat kenapa tidak (Dibarengi dengan suara tinggi). Anda jangan menganggap republik ini hanya didirikan oleh orang Jawa. Anda jangan menganggap republik ini hanya didirikan oleh Soekarno-Hatta, tidak. Dalam proses meng-Indonesia semua orang ikut menyumbang. Saya selalu tolak kalau istilah pahlawan lokal. Dalam periode pergerakan nasional, kalau ada orang bekerja dan mendirikan partai di ujung Indonesia mana pun, itu menyebarkan keIndonesiaan. Dia tidak bisa sekadar pahlawan lokal. Dia bekerja di sana, di lokal itu, untuk kepentingan menegakkan republik. Soekarno juga bekerja di Jakarta, bekerja di Bandung, Surabaya, dia tidak segera menjadi Indonesia seperti itu. Melalui proses itu juga dan dalam proses itu dia meng-Indonesia-kan. Sama halnya dengan orang yang mendirikan partai di ujung Indonesia dan partai itu mempertahankan republik Indonesia. Kenapa Anda katakan berjuang untuk lokal. Yang dia perjuangkan Indonesia, bukan memperjuangkan lokalnya.
Sumpah pemuda itu orang lokal semua, Jong Java, Jong Celebes, dan lainnya, itu lokal semua. Akhirnya mereka meng-Indonesia dengan hasilnya Sumpah Pemuda itu Indonesia. Jadi kalau ada yang mengatakan partai lokal itu dan dia hanya disebut pejuang lokal, tidak benar. Logikanya salah.
Ayah saya memperjuangkan Republik Indonesia dan mati di Sulawesi Selatan. Dia pejuang nasional karena dia bela Republik Indonesia, orang yang dibunuh oleh Westerling di Sulawesi Selatan dan berjuang untuk Indonesia, bukan hanya untuk Sulawesi Selatan saja. Dia pejuang Republik Indonesia karena yang dia pertahankan di lokasi Sulawesi Selatan adalah menegakkan Republik Indonesia. Bagaimana argumentasi Anda yang disebut sebagai pejuang lokal itu?
Saya tidak menyebut pejuang lokal, tapi syarat pengajuannya sebagai pahlawan nasional?
Persyaratannya seperti itu. Salah satu tujuannya untuk menunjukkan lokal itu menjadi nasional. Dia berjuang di situ, dia juga mengorbankan dirinya, dia juga melampaui dirinya. Kalau ayah saya mau sekadar hidup untuk mempertahankan diri, dia hidup di kerajaan, sudah selesai. Tidak perlu dia berjuang untuk Indonesia, dia akan tetap hidup enak kok. Dia punya kerajaan kok.
Berarti setiap tahun akan terus bertambah tiada henti?
Iya, akan terus, tapi dengan suatu penilaian. Kemarin saya bertemu Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Dia bilang kepada saya dan saya setuju apa yang saya maksud. Saya juga sudah lama ingin memberitahu menteri tentang hal itu. Saya bilang begini, mari kita kembali membicarakan definisi pahlawan nasional, Kita pikirkan. Mari kita berdasarkan undang-undang yang ada. Mari kita definisikan lagi dan dia setuju.
Jadi akan terus ada, tapi dalam bentuk berbeda lagi. Tidak setiap orang meninggal lalu tiba-tiba diajukan menjadi pahlawan nasional. Harus ada pengendapan dulu. Jika Anda tahu untuk menentukan pahlawan nasional ini, melalui proses panjang. Bisa berbulan-bulan, kadang tim di Kementerian Sosial ini bisa membicarakan satu tokoh saja bisa sampai tiga hari. Semua dokumennya harus dibuka dan dengan membuka dokumen tidak dengan sendirinya langsung diterima pengajuannya, makanya banyak yang ditolak lamarannya. Lalu kalau tentara yang berpangkat jenderal akan langsung menjadi pahlawan nasional, belum tentu. Tidak dengan sendirinya seorang jenderal bisa menjadi pahlawan nasional. Kalau jenderal itu bisa dapat pangkat itu karena administrasi apa kehebatannya dia sebagai jenderal? Itu yang saya maksud.
Kita perlu bicara kembali apa definisi pahlawan, apa yang kita maksudkan, bagaimana, dan seterusnya. Ini supaya orang tidak bertengkar. Sebenarnya, karena kita butuh memang harus segera memikirkan itu kembali. Yang kita beri gelar pahlawan nasional itu sudah tidak ada urusan dengan dirinya, sudah mati kan? Tapi kenapa kita memberikan gelar, ada nilai dalam dirinya yang kita perlukan dalam konteks ketika kita masih hidup. Kita butuh kehebatan Soekarno, Hatta, untuk konteks kita sekarang. Kalau tidak, ngapain, Soekarno dan Hatta juga tidak butuh itu kok.
Pahlawan nasional itu tidak harus populer?
Tidak perlu. Asal kita tahu dia punya kapasitas untuk itu, kenapa kita tidak kasih.
Apakah ada aturan menyebut pencabutan gelar pahlawan nasional karena suatu hal?
Tidak boleh dicabut. Makanya kita berikan ini kepada orang sudah meninggal dan sudah dinilai betul, jadi tidak bisa dicabut. Itu persoalannya. Kalau bintang penghargaan itu bisa dicabut.
Bagaimana jika sudah diberi gelar tapi ada dokumen menyebut dia cacat, seperti Imam Bonjol dalam buku Tuanku Rao?
Tetap tidak bisa. Itu pendapat Tuanku Rao, belum tentu pendapat orang lain. Anda jangan menganggap itu kebenaran satu-satunya. Nah, hal-hal seperti itu bisa saja terjadi dan menjadi kontroversi dari sudut pandang tertentu.
Tapi dengan dokumen itu setidaknya ada pandangan berbeda dalam melihat seorang tokoh?
Tentang Soekarno saya berbeda kok dengan Asvi. Di mana kita hidup ini tanpa perbedaan pendapat. Ketika jelang proklamasi kemerdekaan juga terjadi perdebatan panjang. Menjadikan Soekarno dan Hatta sebagai proklamator ada perdebatan panjang dengan mereka. Ada malah yang menolak bilang, "Jangan, karena Soekarno itu kolaborator Jepang."
Biodata
Nama : Anhar Gonggong
Tempat/Tanggal Lahir: Pinrang, Sulawesi Selatan, 14 Agustus 1943
Pendidikan:
S-1: Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
S-2: Universitas Leiden, Belanda
S-3: Universitas Indonesia
Editor: Yudi Dwi Ardian
Sumber :
Langganan:
Postingan (Atom)
Tentang DaVinaNews.com
Davinanews.com
Diterbitkan oleh Da Vina Group
Davinanews.com adalah situs berita dan opini yang memiliki keunggulan pada kecepatan, ketepatan, kelengkapan, pemilihan isu yang tepat, dan penyajian yang memperhatikan hukum positif dan asas kepatutan
Davinanews.com memberikan kesempatan kepada para pembaca untuk berinteraksi. Pada setiap berita, pembaca bisa langsung memberikan tanggapan. Kami juga menyediakan topik-topik aktual bagi Anda untuk saling bertukar pandangan.
Davinanews.com menerima opini pembaca dengan panjang maksimal 5.000 karakter. Lengkapi dengan foto dan profil singkat (beserta link blog pribadi Anda). Silakan kirim ke email: news.davina@gmail.com.
Pengunjung
Terpopuler
- Inilah Daftar Lokasi Gestun Seluruh Indonesia
- Sesepuh PKS: Inilah Gaya Hidup Munafik Elit PKS
- Tokoh Masyarakat Galang Koin Untuk KPK
- Mobil Listrik Nasional Hemat Energi Hingga Dua Kali Lipat
- Inilah Alasan Mengapa Warga DKI Harus Memilih Jokowi Versi @TrioMacan2000
- Kronologi Pemukulan Versi @Triomacan2000
- Survey Terakhir: Jokowi Unggul di Pilkada DKI
- Inilah 3 Ide Usaha Sederhana yang Nyaris Tanpa Modal
- Inilah Rahasia Agar Cepat Hamil
- Akibat Candai Ahok, Lelucon Nara Jadi Bahan Ledekan di Social Media