Tigapuluh Sapi, Satu Sarjana
Ilustrasi sapi qurban laku seharga 165 juta @2012 Merdeka.com |
"Bagi peternak, sapi ibarat tabungan yang dapat segera diuangkan sewaktu-waktu."
- Ir H Iswandi
‘Tiga puluh ekor,’ kata Iwan Haji Umar di Desa Beru, Kecamatan Jereweh, Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Angka itu jumlah sapi yang ia jual untuk menjadikan sang anak seorang arsitek dari sebuah perguruan tinggi terkenal di Malang, Jawa Timur.
Iwan HU - yang sekarang masih memiliki 35 sapi - juga menjual ternaknya untuk membiayai sekolah seorang anak yang lain hingga kini menjadi perawat gigi di Denpasar, Bali. Sapi itu hasil ternakan sendiri yang digembalakan berbarengan di ladang penggembalaan bersama yang dikelola Kelompok Tani Ternak Lang Glampok.
‘Bagi peternak, sapi ibarat tabungan yang dapat segera diuangkan sewaktu-waktu,’ tutur Ir H Iswandi, kepala Biro Umum Sekretariat Daerah Provinsi NTB. Ucapan Iswandi benar adanya. Belasan anggota kelompok lain yang tergabung dalam Kelompok Tani Ternak Lang Glampok juga setali tiga uang seperti Iwan. ‘Kalau saya hendak beli tanah, tinggal hitung berapa jumlah sapi yang akan dijual,’ kata M Ali Uba, ketua kelompok yang memiliki 126 ekor dan tanah seluas 30 ha. Anggota lain, melamar calon istri, menikah, hingga membeli rumah juga dari menjual sapi. Pendek kata, apa pun kebutuhannya, sapi solusinya.
Gaya hidup
Maka harap maklum, memelihara sapi - jenis ras bali - sudah seperti gaya hidup di sana. Pantas bila di Pulau Sumbawa, pun Lombok, sapi mudah ditemukan di mana-mana. Di Sumbawa sapi masih dipelihara secara tradisional dengan cara digembalakan di padang-padang rumput atau savanna yang disebut lar atau so dalam bahasa Bima.
Tak jarang sapi dibiarkan berkeliaran hingga malam hari. Sehingga jangan heran bila berkendaraan di Sumbawa di malam hari orang-orang mengingatkan untuk berhati-hati supaya tidak menabrak sapi yang berdiri di tepi atau tiba-tiba menyeberangi jalan. Sementara di Lombok, pemeliharaan bersifat semiintensif, sapi diperlihara di dalam kandang.
‘Perbedaan cara pemeliharaan itu antara lain karena perbedaan ketersediaan lahan,’ kata Rahmadin dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Ternak Provinsi NTB. Lagi pula rata-rata kepemilikan sapi di Sumbawa mencapai ratusan ekor per orang, sementara di Lombok 1 - 2 ekor per orang, paling banyak belasan.
Pada 2010 populasi sapi tercatat mencapai 654.222 ekor di seluruh NTB. Sebaran terbanyak di Pulau Sumbawa (70%), sisanya di Pulau Lombok (30%). Pada 2014 populasi itu ditargetkan mencapai 1-juta ekor seperti yang dicanangkan dalam program NTB Bumi Sejuta Sapi (BSS). ‘Untuk KSB sendiri - Kabupaten Sumbawa Barat - salah satu sentra terbesar, red - target populasi sapi mencapai 45.000 ekor pada 2014. Namun, sepertinya sudah dapat dicapai pada tahun anggaran 2011,’ tutur Mansur Sofyan, sekretaris Dinas Kelautan, Perikanan, dan Peternakan KSB. Optimisme itu karena pada 2010 populasi teregistrasi sudah mencapai 40.000 sapi.
‘Kekurangan’ 5.000 ekor dapat segera dipenuhi dengan adanya dana stimulus melalui APBD sebesar Rp5-miliar untuk pengadaan 1.500 ekor, APBD murni sebesar Rp3-miliar untuk pengadaan 800 sapi, ditambah dengan penambahan 10% per tahun dari populasi yang ada.
‘Ekspor’ sapi
Menurut Iswandi gaya hidup beternak sapi sudah berlangsung sejak beratus tahun silam. Sebuah foto yang terpasang di dinding ruang tunggu kantor gubernur NTB setidaknya menunjukkan hal itu. Di situ terlihat seekor sapi tengah dikerek ke atas kapal menggunakan tali tambang. Pada teksnya tertulis ‘Pengiriman sapi ke luar Pulau Lombok melalui pelabuhan Ampenan membuktikan bahwa Lombok sejak 1831 sudah menjadi ‘pengekspor’ sapi.’ Dokumen-dokumen yang menjadi bukti tentang itu pun masih tersimpan di kantor pemprov NTB.
Jauh sebelum kendaraan tersedia untuk mengangkut ternak ke pasar, ada orang yang pekerjaannya khusus menuntun sapi. Setiap dusun punya orang kepercayaan yang menjalani pekerjaan itu. ‘Dia diupah harian dengan jam kerja mulai pagi hingga siang,’ tutur Iswandi. Maklum pasar ternak biasanya ramai setelah Zuhur. Hari pasar di setiap daerah berbeda. Misal di Kecamatan Masbagik, Kabupaten Lombok Timur, pasar ternak setiap senin.
Pada era 1970-an banyak pembeli beretnis Tionghoa datang langsung ke desa-desa mendatangi para makelar. Sapi lalu dibawa ke lokasi tertentu dan diperiksa. Jika tercapai kata sepakat, sapi dicap dan dibawa ke pelabuhan Ampenan untuk dikirim ke luar NTB.
Kebiasaan itu tidak berubah hingga sekarang karena memelihara menguntungkan. ‘Nilainya tidak pernah turun,’ kata Ir Nanang Sujatmiko, kasie Produksi dan Kesehatan Hewan, Dinas Kelautan, Perikanan, dan Peternakan, KSB. Dulu jika seorang peternak hendak berhaji, ia cukup menjual 5 sapi. Kini juga sama. ‘Kalau menjual padi, dengan jumlah sama paling sekarang biayanya baru cukup untuk sampai Jakarta saja,’ kata Nanang. Saking tingginya nilai ekonomis dan banyaknya populasi di Sumbawa, ada kelompok atau perorangan menghadiahkan 1 ekor untuk petugas vaksinasi setiap kali melakukan tugasnya.
Memelihara sapi juga bisa membuat nasib berubah. Ali semula hanya pekerja yang bertugas memelihara 2 sapi miliki orang lain. Sekarang - 21 tahun kemudian - pria yang tidak bisa baca tulis itu memiliki 126 ekor dan 30 ha lahan. Dengan menghitung harga sapi pedaging Rp5-juta per ekor saja ‘kekayaan’ Ali mencapai Rp600-juta. Artinya meski rata-rata peternak adalah juga petani padi sawah, dengan memelihara sapi saja penghasilan yang didapat sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. ‘Cukup jual 1 sapi, bisa untuk memenuhi kebutuhan makan setahun,’ kata Ali.
Kandang bersama
Belakangan untuk menghindari pencurian, sapi dipelihara di kandang komunal. Satu kandang komunal terdiri dari puluhan hingga ratusan ekor yang dimiliki oleh anggota kelompok tani ternak. Itu yang Trubus lihat di lahan penggembalaan di Kelompok Tani Ternak Lang Glampok.
Supaya menjamin rasa aman, lahan dikelilingi pagar tanaman. Sebagian arealnya dibatasi oleh sungai kecil yang dihubungkan jembatan kayu kecil. Total jenderal populasi sapi sebanyak 426 ekor. Di desa tetangga, Desa Mekar, Dusun Belo, Kecamatan Jereweh, Kabupaten Sumbawa Barat, terdapat kandang komunal dengan populasi lebih sedikit, hanya 60 ekor.
‘Dengan membentuk kelompok peternak juga diuntungkan karena mudah dalam mendapat pelayanan, misal dalam bentuk penyuluhan dan pemberian bantuan,’ tutur Nanang Sujatmiko. Sebagai contoh pada 2009 Kelompok Tani Ternak Lang Glampok mendapat bantuan unit embung senilai Rp50-juta yang dimanfaatkan sebagai penampungan air untuk cadangan minum ternak pada kemarau. Bantuan lain berupa paket jalan sepanjang 1,8 km senilai Rp100-juta yang mempermudah akses dari lokasi kandang ke jalan raya.
Sementara pada 2010 bantuan didapat dalam bentuk 1 unit sumur tanah dangkal, rumah kompos, kandang komunal, bak fermentasi, dan 35 ekor ternak senilai total Rp322.500.000. Dengan rumah kompos, peternak bisa memanfaatkan kotoran sapi untuk membuat pupuk kandang yang dapat dipakai sendiri atau dijual.
Dalam setiap kelompok terdapat awig-awig atau peraturan yang mengikat anggotanya. Misal di Kelompok Tani Ternak Lang Glampok setiap kali terjadi transaksi penjualan sapi si pemilik wajib menyetor sebanyak Rp500.000 per ekor untuk kas kelompok. Uang itu nantinya dimanfaatkan bersama untuk kegiatan pemeliharaan seperti perbaikan kandang dan pembelian tali pengikat. Toh itu tak seberapa dibanding jasa sapi ‘menyediakan’ dana sekolah, menikah, hingga membangun rumah untuk para pemiliknya.
KTP Sapi
Seperti warga masyarakat, sapi bali di Nusa Tenggara Barat perlu punya KTP. Bentuknya berupa kartu ternak sebagai bukti registrasi atau pendataan ternak. ‘Registrasi dibutuhkan untuk mendata jumlah ternak secara akurat,’ kata Rahmadin dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Ternak Provinsi NTB.
Harap mafhum di Pulau Sumbawa misalnya diduga jumlah populasi sapi yang ada lebih banyak daripada yang dilaporkan peternak. Musababnya banyak peternak yang paling hanya mendaftarkan setengah dari populasi yang dimiliki. Penyebabnya bermacam-macam, misal mesti mengeluarkan biaya pendaftaran atau sekadar malas menurunkan sapi dari ladang penggembalaan di gunung.
Harap mafhum di Pulau Sumbawa misalnya diduga jumlah populasi sapi yang ada lebih banyak daripada yang dilaporkan peternak. Musababnya banyak peternak yang paling hanya mendaftarkan setengah dari populasi yang dimiliki. Penyebabnya bermacam-macam, misal mesti mengeluarkan biaya pendaftaran atau sekadar malas menurunkan sapi dari ladang penggembalaan di gunung.
Padahal biaya registrasi murah hanya Rp3.000 per ekor, bahkan di Sumbawa sendiri sudah dibebaskan. Pendataan biasanya dilakukan di satu tempat yang sudah ditunjuk desa, dilakukan pada waktu tertentu. Berbarengan dengan itu juga ada pelayanan seperti vaksinasi dan penyuntikan. Kini kartu ternak kian penting karena, ‘Itu diwajibkan dalam jual-beli,’ imbuh Rahmadin. Jika sapi tidak ber-KTP maka orang enggan membeli karena khawatir itu barang curian.
Saat ini registrasi ternak sudah dilakukan di Sumbawa. Pendataan di Lombok lebih sulit dilakukan karena perputaran ternak lebih cepat. Total jenderal di seluruh NTB sudah teregistrasi 600.000 sapi.
Secara tradisional peternak sebetulnya juga sudah memberi ‘KTP’ pada ternaknya. Bentuknya berupa lonceng berbahan logam yang dikalungkan di leher sapi. Setiap peternak punya lonceng khas, baik bentuk dan - terutama - bunyinya. Itu membedakan sapinya dengan milik peternak lain.
Editor: Yudi Dwi Ardian
Sumber: Trubus
Sumber: Trubus