Satu Kursi Pesawat Kepresidenan Sebanding Dua Bangunan SD
Koordinator Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) Mustar Bonaventura menyatakan sangat menyesalkan langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diam saja ketika hampir Rp 1 triliun uang negara dihabiskan untuk beli pesawat kepresidenan.
SBY diminta untuk merefleksikan keputusan membeli pesawat baru dan membandingkannya dengan keadaan miris siswa sekolah dasar di Indonesia.
"Pembelian pesawat kepresidenan dengan harga yang luar biasa mahal ini tentu menyakiti rasa keadilan Rakyat Indonesia yang saat ini sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan," kata Mustar dalam siaran persnya di Jakarta, hari ini.
Sebagai perbandingan, total interior pesawat kepresidenan yang dibeli Rp 41 Miliar hanya untuk sistem keamanan saja. Tambahan Rp 243 miliar dihabiskan khusus disain interior.
Menurutnya, jika diasumsikan ada 100 kursi di dalam pesawat itu, maka harga rata-rata tiap kursi senilai Rp 2 miliar. Sementara Rp 43 miliar lainnya untuk tempat tidur, toilet, meja, televisi, dapur, dan tangga.
"Harga kursi Rp 2 miliar itu setara dengan membuat 2 sekolah dasar permanen dengan 6 ruang kelas dan satu ruang guru, satu ruang kepala sekolah dan satu lapangan voli atau badminton," jelas Mustar.
Dia menambahkan, jika satu kelas rata-rata berisi 40 siswa maka setiap SD itu bisa menyekolahkan 240 siswa. Tapi jika kegiatan sekolah di buat 2 kali dalam 1 hari yaitu pagi dan siang maka tiap SD bisa menampung 480 siswa atau 960 siswa untuk 2 SD.
Dengan demikian jika seluruh biaya kursi itu di gunakan untuk membangun SD maka ada 9600 anak yang bisa bersekolah. Jika tiap bangunan bertahan rata-rata 10 tahun maka dengan harga 100 kursi pesawat Presiden bisa menyekolahkan 96.000 siswa.
"Keputusan membeli pesawat kepresidenan ini ironi di saat Indonesia masuk peringkat 5 terbesar di dunia dalam jumlah balita kurang gizi. Saat ini tercatat 900 ribu balita demikian. Pesawat Kepresidenan itu merupakan keputusan tanpa akal dan nurani," tegasnya.
Mustar mengatakan pihaknya juga mendesak SBY membandingkan keputusannya dengan keputusan Soekarno ketika dibelikan oleh masyarakat Aceh sebuah pesawat Seulawah 001.
Namun Soekarno berbeda, katanya, dimana pesawat tidak digunakan untuk pesawat kepresidenan namun hanya menjadi pesawat perintis untuk membuka wilayah Sumatera.
"Alasannya tentu mulia, daripada menghabiskan uang negara untuk pemborosan, lebih baik digunakan untuk mendapat pemasukan buat negara dan demi rakyat," tandasnya.