Kendaraan Politik Baru Dinasti Soeharto
Selasa, 31 Januari 2012 | 07:29
Sebuah partai baru dengan yakin mengusung ideologi Soeharto.
Sejumlah kalangan rupanya tidak pernah kapok mengusung para putra-putri mahkota Keluarga Cendana kembali ke panggung kekuasaan. Setelah Presiden kedua RI HM Soeharto lengser 21 Mei 1998 berkat kekuatan rakyat yang lelah ditindas otoritarianisme ala Orde Baru, masih saja ada kalangan yang mimpi mengembalikan era tersebut.
Belum lama ini, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, putra bungsu 'The Smiling General' itu saat Rakornas Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, Oktober 2009, digadang-gadang untuk meraih ketua umum partai yang menguasai setiap bidang Orde Baru itu.
Padahal, Tommy sudah sekian lama tidak aktif di partai yang juga dibesarkan oleh Bapaknya itu. Hasilnya pun mudah ditebak, pada akhirnya tidak ada satu pun pengurus daerah Golkar yang memilihnya.
Jauh sebelumnya, kakak tertua Tommy, Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut juga diseret-seret ke politik praktis. Ia sampai keluar dari Golkar dan ikut mendukung Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang dibentuk mantan KSAD dan Menteri Dalam Negeri R Hartono dan mantan Sekjen Partai Golkar Ari Mardjono.
Hasilnya? Elektabilitas partai yang sempat mengusung Tutut jadi calon presiden itu jeblok. Pemilu 2004 hanya menghasilkan dua kursi di DPR bagi kader PKPB. Nasib baik juga belum berpihak pada partai ini pada Pemilu 2009. Teuteup flop alias nol kursi di DPR pusat.
Berbekal romantisme Orde Baru dengan jargon 'Rindu Soeharto' dan dukungan logistik yang masih memadai untuk bertarung di politik membuat sejumlah kalangan masih yakin dengan kekuatan Keluarga Cendana.
Kendaraan politik baru disiapkan. Lagi-lagi Tommy Soeharto kembali diusung oleh partai baru bernama Nasional Republik (Nasrep). Kendati menurut Edy Waluyo, pendiri Partai Nasrep, putra bungsu Soeharto itu ikut menggagas pendirian partai itu. Tommy ditahbiskan sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Nasrep.
"Mas Tommy meminta agar Nasrep mengusung ekonomi kerakyatan. Perut rakyat Indonesia harus dipenuhi dulu," jelas Edy.
Pembangunanisme
Ideologi 'pembangunanisme' ala Soeharto mau diusung kembali dengan dalih rakyat kecewa dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono maupun pemerintahan di era reformasi yang tidak juga menyejahterakan rakyat.
Publik jangan sampai lupa, akar berbagai persoalan bangsa hari ini adalah warisan dari Orde Baru. Bagaimana Jenderal Soeharto merengkuh kekuasaan dari Presiden pertama RI Sukarno pada 1966 diawali tragedi politik Gerakan 1 Oktober (Gestok) 1965 yang berujung para pembantaian besar-besaran serta represi luar biasa terhadap kelompok pendukung Orde Lama.
Sejak itu, secara sosiologis, masyarakat Indonesia terbelah menjadi ekstrim kiri dengan cap eks Tapol serta ekstrim kanan dengan cap DI/TII.
Kemajemukan politik dan ideologi diberangus oleh Soeharto melalui asas tunggal, kebebasan ekspresi mahasiswa dipreteli melalui NKK/BKK, dan semua organisasi kemasyarakatan dibina langsung oleh kekuatan kekuasaan waktu itu.
Problem lahan yang memuncak akhir-akhir ini juga merupakan ekses dari keengganan Soeharto menerapkan UU Pokok 1/1960 tentang Agraria yang dinilai sarat sosialisme. Penggusuran lahan rakyat atas nama pembangunan terjadi di mana-mana di bawah kawalan aparat militer.
Rezim Orde Baru lebih mementingkan arus modal asing yang dimanjakan melalui UU 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing. Kekuasan kapitalis tersebut justru berkelindan dengan kroni-kroni Cendana dari kalangan birokrasi maupun pengusaha.
Sosiolog Jepang Yoshihara Kunio menyebut kondisi perekonomian Orde Baru sebagai erzats capitalism(kapitalisme semu). Para kroni dari kapitalis asing ini hanya sekadar pemburu rente, tidak membangun jalinan perekonomian rakyat. Mereka pun sulit meraih posisi strategis di pasar global karena sangat tergantung lisensi dari 'tuannya'.
Pemerintahan Soeharto juga tidak lupa mewarisi utang luar negeri US$150 miliar yang kini membengkak menjadi ribuan triliun rupiah. Artinya, anggaran negara ini terus menerus dibantu oleh utang dari para kreditur asing.
Total utang pemerintah pusat sampai dengan tahun 2010 mencapai Rp1.652 triliun, dengan utang luar negeri sebesar Rp592 triliun. Proporsi utang luar negeri pemerintah masih didominasi oleh tiga kreditor utama, yaitu: Jepang, ADB dan Bank Dunia dengan kontribusi mencapai 76% dari total utang luar negeri pemerintah saat ini.
Akuisisi
Partai Nasrep ini sebenarnya sudah mendaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum dan HAM). Belum tuntas proses verifikasi mereka mundur teratur 16 Desember 2011. Padahal, nama Tommy sudah dilambungkan untuk meraih dukungan massa di daerah-daerah.
Diduga kuat, mereka mundur karena tahu bakal susah menembus proses verifikasi Kemenkum dan HAM. Apa kiat mereka?
Saat Rapimnas I Partai Nasrep yang digelar di sebuah hotel mewah di Jakartya, tadi malam, Ketua Umum Partai Nasrep Jus Usman Sumanegara mengaku partainya mengakuisisi Partai Nurani Umat (PNU) dan Partai Serikat Indonesia (PSI) yang telah berbadan hukum sejak 2008 untuk memuluskan jalan mengikuti Pemilu 2014.
Jus Usman adalah mantan Sekjen Partai Hanura yang didirikan mantan Menhankam dan Panglima ABRI era Soeharto, Wiranto.
Yang menarik, Ketua Dewan Penasihat Partai Nasrep dijabat oleh mantan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Muchdi Pr. Selain orang kepercayaan mantan Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto ketika aktif di Gerindra, Muchdi juga merupakan mantan Deputi Kepala Badan Intelijen Negara dan Danjen Kopassus. Dia saat ini menjabat Wakil Ketua Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KBPII).
Muchdi sempat terganjal kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir. Namun dalam proses hukum dia dibebaskan karena dianggap tidak terlibat dalam perkara tersebut.
Kendati didukung oleh keluarga Cendana, politisi Orde Baru, dan purnawirawan jenderal, kalangan akademisi pesimistis atas kehadiran partai dengan bayang-bayang dinasti Soeharto tersebut.
Pengamat politik Universitas Gadjah Mada Hasrul Hanif meragukan Partai Nasional Republik (Nasrep) mampu meraih suara signifikan pada Pemilu 2014.
"Saya tidak yakin dengan mengusung Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto sebagai calon presiden dan meromantiskan Orde Baru, Partai Nasrep mampu meraih dukungan di akar rumput. Akan amat sulit dalam kondisi saat ini tanpa mesin politik yang mumpuni untuk meraih suara," katanya di Jakarta, kemarin.
Ia menilai, Partai Nasrep hanya mengandalkan nama yang cukup populer. Padahal, nama tersebut belum tentu menjadi pilihan.
"Tanpa infrastruktur yang kuat, sulit meraih suara dengan hanya mengandalkan nama," katanya.
Menurut dia, strategi dengan menggunakan nama yang populer juga dipakai oleh partai-partai kecil. Namun sejauh ini tidak menunjukkan kinerja yang mumpuni.
Karena itu, dia menyakini partai-partai kecil ataupun partai baru yang hanya mengandalkan nama akan berguguran dalam Pemilu 2014.
"Mereka mau tidak mau akan dipaksa oleh keadaan, menghilang atau akan melakukan konsolidasi, bergabung dengan partai lainnya," katanya.
Geliat Partai Nasrep belum selesai di sini. Mereka masih akan diuji oleh verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Apakah mereka layak atau tidak sebagai peserta Pemilu 2014.
Sumber:Antara