Definisi pahlawan perlu diubah
Wawancara Anhar Gonggong (1)
Sejarawan Anhar Gonggong. (merdeka.com/Islahuddin) |
Kementerian Sosial hingga tahun lalu mencatat 156 orang telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Jumlah itu akan terus bertambah, mengikuti perkembangan dan pengajuan tokoh-tokoh dianggap berjasa bagi tanah air.
Kementerian itu menyeleksi secara ketat terhadap nama diajukan buat mendapat gelar kehormatan itu. Mulai dari memeriksa semua dokumen, mengkaji, hingga membahas dalam waktu panjang.
Sejarawan Anhar Gonggong mengatakan gelar pahlawan tidak bisa diganggu gugat. Berikut petikan wawancaranya dengan Islahuddin dari merdeka.com saat ditemui di lantai I Gedung C, Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Kamis (8/11) siang.
Apa bangsa ini masih butuh dan akan terus menambah jumlah pahlawan nasional setiap tahun?
Tidak ada bangsa terbangun tanpa ada orang bersikap pahlawan.
Pahlawan sebagai sikap?
Makanya harus dipahami dulu apa itu pahlawan dan pemimpin. Selama ini saya menggunakan istilah dan definisi sangat sederhana. Bagi saya, pemimpin kemudian menjadi pahlawan adalah orang mampu melampaui dirinya.
Kalau dia tidak mampu melampaui dirinya, dia tidak akan menjadi pahlawan dan tidak bisa menjadi pemimpin. Bahkan dengan melampaui dirinya, sampai menyerahkan nyawanya pada tindakan tertentu kalau itu dianggap perlu.
Apakah harus pemimpin yang bisa menjadi pahlawan?
Tidak selalu juga. Ada orang biasa bisa melakukan tindakan kepahlawanan. Apa bentuknya, saya punya contoh akan hal itu. Di Jawa Barat ada namanya Mak Orek, itu kalau tidak salah, saya lupa nama lengkapnya. Dia tidak mendapatkan penghargaan kalpataru. Tapi menurut saya, orang seperti ini bisa mendapatkan gelar pahlawan.
Bayangkan, di desanya ada banyak sawah tidak mendapatkan pengairan karena ada gunung yang menghalangi. Apa yang terjadi? Dia datang sendiri menggali gunung itu dan dia berhasil. Baru setelah dia berhasil banyak orang yang membantu. Akhirnya dengan apa yang dia lakukan, sekian ratus hektare lahan petani kering itu bisa dia tolong. Itu tindakan sangat besar dampaknya.
Nah, kalau dia mau enak saja, tidak mau melampaui dirinya, dia tidur saja. Laki-laki di tempatnya saja tidak ada yang mengerjakan itu. Masak, dia sebagai perempuan mau mengerjakan hal seperti itu?
Contoh lainnya, Soekarno dan Hatta, dua orang hebat. Sebenarnya ada lagi, Oemar Said Tjokroaminoto adalah hal yang sama. Tapi dua orang itu paling gampang atau dikenal di mata rakyat. Soekarno itu insinyur dalam usia muda, sedangkan Hatta adalah doktorandus, lulusan dari negeri Belanda. Waktu itu Hatta adalah doktorandus Indonesia pertama.
Anda bisa bayangkan kalau kedua tokoh ini ditawari pemerintah kolonial Belanda untuk bekerja. Diberikan fasilitas sesuai kemampuan dan gelarnya, tentu akan enak hidupnya. Tapi pertanyaannya, kenapa keduanya lebih bersedia masuk penjara daripada menerima kemewahan, itu saya sebut melampaui dirinya.
Kalau dia tidak bisa melampaui dirinya, dia akan bekerja dengan pemerintah kolonial dan mendapatkan hidup mewah. Pada zaman itu tidak banyak insinyur dan doktorandus, kalau pun ada pasti dibutuhkan. Tapi kenapa saat itu mereka melawan pemerintah kolonial dan masuk penjara. Mereka berdua punya idealisme, punya visi ke depan, dan mampu melampaui dirinya, itu pahlawan.
Bagaimana dengan tokoh-tokoh lain, bahkan jumlah pahlawan sekarang terus bertambah di Kementerian Sosial?
Iya, ada sekitar 180-an orang. Orang-orang itu juga mirip Soekarno, dalam artian saya, mereka mampu melampaui dirinya.
Berapa banyak lagi kita butuhkan kalau begitu?
Ini bukan persoalan berapa kita butuhkan. Saya tanya sama Anda, siapa memerlukan pahlawan itu? Siapa yang memerlukan nilai-nilai kepahlawanan ini?
Bahkan negara sampai perlu menentukan siapa patut diteladani?
Justru itu, teladan itu ada pada yang sudah mati, bukan yang masih hidup. Yang hidup itu mungkin dan masih bisa untuk berkhianat. Coba Anda lihat, ketika dia masih hidup apa yang dia kerjakan. Makanya ada kriteria, bagi mereka masih hidup akan dianggap berjasa dan diberikan sekadar penghargaan bintang republik kelas satu, dua, tiga, hingga seterusnya, dan lainnya. Nah itu bagi mereka yang masih hidup dan mereka juga masih memungkinkan bisa melakukan hal tercela. Tapi kalau dia meninggal, dia tidak bisa. Makanya, dia diberikan tempat lebih tinggi nilainya dengan gelar pahlawan nasional.
Berapa banyak kita butuhkan, itu bukan persoalan kebutuhan. Yang butuh keteladan adalah kita yang hidup. Soekarno sudah tidak ada urusannya lagi dengan gelar pahlawan nasional. Paling anak-anaknya bangga, itu kalau mereka bangga.
Terus bagaimana dengan tokoh-tokoh berjuang di daerah dan diajukan menjadi pahlawan oleh keluarga mereka?
Kalau memenuhi syarat kenapa tidak (Dibarengi dengan suara tinggi). Anda jangan menganggap republik ini hanya didirikan oleh orang Jawa. Anda jangan menganggap republik ini hanya didirikan oleh Soekarno-Hatta, tidak. Dalam proses meng-Indonesia semua orang ikut menyumbang. Saya selalu tolak kalau istilah pahlawan lokal. Dalam periode pergerakan nasional, kalau ada orang bekerja dan mendirikan partai di ujung Indonesia mana pun, itu menyebarkan keIndonesiaan. Dia tidak bisa sekadar pahlawan lokal. Dia bekerja di sana, di lokal itu, untuk kepentingan menegakkan republik. Soekarno juga bekerja di Jakarta, bekerja di Bandung, Surabaya, dia tidak segera menjadi Indonesia seperti itu. Melalui proses itu juga dan dalam proses itu dia meng-Indonesia-kan. Sama halnya dengan orang yang mendirikan partai di ujung Indonesia dan partai itu mempertahankan republik Indonesia. Kenapa Anda katakan berjuang untuk lokal. Yang dia perjuangkan Indonesia, bukan memperjuangkan lokalnya.
Sumpah pemuda itu orang lokal semua, Jong Java, Jong Celebes, dan lainnya, itu lokal semua. Akhirnya mereka meng-Indonesia dengan hasilnya Sumpah Pemuda itu Indonesia. Jadi kalau ada yang mengatakan partai lokal itu dan dia hanya disebut pejuang lokal, tidak benar. Logikanya salah.
Ayah saya memperjuangkan Republik Indonesia dan mati di Sulawesi Selatan. Dia pejuang nasional karena dia bela Republik Indonesia, orang yang dibunuh oleh Westerling di Sulawesi Selatan dan berjuang untuk Indonesia, bukan hanya untuk Sulawesi Selatan saja. Dia pejuang Republik Indonesia karena yang dia pertahankan di lokasi Sulawesi Selatan adalah menegakkan Republik Indonesia. Bagaimana argumentasi Anda yang disebut sebagai pejuang lokal itu?
Saya tidak menyebut pejuang lokal, tapi syarat pengajuannya sebagai pahlawan nasional?
Persyaratannya seperti itu. Salah satu tujuannya untuk menunjukkan lokal itu menjadi nasional. Dia berjuang di situ, dia juga mengorbankan dirinya, dia juga melampaui dirinya. Kalau ayah saya mau sekadar hidup untuk mempertahankan diri, dia hidup di kerajaan, sudah selesai. Tidak perlu dia berjuang untuk Indonesia, dia akan tetap hidup enak kok. Dia punya kerajaan kok.
Berarti setiap tahun akan terus bertambah tiada henti?
Iya, akan terus, tapi dengan suatu penilaian. Kemarin saya bertemu Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Dia bilang kepada saya dan saya setuju apa yang saya maksud. Saya juga sudah lama ingin memberitahu menteri tentang hal itu. Saya bilang begini, mari kita kembali membicarakan definisi pahlawan nasional, Kita pikirkan. Mari kita berdasarkan undang-undang yang ada. Mari kita definisikan lagi dan dia setuju.
Jadi akan terus ada, tapi dalam bentuk berbeda lagi. Tidak setiap orang meninggal lalu tiba-tiba diajukan menjadi pahlawan nasional. Harus ada pengendapan dulu. Jika Anda tahu untuk menentukan pahlawan nasional ini, melalui proses panjang. Bisa berbulan-bulan, kadang tim di Kementerian Sosial ini bisa membicarakan satu tokoh saja bisa sampai tiga hari. Semua dokumennya harus dibuka dan dengan membuka dokumen tidak dengan sendirinya langsung diterima pengajuannya, makanya banyak yang ditolak lamarannya. Lalu kalau tentara yang berpangkat jenderal akan langsung menjadi pahlawan nasional, belum tentu. Tidak dengan sendirinya seorang jenderal bisa menjadi pahlawan nasional. Kalau jenderal itu bisa dapat pangkat itu karena administrasi apa kehebatannya dia sebagai jenderal? Itu yang saya maksud.
Kita perlu bicara kembali apa definisi pahlawan, apa yang kita maksudkan, bagaimana, dan seterusnya. Ini supaya orang tidak bertengkar. Sebenarnya, karena kita butuh memang harus segera memikirkan itu kembali. Yang kita beri gelar pahlawan nasional itu sudah tidak ada urusan dengan dirinya, sudah mati kan? Tapi kenapa kita memberikan gelar, ada nilai dalam dirinya yang kita perlukan dalam konteks ketika kita masih hidup. Kita butuh kehebatan Soekarno, Hatta, untuk konteks kita sekarang. Kalau tidak, ngapain, Soekarno dan Hatta juga tidak butuh itu kok.
Pahlawan nasional itu tidak harus populer?
Tidak perlu. Asal kita tahu dia punya kapasitas untuk itu, kenapa kita tidak kasih.
Apakah ada aturan menyebut pencabutan gelar pahlawan nasional karena suatu hal?
Tidak boleh dicabut. Makanya kita berikan ini kepada orang sudah meninggal dan sudah dinilai betul, jadi tidak bisa dicabut. Itu persoalannya. Kalau bintang penghargaan itu bisa dicabut.
Bagaimana jika sudah diberi gelar tapi ada dokumen menyebut dia cacat, seperti Imam Bonjol dalam buku Tuanku Rao?
Tetap tidak bisa. Itu pendapat Tuanku Rao, belum tentu pendapat orang lain. Anda jangan menganggap itu kebenaran satu-satunya. Nah, hal-hal seperti itu bisa saja terjadi dan menjadi kontroversi dari sudut pandang tertentu.
Tapi dengan dokumen itu setidaknya ada pandangan berbeda dalam melihat seorang tokoh?
Tentang Soekarno saya berbeda kok dengan Asvi. Di mana kita hidup ini tanpa perbedaan pendapat. Ketika jelang proklamasi kemerdekaan juga terjadi perdebatan panjang. Menjadikan Soekarno dan Hatta sebagai proklamator ada perdebatan panjang dengan mereka. Ada malah yang menolak bilang, "Jangan, karena Soekarno itu kolaborator Jepang."
Biodata
Nama : Anhar Gonggong
Tempat/Tanggal Lahir: Pinrang, Sulawesi Selatan, 14 Agustus 1943
Pendidikan:
S-1: Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
S-2: Universitas Leiden, Belanda
S-3: Universitas Indonesia
Editor: Yudi Dwi Ardian
Sumber :