Inilah Pejabat yang Mengalahkan Jokowi
Bandingkan dengan pasangan Jokowi-Ahok yang pada putaran pertama DKI Jakarta meraih 42,6 persen dari total suara. Di putaran kedua, Jokowi cuma meraih 53,8 persen suara.
Herman adalah dokter biasa yang sudah bertugas selama 30 tahun. Setiap Jumat pagi, dia selalu bersepeda keliling Banjar. Minimal rutenya sejauh 35 kilometer. Kadang Herman mencari rute lain: jalan sempit, naik-turun, masuk-keluar desa. Bagi Herman, olahraga ini bukan sekadar menyalurkan hobi, tapi juga untuk melihat dari dekat perkembangan kota yang dipimpinnya. "Saya bisa tahu apa ada jalan yang sudah rusak. Kalau naik mobil, belum tentu terasa," ujar Herman.
Ditemui di acara penganugerahaan Tokoh Tempo 2012: Bukan Bupati Biasa di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Selasa, 12 Februari, Herman tampak santun dan merendah saat ditanya tentang resep keberhasilannya.
Ketika Banjar mandiri sebagai kota pada 2003, Herman, yang menjadi formatur pemekaran, terpilih memimpin wilayah tersebut. Harapan masyarakat terhadap daerah yang terletak di ujung tenggara Jawa Barat sekitar tiga jam perjalanan dari Bandung itu begitu besar. Berbekal pengalaman mengelola Ciamis, dia menyiapkan segudang rencana. Selain membangun infrastruktur kota, seperti pengembangan jalan dan jembatan, dia berfokus pada peningkatan layanan dasar, yaitu kesehatan dan pendidikan.
Di bidang pengajaran, sebelum pemerintah pusat mencanangkan program Bantuan Operasional Sekolah, Herman sudah mengembangkan proyek "Angka Prediksi Drop Out" pada 2004. Setiap anak yang dinilai tidak dapat bersekolah lantaran kekurangan biaya dibantu Rp 250 ribu per tahun. Itu untuk siswa sekolah menengah pertama. Buat murid sekolah menengah atas, bantuannya Rp 500 ribu per siswa. Bantuan itu mengalahkan bantuan DKI Jakarta yang cuma Rp 400 ribu per siswa SMA.
Kepala Seksi Pendidikan Menengah, Dinas Pendidikan, Asep Parjaman, mengatakan, siswa yang ingin menerima bantuan tinggal mengisi formulir. Data itu kemudian diajukan ke pemerintah kota untuk diseleksi. Begitu Wali Kota meneken surat keputusan, dana langsung dikirim ke rekening sekolah. Hingga tahun ini, sudah sekitar 8.000 siswa menikmatinya.
Untuk pelayanan kesehatan, Herman membebaskan biaya berobat puskesmas bagi mereka yang membawa kartu penduduk. Hal yang sama berlaku jika mereka berobat ke rumah sakit daerah. Bedanya, yang satu ini hanya diberlakukan bagi warga miskin. Setahun berjalan, ternyata tak banyak warga berobat ke puskesmas. Usut punya usut, tahulah Herman mengapa hal itu terjadi. "Puskesmasnya memang gratis, tapi perginya naik ojek. Itu berarti mereka harus membayar Rp 10-15 ribu," ujarnya.
Pak Dokter ini pun punya ide mendekatkan tempat layanan ke masyarakat. Dia membangun 42 pos kesehatan desa di 25 desa dan kelurahan. Setiap pos memiliki tenaga medis bidan dan perawat. Sedangkan dokter datang seminggu tiga kali. Puskesmas pun diperbanyak dari dua menjadi empat. Warga pun berduyun-duyun berobat. Indeks kepuasan masyarakat terhadap kesehatan terus naik. Rata-rata di atas 77 persen setiap tahun. "Di Banjar, yang susah itu uang. Kalau makanan, gampang."
Tangan Wali Kota Patah Karena Masuk Got
Tempo menobatkan tujuh kepala daerah sebagai Tokoh Tempo 2012. Mereka adalah tokoh-tokoh inspiratif yang bisa disebut sebagai "bukan bupati biasa". Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini adalah contohnya. Dia telah mengubah wajah Kota Surabaya bukan saja semakin cantik, tapi juga manusiawi.
Kerap pada pukul 02.00, Wali Kota ini telah keluar dari rumah dinasnya lalu masuk got untuk ikut menyapu atau mengambil sampah. "Tangan saya pernah sampai patah karena ambil sampah," kata Tri Rismaharani. "Masyarakat adalah tuan dan majikan saya."
Penderitaan itu tak seberapa. Tri juga aktif mengajak para wanita penghibur untuk mengambil profesi lain. Demi advokasi ini, Tri sering keluar-masuk lokalisasi. "Saya pernah juga ditawar orang," kata mantan Kepala Dinas Pertamanan Surabaya ini.
Saat menerima anugerah Tokoh Tempo 2012, Tri tergetar perasaannya. "Berdiri di sini baru berasa saya menjadi wali kota. Soalnya, nanti sore saya menjadi tukang sapu dan kembali masuk got," katanya.
Tokoh Tempo lainnya adalah Bupati Keerom, Papua, Yusuf Wally. Saat menerima piala Tokoh Tempo 2012, Yusuf sampai menangis. Acara penganugerahan yang berlangsung di Hotel Kartika Chandra Jakarta ini dihadiri oleh Wakil Presiden Boediono.
"Kalau di Jakarta penuh dengan kelimpahan, di Keerom saya sedih karena melihat warga tidur di depan kantor saya. Mereka jauh-jauh dari tapal batas membawa proposal pembangunan," katanya.
Dari kenyataan itulah akhirnya Yusuf membuat gerakan membagikan dana Rp 1 miliar untuk desa-desa miskin di tapal batas. Dana itu dipergunakan untuk membangun dan menghidupkan desanya.
Itu hanya sebagian kecil dari Tokoh Tempo 2012. Inilah daftar lengkapnya (urutan tak menunjukkan peringkat). Majalah Tempo edisi 9 Desember 2012 telah menurunkan laporan lengkap soal ini.
1. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharani
2. Wali Kota Banjar Herman Sutrisno
3. Wali Kota Sawahlunto Amran Nur
4. Wali Kota Wonosobo Abdul Kholiq Arif
5. Bupati Enrekang La Tinro La Tanurung
6. Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan
7. Bupati Keerom Yusuf Wally
Kerap pada pukul 02.00, Wali Kota ini telah keluar dari rumah dinasnya lalu masuk got untuk ikut menyapu atau mengambil sampah. "Tangan saya pernah sampai patah karena ambil sampah," kata Tri Rismaharani. "Masyarakat adalah tuan dan majikan saya."
Penderitaan itu tak seberapa. Tri juga aktif mengajak para wanita penghibur untuk mengambil profesi lain. Demi advokasi ini, Tri sering keluar-masuk lokalisasi. "Saya pernah juga ditawar orang," kata mantan Kepala Dinas Pertamanan Surabaya ini.
Saat menerima anugerah Tokoh Tempo 2012, Tri tergetar perasaannya. "Berdiri di sini baru berasa saya menjadi wali kota. Soalnya, nanti sore saya menjadi tukang sapu dan kembali masuk got," katanya.
Tokoh Tempo lainnya adalah Bupati Keerom, Papua, Yusuf Wally. Saat menerima piala Tokoh Tempo 2012, Yusuf sampai menangis. Acara penganugerahan yang berlangsung di Hotel Kartika Chandra Jakarta ini dihadiri oleh Wakil Presiden Boediono.
"Kalau di Jakarta penuh dengan kelimpahan, di Keerom saya sedih karena melihat warga tidur di depan kantor saya. Mereka jauh-jauh dari tapal batas membawa proposal pembangunan," katanya.
Dari kenyataan itulah akhirnya Yusuf membuat gerakan membagikan dana Rp 1 miliar untuk desa-desa miskin di tapal batas. Dana itu dipergunakan untuk membangun dan menghidupkan desanya.
Itu hanya sebagian kecil dari Tokoh Tempo 2012. Inilah daftar lengkapnya (urutan tak menunjukkan peringkat). Majalah Tempo edisi 9 Desember 2012 telah menurunkan laporan lengkap soal ini.
1. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharani
2. Wali Kota Banjar Herman Sutrisno
3. Wali Kota Sawahlunto Amran Nur
4. Wali Kota Wonosobo Abdul Kholiq Arif
5. Bupati Enrekang La Tinro La Tanurung
6. Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan
7. Bupati Keerom Yusuf Wally
Inilah Bupati Pilihan Tempo
Majalah Tempo edisi Senin, 10 Desember 2012, menetapkan tujuh kepala daerah pilihan. Tapi, bukan berarti pemimpin bagus dari 497 kota dan kabupaten di seluruh Republik hanya tersisa tujuh tokoh ini. Pasti masih ada kepala daerah cakap yang luput dari “radar” kami, walaupun jumlah yang lurus sekaligus berprestasi sangat terbatas.
Bahwa Bupati Garut Aceng Fikri tak masuk daftar, misalnya, bukan akibat nikah siri empat hari yang dilakoninya, melainkan berhubungan dengan kriteria hasil kerja yang tak mengesankan.
Tujuh kepala daerah terpilih tahun ini merupakan bagian dari stok yang sedikit: pemimpin dengan sejumlah inovasi untuk membangun masyarakatnya serta bebas dari korupsi--setidaknya sampai Tempomenurunkan laporan utama ini.
Era otonomi daerah sejak 1999, yang disempurnakan lima tahun kemudian dengan pemilihan langsung kepala daerah, membawa berkah sekaligus “musibah”. Berkah itu datang dari kedekatan “jarak” pemimpin dengan yang dipimpin, yang membuat penanganan masalah rakyat lebih cepat.
Pembangunan daerah semestinya bisa semakin bergegas lantaran pemimpin yang tumbuh dari masyarakatnya akan lebih gampang menggerakkan komunitas itu. Tapi “musibah” juga datang, terutama di daerah dengan kelas menengah yang belum bangkit. Sistem pengawasan yang lemah membuat korupsi tumbuh subur. Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat, 31 bupati dan wali kota menjadi terpidana korupsi sejak 2004.
Artinya, korupsi masih merupakan masalah akut otonomi daerah. Sangat jelas benang merah antara korupsi dan sejumlah indeks keberhasilan pembangunan. Daerah dengan pemimpin korup umumnya tak berhasil mencapai angka bagus pada berbagai indeks pembangunan, misalnya indeks pembangunan manusia atau indeks kesejahteraan rakyat.
Perkecualian hubungan antara korupsi dan sejumlah indeks tadi memang terjadi di satu-dua daerah yang benar-benar kaya sumber daya alam. Kutai Kartanegara merupakan satu contoh. Walaupun pemimpinnya di masa lalu sempat ditahan karena korupsi, berkat bahan tambang yang melimpah ruah, indeks pembangunan manusia tetap tinggi. Di daerah dengan sumber daya alam terbatas, atau sama sekali tak tersedia, korupsi segera akan terlihat dampaknya. Kemampuan daerah membuat terobosan, yang tentu memerlukan dana tak sedikit, akan sangat terbatas.
Yang menarik dari tujuh pemimpin pilihan ini, ada semacam kesamaan pandangan bahwa korupsi akan membuat pemimpin berjarak dengan masyarakatnya, dan akhirnya menyulitkan usaha menggalang dukungan rakyat. Para kepala daerah ini berkeyakinan bahwa hanya pemimpin bersih yang sanggup merebut hati rakyat untuk mendukung program kerja mereka.
Cerita Bupati Banjar Herman Sutrisno menjadi bukti. Pemimpin sebuah kabupaten di Jawa Barat ini tidak pernah membeli dukungan rakyat. Bupati yang juga dokter ini cukup bekerja keras memperbaiki tingkat kesehatan warga. Imbalan yang ia peroleh luar biasa: 94 persen rakyat Banjar memenangkannya untuk periode kedua.
Sikap antikorupsi saja tak cukup. Leadership kuat, yang diwujudkan dengan berani, sangat diperlukan untuk menangani beribu masalah di daerah. Sungguh beruntung, tujuh pemimpin pilihan ini mempunyai berbagai kelebihan. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, umpamanya, berani menolak pembangunan jalan tol yang membelah Kota Surabaya. Risma berkukuh menaikkan tarif papan reklame besar yang selama ini dianggapnya merusak keindahan kota, walaupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengancam mencopotnya.
Ada contoh lain. Yusuf Wally, Bupati Keerom--sebuah kabupaten di Papua yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini--berani meminta TNI mengurangi pasukan. Alasan Wally: ia tak ingin penduduk daerah rawan konflik itu terus-menerus menderita trauma lantaran “dikepung” pasukan dalam jumlah besar.
Kepemimpinan kuat ditunjukkan Wally ketika ia membuat kemeriahan di kantornya pada 1 Desember lalu, bertepatan dengan peringatan kemerdekaan Organisasi Papua Merdeka. Ia mendukung OPM? Tidak. Dia justru berupaya mengalihkan perhatian rakyat Keerom agar tidak melulu berpikir soal kemerdekaan OPM.
Leadership kuat, keberanian dalam mengimplementasikan program, serta konsistensi, merupakan kunci sukses tujuh kepala daerah pilihan ini. Tapi pemilihan langsung tak selalu menghasilkan pemimpin dengan kualitas seperti pendahulunya.
Maka, tantangan terbesar bagi para leader itu akan datang setelah mereka tak lagi menjabat. Tantangan itu adalah menjamin kelangsungan program yang sudah berhasil memperbaiki wajah daerah, yang bisa dilakukan umpamanya dengan membuat peraturan daerah yang kokoh. Mereka juga bisa menghidupkan partisipasi masyarakat untuk menjaga keberlanjutan programnya.
Barangkali tujuh pemimpin daerah pilihan Tempo 2012 ini belum mencapai kelas “The Magnificent Seven”--meminjam istilah dunia bulu tangkis untuk tujuh pendekar Indonesia 1970-an yang merajai pelbagai turnamen kelas dunia. Tapi mereka patut mendapat perhatian kita, terutama pada saat krisis kepemimpinan melanda Republik--seperti sekarang ini. Jika para kepala daerah ini konsisten menjaga prestasinya, mereka pantas kita calonkan sebagai pemimpin di level yang lebih tinggi. Selengkapnya, baca majalah Tempo.
Bahwa Bupati Garut Aceng Fikri tak masuk daftar, misalnya, bukan akibat nikah siri empat hari yang dilakoninya, melainkan berhubungan dengan kriteria hasil kerja yang tak mengesankan.
Tujuh kepala daerah terpilih tahun ini merupakan bagian dari stok yang sedikit: pemimpin dengan sejumlah inovasi untuk membangun masyarakatnya serta bebas dari korupsi--setidaknya sampai Tempomenurunkan laporan utama ini.
Era otonomi daerah sejak 1999, yang disempurnakan lima tahun kemudian dengan pemilihan langsung kepala daerah, membawa berkah sekaligus “musibah”. Berkah itu datang dari kedekatan “jarak” pemimpin dengan yang dipimpin, yang membuat penanganan masalah rakyat lebih cepat.
Pembangunan daerah semestinya bisa semakin bergegas lantaran pemimpin yang tumbuh dari masyarakatnya akan lebih gampang menggerakkan komunitas itu. Tapi “musibah” juga datang, terutama di daerah dengan kelas menengah yang belum bangkit. Sistem pengawasan yang lemah membuat korupsi tumbuh subur. Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat, 31 bupati dan wali kota menjadi terpidana korupsi sejak 2004.
Artinya, korupsi masih merupakan masalah akut otonomi daerah. Sangat jelas benang merah antara korupsi dan sejumlah indeks keberhasilan pembangunan. Daerah dengan pemimpin korup umumnya tak berhasil mencapai angka bagus pada berbagai indeks pembangunan, misalnya indeks pembangunan manusia atau indeks kesejahteraan rakyat.
Perkecualian hubungan antara korupsi dan sejumlah indeks tadi memang terjadi di satu-dua daerah yang benar-benar kaya sumber daya alam. Kutai Kartanegara merupakan satu contoh. Walaupun pemimpinnya di masa lalu sempat ditahan karena korupsi, berkat bahan tambang yang melimpah ruah, indeks pembangunan manusia tetap tinggi. Di daerah dengan sumber daya alam terbatas, atau sama sekali tak tersedia, korupsi segera akan terlihat dampaknya. Kemampuan daerah membuat terobosan, yang tentu memerlukan dana tak sedikit, akan sangat terbatas.
Yang menarik dari tujuh pemimpin pilihan ini, ada semacam kesamaan pandangan bahwa korupsi akan membuat pemimpin berjarak dengan masyarakatnya, dan akhirnya menyulitkan usaha menggalang dukungan rakyat. Para kepala daerah ini berkeyakinan bahwa hanya pemimpin bersih yang sanggup merebut hati rakyat untuk mendukung program kerja mereka.
Cerita Bupati Banjar Herman Sutrisno menjadi bukti. Pemimpin sebuah kabupaten di Jawa Barat ini tidak pernah membeli dukungan rakyat. Bupati yang juga dokter ini cukup bekerja keras memperbaiki tingkat kesehatan warga. Imbalan yang ia peroleh luar biasa: 94 persen rakyat Banjar memenangkannya untuk periode kedua.
Sikap antikorupsi saja tak cukup. Leadership kuat, yang diwujudkan dengan berani, sangat diperlukan untuk menangani beribu masalah di daerah. Sungguh beruntung, tujuh pemimpin pilihan ini mempunyai berbagai kelebihan. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, umpamanya, berani menolak pembangunan jalan tol yang membelah Kota Surabaya. Risma berkukuh menaikkan tarif papan reklame besar yang selama ini dianggapnya merusak keindahan kota, walaupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengancam mencopotnya.
Ada contoh lain. Yusuf Wally, Bupati Keerom--sebuah kabupaten di Papua yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini--berani meminta TNI mengurangi pasukan. Alasan Wally: ia tak ingin penduduk daerah rawan konflik itu terus-menerus menderita trauma lantaran “dikepung” pasukan dalam jumlah besar.
Kepemimpinan kuat ditunjukkan Wally ketika ia membuat kemeriahan di kantornya pada 1 Desember lalu, bertepatan dengan peringatan kemerdekaan Organisasi Papua Merdeka. Ia mendukung OPM? Tidak. Dia justru berupaya mengalihkan perhatian rakyat Keerom agar tidak melulu berpikir soal kemerdekaan OPM.
Leadership kuat, keberanian dalam mengimplementasikan program, serta konsistensi, merupakan kunci sukses tujuh kepala daerah pilihan ini. Tapi pemilihan langsung tak selalu menghasilkan pemimpin dengan kualitas seperti pendahulunya.
Maka, tantangan terbesar bagi para leader itu akan datang setelah mereka tak lagi menjabat. Tantangan itu adalah menjamin kelangsungan program yang sudah berhasil memperbaiki wajah daerah, yang bisa dilakukan umpamanya dengan membuat peraturan daerah yang kokoh. Mereka juga bisa menghidupkan partisipasi masyarakat untuk menjaga keberlanjutan programnya.
Barangkali tujuh pemimpin daerah pilihan Tempo 2012 ini belum mencapai kelas “The Magnificent Seven”--meminjam istilah dunia bulu tangkis untuk tujuh pendekar Indonesia 1970-an yang merajai pelbagai turnamen kelas dunia. Tapi mereka patut mendapat perhatian kita, terutama pada saat krisis kepemimpinan melanda Republik--seperti sekarang ini. Jika para kepala daerah ini konsisten menjaga prestasinya, mereka pantas kita calonkan sebagai pemimpin di level yang lebih tinggi. Selengkapnya, baca majalah Tempo.
[tempo]