Baca Ini Dulu, Sebelum Nyaleg 2014
Lambang DPR-RI. (Foto : dpr.go.id) |
Apalagi ketika kunjungan kerja ke daerah-daerah basah. Tidak jarang para wakil rakyat disodori amplop dengan isi ratusan juta rupiah, sebagai oleh-oleh. Berhadapan dengan rezeki nomplok ini, orang mudah tergoda jika tidak punya nurani yang teguh.
Terkadang apabila ada di antara teman sesama wakil rakyat yang menolak, malah ditertawakan dan diolok-olok sebagai “sok suci” oleh sesama anggota dewan yang sudah merasa terbiasa dengan aneka pendapatan di luar gaji dan tunjangan perjalanan tersebut.
Belum lagi keluhan beliau bahwa banyak anggota dewan yang memang tidak bisa berbuat apa-apa ketika duduk sebagai anggota dewan terkait 3 fungsi pokoknya sebagai wakil rakyat dalam hal penganggaran, legislasi, dan pengontrolan. Itu saja sebenarnya yang menjadi tugas utama legislatif. Namun, tidak semua yang duduk sebagai anggota legislatif menjalankan fungsinya dengan baik.
Menurut UUD 1945 dan UU No 27/2009 tentang MD3, DPR mempunyai tiga Fungsi Utama dalam menjalankan tugasnya yakni: legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Dalam menjalankan fungsi legislasi, UU merupakan produk DPR yang utama sebagai operasionalisasi kekuasaan legislatif.
Rupanya selama tiga tahun berjalan, DPR RI belum maksimal dalam menjalankan fungsinya yang pertama ini. Mengapa? Karena setiap ada RUU yang dihasilkan DPR RI selama ini hampir selalu dimentahkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, banyak dari antara UU yang dirancang, baik oleh pemerintah maupun atas inisiatif DPR yang tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat banyak.
Ada tiga faktor penyebab utama DPR RI tidak maksimal dalam fungsi yang pertama ini:
1). lemahnya pemahaman dan kesadaran konstitusional dari para anggota dewan berakibat dalam pembuatan undang-undang kurang memperhatikan kaidah-kaidah hukum. Karena memang banyak yang tidak paham hukum. Sudah tidak paham hukum, malah ogah untuk belajar. Hasilnya bisa diduga. UU yang dihasilkan pun selalu dimentahkan MK. Banyak Undang-undang yang kemudian saling tabrak dan tumpang tindih. Ini merupakan konsekuensi memilih wakil rakyat yang tidak punya dasar pemahaman hukum yang memadai serta malas belajar.
2). lebih banyak kepentingan politik dan bisnis yang diusung dalam proses pembuatan UU sehingga muncullah berbagai UU yang berbenturan dan tumpang tindih. Pertanyaannya anggota dewan itu wakil rakyat yang menyalurkan aspirasi rakyat ataukan aspirasi partai dan pengusaha? Pantas jika Undang-Undang yang dihasilkan pun tidak berpihak pada rakyat kecil. Ini resikonya ketika memilih wakil rakyat yang tidak pernah mulai hidup dari nol yang tidak pernah merasakan bagaimana susahnya menjadi rakyat kecil. Bisa jadi wakil rakyat kebanyakan adalah pengusaha/investor atau dulu dimodali oleh pengusaha ketika kempanye dengan deal-deal tertentu.
3). seringkali para anggota dewan lebih mengutamakan kepentingan politik jangka pendek dalam perumusan UU. Jelas bahwa penyebabnya karena wawasan wakil rakyat yang diusung “cekek” sehingga tidak bisa berpikir global, komprehensif dari berbagai sudut pandang untuk menghasilkan UU yang kredibel untuk jangka panjang.
Dalam bidang anggaran, justru banyak terjadi penyimpangan seperti disorot media selama ini. Selalu saja ada deal-deal tertentu dalam proses penetapan anggaran. Hal ini diperparah ketika beberapa anggota dewan juga terlibat dalam proyek-proyek di daerah. Mereka akan sibuk dalam mengerjakan proyek-proyek pribadi dari alokasi dana yang telah disepakati. Inilah repotnya ketika memilih wakil rakyat yang punya otak bisnis, yang menjadikan DPR sebagai “mata pencaharian” atau batu loncatan untuk mendapatkan proyek. Boro-boro kepentingan rakyat yang dipikirkan di benaknya. Yang ada hanyalah bagaimana memanfaatkan kesempatan untuk mengembalikan modal yang telah digelontorkan ketika kempanye.
Buntut semuanya ini adalah fungsi kontrol/pengawasan wakil rakyat kepada eksekutif malah diperlemah oleh ulah wakil rakyat sendiri. Proyek-proyek yang seharusnya ditangani oleh eksekutif, malah dikerjakan oleh anggota legislatif. Tidaklah mengherankan jika malah eksekutif yang balik mengawasi legislatif di tingkat operasional. Bukan lagi mereka menanyakan kepada eksekutif soal anggaran yang telah digelontorkan untuk jalan, jembatan, atau proyek lain, malah eksekutif yang balik bertanya apakah semua proyek itu sudah dikerjakan belum? Miriskan?
Itulah fakta yang dibuka oleh anggota dewan bersangkutan yang membuatnya kemudian memutuskan tidak akan maju lagi pada periode ini. Mengapa? DPR itu sudah sulit dibereskan. Orang bersih/suci/saleh sekalipun, jika masuk menjadi anggota dewan antara dua: stres karena mempertahankan idealisme atau hancur berantakan dibawa arus korup yang sangat kental di dalamnya!
Masih mau berani Menjadi Caleg 2014?
Anda Harus:
1. Mengerti hukum atau minimal mau belajar/kursus/ atau pelatihan tentang hukum dan perundangan biar bisa buat UU yang berpihak pada hajat hidup rakyat banyak/bukan hajat hidup partai dan pengusaha.
2. Memang menjadikan DPR bukan sebagai “mata pencaharian” tetapi benar-benar mau membela kepentingan rakyat. Bukan yang berotak bisnis dan bermental aji mumpung. Secara ekonomi sudah mapan, sehingga menjadi DPR sebagai “panggilan jiwa” untuk beramal. Berani untuk tidak mencari sponsor dari pengusaha pada masa kampanye.
3. Mengerti lika-liku birokrasi sehingga bisa mengontrol kinerja eksekutif. Jika tidak, maka saat sidang, anda hanya datang, duduk, dengar, diam, ngantuk, nonton film porno, pulang asalkan terima gaji dan “uang ngantuk” di ruangan. Mau omong apa kalau pemahamannya tidak ada?
4. Pernah mengalami apa artinya menjadi orang susah. Minimal tahu, bagaimana sih menjadi rakyat yang makan sekali sehari, berpakaian yang itu-itu saja dari tahun ke tahun, rumahnya bocor sana-sini, dll. Sehingga ketika berbicara dan membuat UU tidak asal!
Selamat Mencalonkan Diri!
[Fajar/Kompasiana]