Rapat Konsultasi Pemerintah dan DPR Dead Lock
Agenda krusial bagi pemerintah adalah mengegolkan agar DPR mencabut subsidi BBM dan menambah subsidi tarif dasar listrik (TDL). Pemerintah beralasan, kondisi eksternal membuat kondisi APBN-P 2012
Pasalnya, DPR sudah memasang kuda-kuda untuk menolak permintaan pemerintah tersebut.
Ini tergambar dalam rapat konsultasi antara pimpinan DPR dengan Menteri Keuangan Agus Martawardojo dan Menteri ESDM Jero Wacik berlangsung alot di DPR, Kamis (22/3).
Agenda konsultasi itu adalah permintaan pemerintah kepada DPR agar menarik dana cadangan risiko fiskal untuk mengantisipasi subsidi listrik yang membengkak sebesar Rp26,6 triliun.
Akan tetapi DPR tetap menginginkan subsidi listrik sesuai dengan kesepakatan di Komisi VII DPR sebesar Rp64,9 triliun.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo menuturkan pemerintah membawa penawaran cadangan risiko fiskal sebesar Rp26,6 triliun ke rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR setelah melakukan rapat konsultasi dengan pimpinan DPR.
"Kami siap bahas RAPBN dengan Banggar. Kami masih akan bicara di Banggar karena semua komisi terwakili dan untuk itu diharapka dalam waktu sesuai terjadwal bisa diselesaikan pembahasan," ujar Agus seusai rapat konsultasi dengan DPR RI di Jakarta, Kamis (22/3) malam.
Agus menuturkan, cadangan risiko fiskal nanti bisa dilakukan bukan hanya untuk menambal subsidi listrik tapi juga risiko pembengkakan Indonesia Crude Price (ICP), lifting minyak mentah, dan juga risiko jika volume konsumsi BBM lebih dari 30 juta kiloliter. Namun, cadangan risiko fiskal untuk listrik dibutuhkan sebesar Rp26,6 triliun.
Ketua Komisi VII DPR Effendi Simbolon menuturkan rapat konsultasi tersebut tidak menemui kesimpulan. Pasalnya pemerintah meminta cadangan risiko fiskal untuk subsidi PLN sekitar Rp 26 triliun.
Padahal berdasarkan kesepakatan di Komisi VII, pengajuan tambahan subsidi listrik pada RAPBN-P 2012 hanya sebesar Rp24,52 triliun.
"Itu kan sudah deal, jangan diubah-ubah lagi," ungkap dia.
Menurut Effendi, DPR tetap akan berdasarkan pada keputusan Komisi VII. Ia mengungkapkan, sebenarnya subsidi Rp64,9 triliun untuk PLN lebih dari cukup. Pasalnya PLN harusnya bisa melakukan efesiensi dengan menggunakan gas dan batu bara.
"Jangan lagi pakai BBM, itu bikin pemborosan," ungkap fungsionaris PDIP itu.
Satu hal, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso menuturkan, pimpinan DPR memberikan dukungan kepada Komisi VII sehingga tidak perlu dilakukan perubahan pada postur anggaran listrik.
"Menkeu mengajukan cadangan risiko fiskal. Di awal subsidi Rp93 triliun, yang disetujui Rp64,9 triliun. Selisih itu dicadangkan," ungkap dia.
Menurut Priyo, penetapan cadangan risiko fiskal sendiri merupakan bukan wewenang dari Komisi VII tetapi kewenangan Badan Anggaran.
"Komisi VII mengizinkan atau tidak anggotanya membuat perbedaan subsidi. Itu belum ada titik temu. Cadangan risiko fiskal. Kalau postur bisa disepakati di banggar. Yang punya kewenangan banggar. Pimpinan hanya fasilitator. Kalo enggak bisa buntu. Komisi VII tetap pada pendiriannya, sedangkan pemerintah menghadapi kesulitan," terang Wakil Sekjen Partai Golkar itu.
Menyangkut kemungkin hal ini diputuskan lewat mekanisme voting, menurut dia, terdapat di Banggar dan Rapat Paripurna DPR.
Menurutnya, jika pembahasan soal subsidi listrik dan BBM di Banggar belum rampung, harus diselesikan ke paripurna.
"Intinya 29 Maret ini harus selesai," imbuh dia.
Negosiasi dengan DPR
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono kali ini menghadapi situasi amat sulit.
Pasalnya, postur anggaran negara membengkak akibat faktor harga minyak mentah dunia yang terus melambung, mau tidak mau subsidi BBM dan listrik dikurangi.
Di tengah-tengah gelombang penolakan penaikan harga BBM dan TDL dari rakyat, pemerintah wajib 'menegosiasikan' berbagai hal dengan sejumlah kalangan apabila ingin mulus melaju dengan rencana menaikkan harga BBM pada 1 April 2012.
"Rencana penaikan harga BBM hanya akan berjalan mulus bila pemerintah berhasil 'menegosiasikannya' dengan anggota Setgab Partai Koalisi, kelompok intelektual, pemuka opini publik," kata Arya Fernandes, pengamat politik dari Charta Politika di Jakarta, Jumat (23/3).
Arya mengatakan hal tersebut perlu dilakukan karena ada tiga tantangan utama yang harus dihadapi pemerintah dalam memuluskan rencana penaikan harga BBM.
"Tantangan pertama dari rencana kenaikan BBM justru berasal dari anggota Sekretariat Gabungan (Setgab)," ujar Arya.
Menurutnya, tidak mudah bagi pemerintah untuk meyakinkan anggota koalisi, apalagi beberapa waktu lalu sudah ada pernyataan resmi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang secara tegas menolak penaikan harga BBM.
Dengan demikian, suhu politik di internal Setgab akan kembali memanas akibat rencana penaikan harga BBM tersebut.
"Kita tentu menunggu sikap politik Partai Golkar. Golkar saya kira masih membaca arah politik. Golkar sadar posisi nya yang strategis dalam Setgab. Bila PKS bisa memengaruhi Golkar untuk menolak, Demokrat saya kira akan keteteran," kata Arya.
Tantangan kedua berasal dari penolakan sejumlah akademisi dan intelektual, yang tegas melihat rencana itu tidak sesuai dengan kerangka berpikir dan bertindak yang benar.
Arya Fernandes mengatakan tantangan ketiga berasal dari masyarakat -kelompok buruh, mahasiswa, dan lain-lain yang menggelorakan aksi unjuk rasa seperti tidak terbendung.
"Ketiga tantangan itu harus diselesaikan oleh pemerintah," tutur dia.
Dia melanjutkan bahwa sebenarnya Pemerintah mengambil langkah sangat beresiko dengan menaikkan harga BBM, apalagi bila dikaitkan dengan kemungkinan semakin anjloknya popularitas SBY.
Menurutnya, keputusan itu jelas akan memengaruhi tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah.
"Tapi itu tidak berlangsung cukup lama. Rencana kompensasi melalui BLT akan kembali mendongkrak tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah," tutur Arya.