Ichsanuddin Tuding Asing di Balik Kenaikan BBM
Asing mendesak Indonesia meninggalkan subsidi dan lebih fokus kepada program memenuhi target pertumbuhan ekonomi jangka menengah sekaligus mengurangi kemiskinan.
Pasca pengajuan APBN-Perubahan yang mencakup kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), pemerintah dan DPR didesak untuk memilih tunduk kepada perintah konstitusi atau pihak asing.
"Dengan melepaskan bidang energi yang merupakan hajat hidup orang banyak kepada mekanisme pasar, maka itu bertentangan dengan konstitusi," tutur pengamat ekonomi pembangunan, Ichsanuddin Noorsy, dalam keterangan persnya di Jakarta, hari ini.
Dia mengatakan, kenaikan BBM tak sesuai dengan pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945 yang menetapkan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara, dan kekayaan alam digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
"Sementara di sisi lain, pemerintah sudah terikat program reformasi sektor energi yang dijanjikan kepada IMF melalui letter of intent, kepada USAID, Bank Dunia dan ADB melalui loan agreement," kata dia.
Sebagai informasi, kata Ichsanuddin, Sekjen OECD Angel Guria, pada 1 November 2010 saat menjumpai petinggi Indonesia, menyatakan sudah saatnya Indonesia meninggalkan mekanisme subsidi yang tidak efisien, terutama subsidi energi.
Indonesia didesak lebih fokus kepada program untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi jangka menengah sekaligus mengurangi kemiskinan. Alasannya, Guria menegaskan, dengan pertumbuhan ekonomi ketiga tertinggi di G-20, Indonesia layak memenuhi komitmennya untuk mencabut subsidi BBM.
"Jadi sekarang mau tunduk kepada keinginan asing atau aturan Konstitusi? Silahkan Pemerintah dan DPR memilih," tegasnya.
Padahal, lanjutnya, di tengah rencana mengurangi subsidi BBM yang saat ini sekitar Rp 120-an trilliun per tahun, pembayaran bunga utang Indonesia pertahunnya sudah Rp 170-an trilliun. Utang itu berasal dari beban bunga penjualan obligasi yang lebih tinggi dibanding BI Rate.
Bahkan untuk Global Mutual Fund bermata uang dolar AS, obligasi pemerintah dijual dengan imbal hasil 10,5 persen untuk tenor lima tahun dan 11,75 persen untuk tenor 10 tahun. Di saat yang sama Federal rate AS hanya 0,25 persen.
"Bayangkan, siapa sebenarnya yang sedang disubsidi pemerintah melalui penjualan obligasi seperti ini. Mana yang lebih besar, mensubsidi bangsa sendiri melalui harga BBM atau mensubsidi orang-orang kaya karena imbal hasil obligasi yang saking tingginya?" tandas dia.
Dia meminta, pemerintah dan DPR menghitung ulang uang pajak masyarakat. "Efek ganda kebijakan seperti itu adalah tersulutnya sumbu keresahan sosial politik," tutur Ichsanuddin.
Ichsanuddin juga menjelaskan, usulan kenaikan harga BBM merupakan kesalahan pemerintah dan DPR menetapkan target harga minyak internasional dan nilai tukar. Akibatnya, pemerintah keluar dari opsi awal mempertahankan kuota subsidi sebanyak 40 juta kilo liter (KL), dan dari jumlah itu 2,5 juta kilo liter tidak dicairkan.
Menurut dia, hal ini menjadi masalah ketika pemerintah menerapkan harga pasar, namun di sisi lain pemerintah tidak menerapkan strategi bagaimana masyarakat mempunyai pendapatan pasar. Akibatnya, kenaikan harga BBM dan harga barang tak diikuti kenaikan pendapatan masyarakat.