Dwifungsi Media ala Mobocrazy
ALLEN Ginsberg, penyair asal Amerika Serikat (AS) menyatakan, “Siapa yang berhasil menguasai media akan berhasil menguasai dunia.” Pesan itu sangat mendasar. Di era informasi sekarang ini nasib suatu bangsa tidak lagi ditentukan oleh canggihnya persenjataan, namun oleh kelompok pengusung informasi yang bernama media.
Mereka memang memiliki kemampuan membentuk opini untuk menggiring persepsi publik. William J Small dalam buku Political Power and The Press (1972) menggambarkan, media ibarat cermin di pagi hari.
Dengannya, seorang politikus bisa melihat diri sendiri melalui opini yang dikembangkan, ditolak atau diterima publik. Media dalam waktu singkat bisa melambungkan politikus atau malah sebaliknya menghempaskan mereka dalam jurang paling dalam.
Sejalan dengan itu, Douglas Kellner dalam buku Grand Theft 2000 menyoroti peran media dalam pemilihan presiden AS pada 2000. Menurutnya, media di negeri Paman Sam saat itu gagal menjalankan peran dalam kancah politik, terutama untuk bersikap sebagai nonpartisan. Media disebut tampil layaknya manajer kampanye salah satu kandidat.
Akibatnya, rakyat tidak memilih berdasarkan hati nurani tapi dipandu oleh media dan jajak pendapat yang tidak objektif. Matthew Robinson memaknai hal seperti itu sebagai bentuk Mobocrazy alias demokrasi ala mafia.
Bagaimana di negeri kita? Partai Nasional Demokrat (Nasdem) telah lolos verifikasi partai politik baru yang berhak mengikuti Pemilu 2014. Partai besutan Surya Paloh ini memenuhi syarat sebagai partai politik yang berbadan hukum.
Dengan begitu, pecahan Partai Golkar bertambah setelah pada Pemilu 2009 lahir Hanura dan Gerindra. Golkar boleh berbesar hati, meski pecah tapi pada pemilu lalu masih menempati urutan kedua. Mereka memperoleh 14,45 persen dengan mengantongi lebih dari 15,5 juta suara. Gerindra 4,46 persen atau mendapat 4,6 juta suara lebih dan Hanura 3,77 persen atau meraup sekitar 3,9 juta suara.
Sah-sah saja jika Golkar memandang sebelah mata kehadiran Nasdem. Pasalnya, pemicu kelahiran Nasdem bermula dari Munas Golkar di Pekanbaru yang dimenangi Aburizal Bakrie (Ical). Surya Paloh yang menjadi rival Ical merasa pemilihan ketua umum saat itu tidak fair sehingga memutuskan mendirikan Nasdem. Penjajakan dan sosialisasinya dimulai dari pendirian Ormas Nasional Demokrat.
Setelah resmi didirikan dan mendapat pengesahan dari Menkum dan HAM, partai itu terus berusaha eksis menampilkan diri di publik. Melalui Metro TV, stasiun televisi jaringan Media Group milik Paloh, Nasdem menampilkan iklan dengan versi berbeda-beda. Bergabungnya taipan media Harry Tanoe, pemilik MNC Group, di jajaran dewan pembina menambah gencarnya iklan itu di stasiun televisi milik MNC seperti MNC TV, RCTI, dan Global TV.
Tidak Etis
Satu yang menjadi pertanyaan, apa yang terjadi jika pemilik atau penguasa televisi sekaligus penguasa partai politik? Dilema ini menjadi pertanyaan bersama bagi Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan kalangan insan media saat diminta memberi masukan dalam rangka pembahasan RUU perubahan atas UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD di gedung parlemen, beberapa waktu lalu.
Berbagai lembaga itu menyatakan tidak etis dan tak elok jika penguasa media sekaligus penguasa parpol. Ini dwifungsi politikus di era demokrasi yang layak dicurigai publik.
Dengan jelas, Dewan Pers meminta penguasa media elektronik tak merangkap jabatan sebagai penguasa partai. Pilihan ini untuk mencegah pemberitaan yang hanya menyoroti kelompok tetentu saja.
Anggota DPR yang hadir seperti Ganjar Pranowo (PDIP), Nurul Arifin (Golkar), Totok Daryanto (PAN), Ramadhan Pohan (Demokrat), Ahmad Muzani (Gerindra), dan pimpinan sidang Arif Wibowo (PDIP) tak kuasa menyimpan kegelisahannya.
Mereka beranggapan pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran swasta berpotensi dimanfaatkan untuk menggiring opini publik. Dampak pemusatan kepemilikan itu akan lebih berbahaya lagi jika pemiliknya terafiliasi dengan partai politik tertentu.
Jika pemiliknya terafiliasi dengan partai politik akan mempengaruhi pemberitaan terkait event-event pemilu. Pemilik media kerap memanfaatkan lembaga penyiaran untuk kepentingan politiknya.
“Coba bayangkan kalau Surya Paloh, Aburizal Bakrie, dan Hary Tanoe berkoalisi? Akan seperti apa dampaknya? Jadi, hemat saya, Surya Paloh lebih baik menjual saja Metro TV. Ical dan Hary Tanoe juga lebih baik memilih menjadi politikus dengan menjual saham di media elektroniknya,” papar Bambang Harymurti mewakili insan media.
Dampak televisi sangat dahsyat, apalagi jika dimanfaatkan untuk kepentingan politik. “Sekali lagi, larangan ini khusus untuk media yang menggunakan frekuensi publik seperti televisi dan radio,” harapnya.
Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring dalam kesempatan itu meminta agar penyiaran dan frekuensi iklan di media elektronik tak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Pemilu harus mengedepankan kepentingan masyarakat luas.
Jika salah satu partai memanfaatkan media sebagai salah satu motor penggerak kepentingannya, bisa dikenai hukuman pidana. “Pemanfaatan media bisa dikenakan hukuman pidana,” terang Tifatul. (A Adib-80)