Foke Versus Prijanto, Menjelang Pilgub DKI
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo (Foke) bersama Prijanto
saat masih mesra. (sumber: Google)
|
“Demi memperoleh kekuasaan, mereka saling menjatuhkan. Jangan-jangan mereka melupakan tugasnya sebagai pimpinan daerah.”
Pada 12 Desember 2011, Prijanto, pensiunan jenderal TNI bintang dua yang saat itu masih menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta, meluncurkan buku berjudul 'Andaikan... Aku Anda atau Gubernur Kepala Daerah'.
Dalam buku setebal 308 halaman itu, Prijanto berkisah bagaimana seharusnya seorang gubernur.
Buku yang kata sambutannya ditulis Jusuf Kalla dan AM Hendropriyono itu, pada bagian penutupnya terdapat komentar para tokoh politik seperti Jenderal (Purn) Wiranto, Laode Ida, Anies Baswedan, Din Syamsuddin, J Kristiadi, dan banyak lainnya.
"Yang perlu dilakukan gubernur pertama kali adalah membangun kepercayaan bahwa gubernur milik rakyat. Gubernur harus mampu mengajak seluruh masyarakat untuk bersatu padu membangun wilayah. Gubernur harus menyatakan dia milik rakyat, bukan milik golongan pemenang pemilukada saja," tulis Prijanto.
Menurut Prijanto, sosok ideal seorang gubernur adalah di samping bicara langsung dengan rakyat, juga tidak boleh lupa membangun komunikasi politik dengan para pimpinan dan tokoh politik yang kurang beruntung.
Soal isi buku ini, dalam wawancara setelah menyatakan mundur, beberapa kali Prijanto menyebut semuanya dia tuangkan di buku ini.
Isi buku itulah yang disebut Ketua Solidaritas Nasional Antikorupsi dan Antimakelar Kasus (Senat Markus), Yurisman, dijadikan bahan dasar untuk melaporkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena terdapat dugaan korupsi pada anggaran Pemprov.
Dua Buku dan Soal Kekuasaan
Pada 26 Januari 2012, dalam buku lain setebal 124 halaman berjudul "Kenapa Saya Mundur dari Wagub DKI Jakarta", Prijanto membeberkan salah satu alasannya mengundurkan diri sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Alasannya adalah konflik antara dia dengan Fauzi Bowo.
Dalam buku itu, Prijanto bercerita, salah satunya, soal acara Coffee Morning antara pimpinan Pemprov DKI dengan pimpinan DPRD DKI Jakarta periode 2008 di Balaikota.
Pada pukul 3 dinihari, sebelum acara itu, Prijanto meminta waktu untuk memaparkan sebuah presentasi.
Sudah siap-siap melakukan presentasi menjelang acara dimulai, Prijanto dilapori Kepala Biro KDH, yang menyatakan Gubernur melarang Prijanto bicara dalam acara itu.
Prijanto kesal karena tak diberi kesempatan.
Dan kasus coffee morning itu hanyalah puncak dari gunung es.
Sebelumnya, dua hari setelah mengumumkan pengunduran dirinya, Prijanto mengungkapkan alasannya mengajukan pengunduran diri sebagai pendamping Fauzi Bowo,
Prijanto menangis saat mengemukakan alasannya.
"Saya mundur demi kebaikan bersama," kata Prijanto saat ditemui di rumahnya, Minggu (25/12/2011).
Menurut Prijanto, dia dan Foke pada dasarnya satu visi, namun berbeda dalam implementasi penerapan di lapangan.
Gubernurnye Siape?
Ketika dikonfirmasi wartawan, apakah Prijanto mundur karena kecewa banyak idenya ditolaknya, Gubernur DKI Jakarta menjawab, "Lho, gubernurnye siape?
Jadi, agak jelas soalnya.
Konflik terjadi karena pembagian peran antara gubernur dengan wakilnya tidak jelas.
Atau, sebenarnya sudah jelas: setahun setelah bersama-sama memenangkan Pilkada DKI Jakarta pada 2007 lalu, Prijanto mulai dipinggirkan oleh Foke.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, misalnya, mengakui sudah lama melihat hubungan Foke dan Prijanto tidak harmonis.
"Kalau saja bisa mengorek dari pejabat dan pegawai di Pemprov DKI, tentang sikap-sikap Gubernur Fauzi Bowo yang mengucilkan Prijanto dari fungsi kepemimpinan wagub DKI sejak tahun 2008, pastilah orang akan membenarkan keputusan mundur Prijanto dan balik mengecam Fauzi Bowo," kata Andrinof (27/12/ 2011).
Menurut Andrinof, salah satu contohnya, saat Fauzi Bowo berhalangan membuka sebuah acara dan Prijanto hadir pada acara itu, Foke tidak melimpahkan tugas membuka acara dan memberi sambutan kepada Prijanto, tetapi kepada Sekda atau salah satu Deputi Gubernur.
Bukan Kasus Khusus
Apapun, ternyata, keutuhan pasangan pejabat daerah, tercatat sangat rawan dalam mengelola pemerintahan daerah, setelah berhasil memenangkan Pilkada.
Data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat hanya 6,15 persen pasangan kepala daerah hasil pemilihan pada 2010 dan 2011 yang tetap berpasangan pada Pilkada periode selanjutnya.
Sedemikian besar presentase pasangan kepala daerah yang pecah kongsi, sampai-sampai dianggap sebagai fenomena wajar dalam dinamika Pilkada.
"Dari 244 Pemilu Kada pada 2010 dan 67 pada 2011, hampir 94 persen diantaranya pecah kongsi. Kemesraannya cepat berlalu." kata Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri, Reydonnyzar Moenoek.
Jadi pertikaian yang terus melebar antara Foke dengan Prijanto, sebenarnya bukan kasus khusus.
Pertikaian makin dilebarkan, karena tahun ini Pilkada DKI Jakarta akan diselenggarakan lagi, Foke akan mencalonkan diri kembali, dan Prijanto diduga akan mencalon diri sebagai gubernur.
Perang kembang Foke versus Prijanto hanyalah introduksi menuju Pilkada.
Bagaimana pun, perseteruan dua pimpinan DKI itu jelas cuma menyakiti hati warga Jakarta.
“Demi memperoleh kekuasaan, mereka saling menjatuhkan. Jangan-jangan mereka melupakan tugasnya sebagai pimpinan daerah,” kata pengamat politik UI, Arbi Sanit.
Saling menjatuhkan tanpa memperhatikan etika politik santun memang sering terjadi, kata Arbi, namun bila pembangunan di ibukota terbengkalai, berarti kepemimpinan keduanya bisa dinilai tidak serius.
Penulis: Didit Sidarta