Ceritaku: Aku dan Anak-anak Munir Tak Henti Menuntut
Siang kelam pukul 14.00 tanggal 07 September 2004. Hari yang tak pernah kulupa. Saat telepon rumah berdering. Di seberang telepon Usman Hamid mengabarkan. "Mbak lagi di mana?," kata Usman di ujung telepon. Aku sadar ada sesuatu yang tak beres tapi aku masih menimpali. "Ya di rumah, wong kamu telepon ke rumah," kataku.
"Sudah dengar kabar tentang Cak Munir?"," kata Usman dengan suara parau gemetar. Kujawab belum, seharusnya jam segini Munir telepon atau SMS tapi sampai sekarang belum. "Cak Munir meninggal," kata Usman melanjutkan.
Bak disambar petir di siang bolong aku kaget bukan kepalang. Suara parau Usman itu dalam sekejap mengalir lewat aliran konduktor telepon membuat kedua kakiku lemas. "Ya Allah cobaan apa yang hendak kau berikan" begitu pikiranku bekerja.
Sebelum menutup telepon Usman berjanji datang ke rumahku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku berusaha menggecek ke beberapa teman. Dan kesimpulannya sama: Munir telah meninggal.
“Kenapa Abah dibunuh, Bu?” Mulut mungil itu tiba-tiba bersuara bak palu godam menghantam ulu hatiku. Gadis kecilku, Diva Suukyi, saat itu masih 2 tahun, menatap penuh harap. Menuntut penjelasan. Suaraku mendadak menghilang. Airmataku jatuh. Sungguh, seandainya boleh memilih, aku akan pergi jauh. Tak kuasa aku menatap mata tanpa dosa yang menuntut jawaban itu.
Seolah tahu lidah ibunya kelu, Diva memelukku. Tangan kecilnya melingkari tubuhku. ”Ibu jangan menangis…Jangan sedih,” kata-kata itu terus mengiang di telingaku. Aku dan dua anakku, Alif Allende (saat itu 6 tahun) dan Diva Suukyi (2 tahun) dipaksa kehilangan suami dan ayah mereka.
Melalui jalan yang berliku dan menguras emosi, akhirnya 12 November 2004 terbukti kalau Munir meninggal secara tidak wajar. Ia dibunuh! Dalam otopsi terbukti dengan gamblang bahwa kematian Munir adalah lantaran racun arsenik. Racun itu ditemukan di lambung, urine, dan darahnya.
Siapa pembunuh Munir? Mengapa tega meracun Munir? Inikah cara komplotan yang merasa dirugikan oleh aktivitas Munir dalam membela hak azasi manusia. Munir menghabiskan hidupnya dengan membela buruh, aktivis korban penculikan 1997-1998, berteriak lantang di Aceh, Papua, Ambon dan dimana saja. Keberanian dan sikap kritisnya terhadap penguasa telah dibayar mahal oleh nyawanya sendiri, aku, anak-anakku dan keluarga yang ditinggalkannya.
Aku seperti tersudut di ruang gelap. Menemukan jejak pembunuh Munir tidaklah mudah. Beruntung sahabat-sahabat Munir yang tergabung Kasum (Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir) berusaha mengungkap kasus ini.
Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun sepakat untuk meminta pemerintah membentuk tim independen kasus Munir. DPR juga mendesak pemerintah segera menyerahkan hasil autopsi kepada keluarga almarhum. Pada November 2004, DPR membentuk tim pencari fakta untuk mengusut kasus pembunuhan Munir.
Aku dan sahabat Munir bertemu dengan Presiden Yudhoyono pada 24 November 2004. Dan satu bulan kemudian tepatnya tanggal 23 Desember 2004 Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden untuk pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Munir yang dipimpin oleh Brigjen pol. Marsudi Hanafi. Ada harapan bagi aku, anak-anakku dan sahabat Munir pada tim ini.
Di segala zaman Tuhan selalu berpihak pada kebenaran! Ketika TPF mulai bekerja aku teringat sebuah nama yang dua hari sebelum Munir ke Belanda menelpon ke rumah. Dia adalah Polly. Polly menanyakan jadwal keberangkatan suamiku dan dia mau mengajak berangkat bersama. Kebetulan waktu itu aku yang menerima telepon itu.
Jika tidak, barangkali aku tidak akan pernah tahu keberadaan Polly. Munir mengatakan Polly adalah orang aneh dan sok akrab. “Dia itu orang tidak dikenal tapi tiba-tiba menitipkan surat untuk diposkan di bandara setempat ketika aku hendak ke Swiss,” begitu kata Munir
Pollycarpus nama yang kelak di kemudian hari adalah pilot Garuda yang terbukti meracun Munir. Dalam persidangan di PN Jakarta Pusat, terungkap Polly adalah orang yang mempunyai hubungan khusus Mayor Jenderal TNI Muchdi PR, Deputi V Badan Intelijen Negara. Polly disebut sebagai agen non organik BIN yang langsung berada di bawah kendali Muchdi. Berkas dakwaan tersebut juga menyebut adanya pembunuhan berencana terhadap Munir.
Fakta persidangan yang sedemikian jelas, termasuk sambungan telepon intensif paling tidak 41 kali hubungan telepon antara Muchdi dan Polly yang terjadi menjelang, saat dan sesudah tanggal kematian Munir. Bisa diduga, keduanya berhubungan terkait dengan perencanaan, eksekusi, dan pembersihan jejak.
Namun pengadilan di MA malah hanya menghukum Polly dua tahun penjara. Polly hanya dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan surat tugas dari Direktur Utama Garuda Indra Setiawan, bukan pembunuhan.
Aku terpukul dua kali: kehilangan Munir dan kehilangan rasa keadilan. Bahkan hingga hari ini setelah vonis putusan pengadilan kasasi pada tanggal 25 Januari 2008 Polycarpus dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun atas dakwaan pembunuhan berencana dan pemalsuan surat tugas, keadilan masih belum bisa menemukan jejaring laba-laba para pembunuh Munir.
Polly hanyalah tukang eksekusi, namun pembunuhan Munir melibatkan nama-nama lain yang hingga kini tak bisa disentuh. Polly bukan orang yang secara sistematis menggunakan kekuasaan dan kewenangan dalam melakukan pembunuhan ini.
Apa yang kurang jelas dari persidangan kasus Munir. Polly adalah agen non organik BIN dengan surat tugas yang ditandatangani oleh Wakil Kepala BIN As'ad Said Ali. Orang yang bersangkutan kini menjabat Wakil Ketua Umum PBNU. Ormas Islam yang sangat disegani saat dipimpin Gus Dur, orang yang dekat dengan Munir. Pada saat itu Kepala BIN dijabat oleh Hendropriyono –sosok yang selama ini sangat dekat dengan berbagai kasus yang diadvokasi almarhum.
Surat As'ad ini semestinya menjadi petunjuk bahwa rencana pembunuhan Munir melibatkan para petinggi BIN, bukan hanya Muchdi, tapi juga Hendropriyono. Apalagi, sesuai pengakuan agen BIN Ucok alias Empi alias Raden Patma dalam persidangan Peninjauan Kembali, Deputi II Manunggal Maladi dan IV Johannes Wahyu Saronto BIN juga diduga terlibat
Otak pembunuh Munir hingga delapan tahun sesudahnya masih gelap.
Anak-anakku yang kini sudah beranjak besar selalu kuberi semangat. Anak-anakku harus menikmati hidup. "Sampai sekarang anak-anakku bahagia. Anak yang ekepresif untuk ukuran seusia mereka," kataku jika bercerita pada teman-teman.
Aku besarkan mereka dengan kedua tanganku. Beban sebagai kepala keluarga kujalani dengan menjadi pekerja paruh waktu di sejumlah LSM. Sambil terus menuntut keadilan, aku membuka tokok kecil-kecilan di Karang Ploso Batu Malang. Toko itu kuberi nama "The Ploso". Jika diplesetkan dengan bahasa Jawa Timuran artinya: ndik Ploso (di Ploso). Aku jual aneka souvenir, penganan khas Jawa Timur seperti keripik kentang, keripik buah dan lainnya.
Tak usah ditanya cukup atau tidak penghasilanku untuk membesarkan mereka. Cukup atau tidak tergantung cara memandang. "Selama aku hidup bersama Cak Munir hidup kami tidak neko-neko". Penghasilan menjadi tidak cukup kalau foya-foya. Tapi uang sedikit kalau digunakan yang prioritas bisa cukup.
"Bahagia itu di pikiran dan hati," kataku menyemangati diri sendiri. Siapa lagi yang menyemangati jika bukan diriku sendiri, keluarga dan teman-teman. Keluargaku sering berkata, "jika itu benar jalankan terus untuk menuntut kebenaran". Mereka menyemangatiku untuk tak pernah henti bersuara. Munir telah bersemayam di Batu sejak 12 September 2004.
Munir yang lantang membela hak azasi manusia itu tidak akan pernah mampu lagi membela haknya sendiri. Menjadi kewajibanku, anak-anakku, keluargaku dan sahabat Munir untuk membelanya. Mengungkap dalang dan jejaring pembunuh Munir bukan sekedar membela Munir, namun membela kemanusiaan. Hingga detik ini aku tak pernah membunuh harapan akan terbitnya keadilan.
Harapan itu harus kita jaga agar tidak patah arang. Saat kejahatan terus diproduksi: ibu-ibu yang anaknya hilang, suaminya dibunuh. rumah dan ladang digusur, tugas kita menjaga harapan. Supaya tidak ada orang lain yang mengalami nasib seperti kita. Harapan berjalan beriringan dengan matahari yang terbit di timur dan tenggelam di ufuk barat.
Allende dan Diva, kita telah kehilangan suami dan abahmu, tapi kita tidak kehilangan semangat menegakkan keadilan.