FOMO "Fear of Missing Out" dan Crowd Leadership
Banyak penyakit psikologis yang berhubungan dengan masalah sosial yang timbul di alam modern atau digital ini, yang sebenarnya bukan penyakit baru. Narsisme, sebagai contoh sebuah 'penyakit sosial'. Dulu, ‘narsis’ diartikan sebagai gejala psikologis yang dihindari. Tetapi sekarang dari sisi yang berbeda, bisa dikatakan bahwa tanpa modal narsis, tidak mungkin seseorang bisa eksis.
Narsisme Sehat atau bisa disebut narsisme dalam koridor yang bisa ditoleransi secara positif, tidak berlebihan, tetapi tetap hasilkan eksposur yang diharapkan. Selebriti baru di dunia social yang bina personal brandnya dengan baik dan kemudian didaulat jadi endorser-buzzer hasilkan income lumayan.
Gejala masalah sosial atau psikologis lain yang juga bermetamorfosa di dunia baru, dunia digital ini disebut FOMO – ‘Fear of Missing Out’. Ini sebuah bentuk social anxiety, kegelisahan seseorang yg kuatir akan ketinggalan kesempatan untuk berinteraksi social dan tahu hal baru. Andrew K. Przybylski Ph.D. dalam studinya menemukan bhw FOMO adalah kondisi psikologis yang dialami oleh orang-orang yang selalu ingin dihargai. Gejala ini terasa percepatannya pada saat interaksi antar individu semakin mudah dan instant dengan bantuan teknologi.
Jadi, bila seseorang berada ‘berjauhan’ dengan gadget membuat seseorang tersebut menjadi anxiety, gelisah. Orang dengan gejala FOMO kuatir akan tertinggal berita menarik atau tertinggal cerita seputar kehidupan di social networknya. Lazim terjadi di orang-orang yang seolah sudah tidak bisa dilepaskan dari gadgetnya. Lebih baik tertinggal dompet daripada tertinggal gadget. Ini gambarkan tingkat ketergantungan yang hebat terhadap ‘what is going on’ di alam seputar network mereka yang sudah lekat di genggaman.
Seperti halnya narsis yang sebelumnya hanya negatif, FOMO bisa dilihat sebagai hal negatif bila dilihat dari satu sisi saja. Di alam modern seperti sekarang ini, kecintaan dan penghargaan ternyata disalurkan melalui media social seperti facebook, twitter, instagram dan path. Gejala FOMO justru aspek positif, merupakan sebuah kesempatan bagi brand yang ingin selalu ‘berdekatan’ dengan audiencenya. Dan fenomena FOMO ini yg harus dipelajari secara menyeluruh positif negatifnya dan dipergunakan secara positif untuk pemahaman Marketing communication atau marcom.
Fenomena FOMO bisa kita kaitkan dengan Pengelolaan Content ala Crowd sourcing. Seperti yang kita tau, content social media adalah segalanya. Sedemikian banyaknya Content produced by brand owner dan para user nya serta konsumen biasa, maka traffic jadi tinggi dan hectic. Tidak lagi semudah dulu untuk menarik perhatian audience, membaca content dari website brand, facebook brand bahkan twitter nya.
Kompetisi content semakin merajalela, luar biasa. Bagaimana menyikapinya?
Manfaatkan situasi FOMO dari audience secara positif sama artinya dengan melibatkannya secara aktif untuk isi content di media dan account brand. Secanggih apapun pengelola socmed brand – akan sangat lelah dan habis kreatifitasnya bila harus menjadi sumber satu-satunya content. Tingkat engagement di account social medianya brand akan rendah apabila hanya one-way interaction saja, boring.
Brand dan Pengelola Social Media Brand tidak lagi harus menjadi sosok yang tau segala-galanya tentang content. Saat ini berkembang Crowd sourcing, penggalangan pengetahuan dan diskusi dari berbagai sumber, expert di bidangnya dan audience bias memberikan space kepada mereka akan menghasilkan double benefit. Pertama, sumber berita menjadi tidak ada habis-habisnya. Engagement tinggi. Diskusi berjalan lancar. Kedua, content yang berasal dari Audience punyai daya tarik, tingkat confidence yang lebih tinggi, sebab bukan berasal dari pemilik brand.
Pengalaman konsumen yang dituangkan sebagai content sebuah Fan Page Facebook Brand, misalnya, berikan nilai tambah tersendiri bagi brand. Brand (melalui pengelola social media accoutnya) harus menjadi fasilitator interaksi antar audience. Di pasar yang bersaing ketat, kehidupan berkomunitas yang masih terasa kental, dan Brand harus punya peranan di dalam komunitas tersebut. Yang berkembang adalah group thought, dan ini difasilitasi melalui pengumpulan input dan content via Crowd Sourcing. Narasumber dari kalangan Expert bercerita dari sisi teknis dan keilmuan. Narasumber dari kalangan awam bercerita dari sisi User Experience. Bagi pembaca media, pengalaman pengguna justru kadang kala bernilai dibandingkan hanya dari ulasan-ulasan teknis keilmuan para expert.
User Experience merupakan modal utama ZMOT – Zero Moment of Truth. Pengalaman secara maya sebelum pengalaman interaksi langsung. Dgn perbanyak moment utk bercerita di facebook dan twitter, posting foto di Path dan Instagram, upload video di Youtube dan seterusnya. Dengan cerita-cerita seru, dan foto-foto yang seru-seru maka brand akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan "Crowd"nya.
Fear of Missing Out atau FOMO sebagai sebuah fenomena, mungkin bukan sesuatu yang baik jika berlebihan. Tetapi FOMO bila dikelola dengan baik, kegelisahan ini justru bisa menjadi kontributor terbesar di media yg disediakan oleh brand.
Narsisme Sehat atau bisa disebut narsisme dalam koridor yang bisa ditoleransi secara positif, tidak berlebihan, tetapi tetap hasilkan eksposur yang diharapkan. Selebriti baru di dunia social yang bina personal brandnya dengan baik dan kemudian didaulat jadi endorser-buzzer hasilkan income lumayan.
Gejala masalah sosial atau psikologis lain yang juga bermetamorfosa di dunia baru, dunia digital ini disebut FOMO – ‘Fear of Missing Out’. Ini sebuah bentuk social anxiety, kegelisahan seseorang yg kuatir akan ketinggalan kesempatan untuk berinteraksi social dan tahu hal baru. Andrew K. Przybylski Ph.D. dalam studinya menemukan bhw FOMO adalah kondisi psikologis yang dialami oleh orang-orang yang selalu ingin dihargai. Gejala ini terasa percepatannya pada saat interaksi antar individu semakin mudah dan instant dengan bantuan teknologi.
Jadi, bila seseorang berada ‘berjauhan’ dengan gadget membuat seseorang tersebut menjadi anxiety, gelisah. Orang dengan gejala FOMO kuatir akan tertinggal berita menarik atau tertinggal cerita seputar kehidupan di social networknya. Lazim terjadi di orang-orang yang seolah sudah tidak bisa dilepaskan dari gadgetnya. Lebih baik tertinggal dompet daripada tertinggal gadget. Ini gambarkan tingkat ketergantungan yang hebat terhadap ‘what is going on’ di alam seputar network mereka yang sudah lekat di genggaman.
Seperti halnya narsis yang sebelumnya hanya negatif, FOMO bisa dilihat sebagai hal negatif bila dilihat dari satu sisi saja. Di alam modern seperti sekarang ini, kecintaan dan penghargaan ternyata disalurkan melalui media social seperti facebook, twitter, instagram dan path. Gejala FOMO justru aspek positif, merupakan sebuah kesempatan bagi brand yang ingin selalu ‘berdekatan’ dengan audiencenya. Dan fenomena FOMO ini yg harus dipelajari secara menyeluruh positif negatifnya dan dipergunakan secara positif untuk pemahaman Marketing communication atau marcom.
Fenomena FOMO bisa kita kaitkan dengan Pengelolaan Content ala Crowd sourcing. Seperti yang kita tau, content social media adalah segalanya. Sedemikian banyaknya Content produced by brand owner dan para user nya serta konsumen biasa, maka traffic jadi tinggi dan hectic. Tidak lagi semudah dulu untuk menarik perhatian audience, membaca content dari website brand, facebook brand bahkan twitter nya.
Kompetisi content semakin merajalela, luar biasa. Bagaimana menyikapinya?
Manfaatkan situasi FOMO dari audience secara positif sama artinya dengan melibatkannya secara aktif untuk isi content di media dan account brand. Secanggih apapun pengelola socmed brand – akan sangat lelah dan habis kreatifitasnya bila harus menjadi sumber satu-satunya content. Tingkat engagement di account social medianya brand akan rendah apabila hanya one-way interaction saja, boring.
Brand dan Pengelola Social Media Brand tidak lagi harus menjadi sosok yang tau segala-galanya tentang content. Saat ini berkembang Crowd sourcing, penggalangan pengetahuan dan diskusi dari berbagai sumber, expert di bidangnya dan audience bias memberikan space kepada mereka akan menghasilkan double benefit. Pertama, sumber berita menjadi tidak ada habis-habisnya. Engagement tinggi. Diskusi berjalan lancar. Kedua, content yang berasal dari Audience punyai daya tarik, tingkat confidence yang lebih tinggi, sebab bukan berasal dari pemilik brand.
Pengalaman konsumen yang dituangkan sebagai content sebuah Fan Page Facebook Brand, misalnya, berikan nilai tambah tersendiri bagi brand. Brand (melalui pengelola social media accoutnya) harus menjadi fasilitator interaksi antar audience. Di pasar yang bersaing ketat, kehidupan berkomunitas yang masih terasa kental, dan Brand harus punya peranan di dalam komunitas tersebut. Yang berkembang adalah group thought, dan ini difasilitasi melalui pengumpulan input dan content via Crowd Sourcing. Narasumber dari kalangan Expert bercerita dari sisi teknis dan keilmuan. Narasumber dari kalangan awam bercerita dari sisi User Experience. Bagi pembaca media, pengalaman pengguna justru kadang kala bernilai dibandingkan hanya dari ulasan-ulasan teknis keilmuan para expert.
User Experience merupakan modal utama ZMOT – Zero Moment of Truth. Pengalaman secara maya sebelum pengalaman interaksi langsung. Dgn perbanyak moment utk bercerita di facebook dan twitter, posting foto di Path dan Instagram, upload video di Youtube dan seterusnya. Dengan cerita-cerita seru, dan foto-foto yang seru-seru maka brand akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan "Crowd"nya.
Fear of Missing Out atau FOMO sebagai sebuah fenomena, mungkin bukan sesuatu yang baik jika berlebihan. Tetapi FOMO bila dikelola dengan baik, kegelisahan ini justru bisa menjadi kontributor terbesar di media yg disediakan oleh brand.
Penulis : Amalia E Maulana @etnoamalia
Brand Consultant & Ethnographer - Agent of Change,
Director, ETNOMARK Consulting - Your Insights Partner