Kecanduan Terhadap Apple yang Tak Kunjung Sembuh
Bicara tentang iPad, sejak peluncurannya pada April 2010, iPad telah menjadi ancaman utama dalam segmen tablet PC. Dengan deskripsi barang yang sebagai berikut: sebuah alat audio-visual meliputi buku, majalah, jurnal, buletin, musik, permainan dan juga halaman web.
Menurut saya, iPad belum tepat untuk disebut tablet PC. iPad tidak mampu menjalankan sebagian besar program-program-seperti layaknya iOs, kapasitas memori yang kecil, prosesor yang hanya sebatas rata-rata dan konektivitas yang lamban.
Dan menurut hemat saya, iPad berada di antara ponsel pintar dan tablet PC. Tapi tentu saja iPad tidak dapat digunakan untuk membuat ataupun menerima panggilan telepon. Namun pemakai iPad merasa bahwa iPad saat bermanfaat dalam masa perkembangan media sosial saat ini. Dan tak lupa, perkembangan dari buku dan surat kabar digital.
Tapi sungguh, yang saya ingat dari pengalaman pertama saya menggunakan iPad, yang bisa saya lakukan hanya bermain Angry Birds atau Cut the Ropes. Menyenangkan, memang. Namun saya merasa sangat bosan akhirnya.
Yang menjadi teka-teki bagi saya, tentu saja, saya masih belum paham mengapa orang mengeluarkan uang untuk membeli iPad. Saya tidak bisa membayangkan untuk membawa “buku” berukuran 9.7 inci dengan berat 730 gram ke mana-mana. Saya bukan orang yang seperti itu. Memang begitu adanya saya. Mea Culpa.
Meskipun banyak kekurangan dalam hal kemampuan iPad menjalankan program, dalam hal penjualan, iPad (dan produk lain dengan logo Apple) menunjukkan hal yang luar biasa. Sejak peluncurannya, Apple telah menjual hampir 14.8 juta iPad di seluruh dunia sepanjang tahun 2010.
Dan dalam waktu hampir setahun setelah berbagai macam ulasan dan liputan tentang peluncuran iPad, adiknya iPad2 telah dipamerkan ke seluruh dunia pada Maret 2011. Ayolah, product update dalam waktu kurang dari setahun? Itu yang ada pada pikiran saya ketika mendengar tentang rencana rilis iPad 2: orang tidak akan membelinya.
Namun saya benar-benar salah. Penjualan iPad2 pada akhir minggu peluncuran pertamanya, berhasil memecahkan rekor penjualan sebelumnya, mengalahkan penjualan iPad 1.
Tapi hingga saat ini, saya tidak dapat mengemukakan argumen yang mampu menentang kenyataan bahwa iPad telah merebut pasar yang besar. Dan karena saya ingin mengetahui apa yang terjadi di balik fenomena iPad ini, saya mencoba menganalisis melalui skema siklus bisnis. Ada tiga tahap dalam siklus bisnis, dan yang pertama adalah tahap akumulatif (Accumulative Phase).
Pada tahap akumulatif, konsumen yang paham dan peka teknologi lebih dulu menggunakan iPad, mereka terkenal dengan sebutan penggila teknologi ataupun kutu buku. Setelah tahap akumulatif, ada tahap keturutsertaan (Participation Phase). Ketika konsumen yang tidak tahu apa-apa juga masuk ke dalam ingar bingar teknologi ini, mereka adalah pengikut (Follower), seperti halnya mayoritas konsumen di negara dengan mayoritas GDP ada pada faktor konsumsi, alias negara dengan penduduk konsumtif seperti negara kita.
Alasan di balik kemunculan dari tahap keturutsertaan ini adalah tahap setelah pada penggila teknologi telah melakukan sesi trial and error, mereka menjadi sadar akan teknologi tersebut dan turut membeli barang tersebut agar tidak menjadi ‘ketinggalan zaman’.
Tahap ini ditunjukkan dengan adanya lonjakan tajam pada jumlah penjualan iPad pada suatu periode. Pada tahap ini, lebih banyak orang akan ikut serta hingga pada tahap redistribusi (Redistribution Phase). Pada tahap redistribusi, para pengikut sudah jemu akan iPad dan butuh hal lain yang lebih menarik, atau kasarnya, mereka butuh pemicu ego yang baru.
Anehnya, meskipun perputaran inovasi produk cukup tinggi, demam ‘Apple’ tidak menunjukkan tanda-tanda akan menurun. Salah satu kunci dari bisnis yang sukses dan bertahan lama adalah perlambatan. Ya, perlambatan, Anda tidak salah baca.
Perlambatan yang saya maksud di sini adalah perlambatan pada inovasi. Melambatkan inovasi produk adalah untuk memanjangkan usia siklus produk tersebut. Berikan ruang dan waktu bagi konsumen untuk mencerna apa yang terjadi. Nah, inilah hal yang aneh pada fenomena Apple. Hari ini dijual iPad 2, kemudian keesokan harinya dijual iPad 3, mereka akan tetap membelinya.
Demam tahan lama inilah yang selalu dicari oleh setiap perusahaan atau pelaku bisnis. Satu hal yang terpikir oleh saya, itu adalah nilai dari kreasi produk. Dan itulah hal yang selama ini dibangun oleh Steve Jobs dan ditinggalkan sebagai sebuah warisan.
Sebut saja Porter Model, dari model tersebut terdapat Power of Customers, signifikansi dari konsumen untuk produk tersebut menentukan kekuatan kompetitif perusahaan di suatu industri.
Pada industri komputer baik hardware maupun software, preferensi konsumen akan cepat berpindah ke barang substitusi lain atas suatu produk tertentu ketika terjadi pergeseran teknologi. Sangat sensitif sekali, ketika ada produk baru dan teknologi baru maka konsumen akan memilihnya.
Aspek yang menjaga kesetiaan konsumen adalah persepsi konsumen atas produk tersebut, apakah hanya murni komoditas atau merupakan suatu refleksi pencitraan atau lifestyle. Nah, di poin inilah produk-produk Apple leluasa memainkan kreativitasnya. Persepsi akan merek tertentu – dalam hal ini Apple – yang menciptakan semacam “Cult” dan budaya. Inilah yang membuat konsumen merasa produk Apple menjadi bagian dari kehidupan mereka, bukan hanya barang elektronik belaka.
Tapi sungguh, sekadar menyarankan, apabila Anda bukan seorang komuter yang sibuk bekerja setiap harinya dan tetap harus membaca perkembangan berita, atau mengoperasikan dokumen Power Point atau Excel, tak perlulah memiliki iPad. Yah, sisi baiknya orang-orang konsumtif seperti Anda yang membeli setiap produk baru Apple tanpa melihat fungsinyalah yang akan merangsang pertumbuhan perekonomian kita. Cheers!