Digitalisasi Televisi Rugikan Kepentingan Publik
Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mencabut Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22 tahun 2011. Peraturan yang mengatur migrasi TV analog ke TV digital dianggap lebih mengutamakan kepentingan konglomerasi media daripada publik.
Helmy Fauzi anggota Komisi I dari Fraksi PDI-P, dalam diskusi digitalisasi televisi hari ini mengatakan peraturan ini berpotensi menimbulkan penyimpangan berupa penguasaan frekuensi siaran yang merupakan aset publik, oleh kelompok pemilik media yang terpusat hanya pada orang-orang tertentu saja.
“Kami akan sesegara mungkin meminta Kemkominfo untuk mencabut peraturan tersebut,” ujar Helmy menambahkan selama ini sudah banyak dugaan proses yang tidak jelas dalam pemberian frekuensi dan lisensi siaran pada kelompok penguasa media tertentu.
Rencana migrasi ke digital ini merupakan bagian dari rencana global yang telah ditetapkan oleh International Telecommunication Union (ITU) pada tahun 2006 melalui The Geneva Frequency Plan Agreement dengan batas waktu 17 Juni 2015 bagi negara-negara di seluruh dunia untuk migrasi dari sistem siaran analog ke digital, namun mengingat luasnya wilayah Indonesia, migrasi total ke sistem digital di Indonesia diundur hingga tahun 2018.
Helmy mengatakan bahwa dengan pola kepemilikan televisi sekarang ini, sudah terlihat adanya kecenderungan untuk membentuk kartel media sudah ada.
“Jangan sampai mereka menunggangi Kemkominfo. Infrastruktur penyiaran [frekuensi] sebaiknya tetap dikuasai oleh negara dan jangan sampai dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu,” tambahnya.
Struktur penyelenggaraan televisi digital nantinya Indonesia akan terbagi dalam 15 zona layanan penyiaran multipleksing, atau penyelenggara siaran dengan transmisi dua program atau lebih pada satu saluran di saat yang bersamaan.
Setiap zona hanya akan memiliki enam penyiaran multipleksing sebagai pemegang hak penggunaan frekuensi, yang masing-masing dapat menampung hingga 12 frekuensi siaran dimana stasiun televisi dapat mentransmisikan siarannya.
Sistem digital dikritik karena lebih menguntungkan stasiun televisi swasta karena sebagai pemegang hak penggunaan frekuensi siaran multipleks dapat menguasai semua spektrum kanal yang terdapat di dalamnya.
“Kita tidak keberatan dengan digitalisasi televisi, itu adalah keniscayaan tapi proses tendernya akan membuka ruang untuk monopoli frekuensi karena tidak ada batasan zona,” ujar Helmy.